Categories
Domestic Taxation

Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dalam Perspektif Hukum

Mendekati Masa berakhirnya pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan, Wajib Pajak dihimbau memberikan data yang akurat dan sesuai dengan kenyataan di lapangan untuk menghindari perbedaan, persengketaan bahkan pidana di bidang perpajakan. Dari perspektif hukum, peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan termasuk dalam kelompok hukum administrasi negara. Daripada itu masalah hukum yang muncul terkait dengan pelanggaran peraturan perpajakan dan penegakan hukumnya dilakukan melalui mekanisime penyelesaian hukum administrasi meskipun terdapat kemungkinan unsur pidana dalam hukum perpajakan.

Hukum Administrasi menurut Prajudi Atmosudirdjo adalah hukum mengenai operasi dan pengendalian dari kekuasaan-kekuasaan administrasi atau pengawasan terhadap penguasa administrasi.[1] Lalu menurut Mudzakkir dalam tulisannya berpendapat bahwa hukum perpajakan sebagai salah satu hukum administrasi memiliki perbedaan berupa sifat yang memberikan wewenang secara luas kepada negara untuk memungut bahkan menentukan besaran pajak dari Wajib Pajak dan sifatnya ini adalah memaksa Wajib Pajak untuk memenuhi pemungutan tersebut. Walaupun bersifat memberikan wewenang yang luas kepada negara dan memaksa kepada Wajib Pajak, masih terdapat fleksibilitas dalam Hukum Perpajakan bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan ata pajak yang dibebankan dan bahkan dipersengketakan ke Pengadilan Pajak. [2]

Hal ini masih dapat diajukan selama kesalahan yang dilakukan bukan terkait tindak pidana di bidang perpajakan. Lalu Hukum Tindak Pidana di bidang perpajakan pun tidak seperti Hukum Tindak Pidana Umum karena sanksi yang diberikan merupakan sanksi administrasi terlebih dahulu dan sanksi pidana merupakan jalur terakhir. Dalam hal ini sanksi administrasi diberikan agar wajib pajak sejak dini mendapatkan peringatan untuk memenuhi kewajibannya secara administrasi perpajakannya. Kepada wajib pajak yang tidak memenuhi persyaratan administrasi dan telah diperingatkan dengan dikenakan sanksi administrasi, menurut hukum pidana dapat dijadikan indikator apakah wajib pajak memiliki iktikad baik atau tidak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak.[3]

Hal ini sesuai dengan asas hukum pidana yang mana penggunaan ancaman sanksi pidana dalam hukum administrasi seperti hukum perpajakan merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) apabila pengenaan ancaman sanksi administrasi tidak efektif atau tidak diindahkan oleh Wajib Pajak. Maka dari itu sesuai dengan hukum administrasi pada umumnya, dalam hukum perpajakan tidak tepat jika penyelesaian permasalahan perpajakan dengan mengedepankan hukum pidana dan mengabaikan atau menyampingkan penyelesaian secara administrasi dengan dalih merugikan keuangan negara. Selain dikarenakan asas hukum pidana yang merupakan upaya terakhir bagi hukum administrasi, mendahulukan cara-cara yang lebih administratif dinilai lebih baik untuk mendorong kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan baik secara hukum maupun secara moral. Pendekatan persuasif daripada cara-cara dan instrumen administrasi dikarenakan juga negara yang membutuhkan dana dari masyarakat sehingga perlu meminimalkan cara-cara pidana yang mengekang masyarakat sehingga merasa pemerintah yang terlalu otoriter.[4]

Serupa dengan pandangan Prof. Dr. Andi Hamzah, SH dan Prof. Dr. Muchsan, SH yang menyatakan bahwa hukum pajak adalah hukum administrasi tapi bersanksi pidana. Karena menurut Pasal 103 KUHP, Ketentuan pidana pada KUHP berlaku juga untuk tindak pidana dalam UU lainnya seperti halnya UU KUP. Akan tetapi hukum administrasi tidak boleh dengan ancaman lebih dari 1 tahun kurungan dan hanya diancam di atas 1 tahun apabila sudah termasuk tindak pidana. Hal ini dikarenakan tujuan dari Hukum administrasi seperti Hukum Perpajakan bukanlah untuk menghukum orang tapi untuk membuat orang menaati administrasi saja.[5]

Apabila dilihat lebih lanjut, Hukum Pidana dalam Perpajakan diatur oleh Pasal 38-43 Bab VIII tentang Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perpu Ciptaker). Lalu terkait Penyidikan terkait tindak pidana di bidang perpajakan juga diatur pada pasal 43A-44D Bab IX dalam UU KUP. Di dalam Hukum Pidana Perpajakan terdapat dua jenis sanksi yaitu atas pelanggaran dan kejahatan. Dilihat dari sudut sikap batin atau rumusan kesalahan, pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan termasuk kategori tindak pidana pelanggaran dilakukan karena kealpaan (culpa), sedangkan sikap batin tindak pidana kejahatan adalah kesengajaan (dolus). Pengulangan tindak pidana pelanggaran ancamannya diperberat dan perbuatannya berubah menjadi tindak pidana kejahatan dan pengulangan tindak pidana kejahatan ancaman pidananya lebih diperberat.[6]

Hal ini terlihat pada pasal-pasal Pidana Perpajakan, sanksi atas pelanggaran karena kealpaan memiliki tingkat sanksi yang lebih rendah dan kurungannya paling lama 1 tahun masih sesuai batas ancaman dalam hukum administrasi. Sedangkan sanksi atas kejahatan karena kesengajaan memiliki tingkat sanksi yang lebih tinggi dan kurungannya lebih lama karena sudah termasuk tindak pidana yang berat. Maka dari itu sanksi pidana perpajakan yang melampaui batas ancaman sanksi hukum administrasi hanya berlaku pada tindak pidana yang sudah memasuki kategori kejahatan sehingga cukup setara dengan tindak pidana pada umumnya berbeda dengan pelanggaran yang karena kealpaannya masih bisa diselesaikan dengan cara administrasi.

TBrights merupakan tax consultant in indonesia yang saat ini menjadi integrated business service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif termasuk layanan legal service

Oleh Tommy HO – Managing Partner TBrights

 

[1] https://www.hukumonline.com/berita/a/hukum-administrasi-negara-lt62de00a9c74d4/?page=2

[2] https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/346/231

[3] Ibid

[4] https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/346/231

[5] https://bppk.kemenkeu.go.id/sekretariat-badan/berita/apakah-hukum-pajak-itu-administrasi-atau-pidana-656326

[6] https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/346/231

Categories
Valuation

Manfaat KJPP dalam Menerapkan Metode Transfer Pricing Terbaru

Selama beberapa dekade terakhir dan seiring dengan globalisasi ekonomi, perdagangan intra-grup di seluruh dunia telah tumbuh secara eksponensial termasuk di Indonesia. Pergerakan modal, harga ataupun laba di dalam intra-grup telah menimbulkan keresahan di antara negara-negara karena mengurangi basis perpajakan yang seharusnya diterima negara tempat beroperasinya suatu entitas. Indonesia sebagaimana negara-negara lainnya mulai menguatkan aturan atau instrumen untuk pencegahan penghindaran pajak seperti aturan penetapan harga transfer.

Harga Transfer sendiri adalah harga dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa atau keadaan ketergantungan/keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya karena kepemilikan modal, penguasaan atau hubungan sedarah/semenda sehingga salah satu pihak mengendalikan pihak yang lain. Kemudian untuk menghindari atau mengurang kondisi dari harga transfer ini, Pemerintah Indonesia juga menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) yaitu prinsip yang berlaku di dalam praktik bisnis yang sehat dan dilakukan sebagaimana Transaksi Independen atau transaksi yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa.

Dalam perkembangannya penerapan PKKU dan penentuan Harga Transfer yang awalnya menggunakan 5 metode kemudian menjadi 8 metode pada 2020. Dengan lebih banyaknya metode yang tersedia dalam menentukan Harga Transfer sebenarnya dapat menjadi keharusan bagi wajib pajak untuk tetap memenuhi setiap metode tersebut. Hal ini dikarenakan  Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki wewenang untuk menentukan kembali besar penghasilan atau pengurangan berdasarkan metode harga transfer yang sebelumnya hanya 5 kemudian menjadi 8. Daripada itu basis pembuktian DJP pada ketidakwajaran harga transfer Wajib Pajak semakin besar dan hal itu harus diperhatikan pula oleh Wajib Pajak akan kebenaran dan keakuratan dalam memenuhi metode-metode yang bertambah. Untuk membantu Wajib Pajak dalam memenuhi keakuratan dan legalitas dalam memenuhi metode-metode yang bertambah ini, Kantor Jasa Penilai Publik dapat menjadi solusi dikarenakan beberapa metode-metode terbaru ini bersinggungan dengan area jasa yang ditawarkan oleh KJPP yang mendapatkan wewenang langsung dari Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan.

 

Ketentuan 5 Metode PKKU dan Penentuan Harga Transfer

Dasar Hukum dari Metode PKKU dan Penentuan Harga Transfer didasari sebelum adanya perubahan didasarkan pada UU No 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Kemudian penjelasan lebih lanjut daripada Kelima metode-metode PKKU dan Penentuan Harga Transfer dijabarkan lebih lanjut melalui Per Dirjen 32 Tahun 2011 dan SE 50 Tahun 2013:

  1. Metode CUP atau Metode Perbandingan Harga Antara Pihak yang Independen (Comparable Uncontrolled Price Method)

Metode CUP diterapkan dengan cara membandingkan harga barang atau jasa dalam transaksi afiliasi dengan harga barang atau jasa dalam transaksi independen.

  1. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method)

Metode harga penjualan kembali adalah metode penentuan harga transfer yang menentukan harga pembelian barang dan jasa dari pihak afiliasi dengan cara mengurangkan laba kotor pihak independen yang sebanding dari harga jual kembali barang dan jasa tersebut kepada pihak independen.

  1. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method)

Metode biaya-plus adalah metode penentuan harga transfer yang menambahkan laba kotor dari transaksi independen yang sebanding terhadap biaya yang ditanggung dalam transaksi afiliasi.

  1. Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method – TNMM)

Metode laba bersih transaksional adalah metode penentuan harga transfer yang menggunakan indikator tingkat laba transaksi independen yang sebanding untuk menentukan laba bersih usaha transaksi afiliasi.

  1. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method)

Metode pembagian laba adalah metode penentuan harga transfer yang membagi laba gabungan kepada pihak afiliasi yang terlibat dalam transaksi afiliasi berdasarkan kontribusi yang diberikan. Metode pembagian laba digunakan pada kasus yang melibatkan operasi yang saling terintegrasi (highly integrated operation) atau kedua belah pihak memberikan kontribusi unik dan sangat bernilai (misalnya kontribusi unique/valuable intangible property) sehingga tidak dapat dilakukan pengujian secara terpisah.

Penambahan Ketentuan Menjadi 8 Metode

Pada Tahun 2020, menyesuaikan dengan revisi Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) dalam Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action 8-10 dan Action 14, Pemerintah Indonesia melakukan perubahan dan penambahan atas aturan PKKU. Diawali dengan PMK 22 Tahun 2020, kemudian dimasukan ke dalam bagian Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 2021 dan Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2022. Melalui beberapa perubahan aturan ini metode-metode dalam menentukan PKKU dan Harga Transfer bertambah yang awalnya 5 menjadi 8 metode yaitu bertambah:

  1. Metode Perbandingan Transaksi Independen (comparable uncontrolled transaction) dilakukan dengan membandingkan harga / laba transaksi terhadap basis tertentu antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan Transaksi Independen, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang secara komersial dinilai berdasarkan basis tertentu ,antara lain tingkat suku bunga, diskonto, provisi, komisi, dan persentase royalti terhadap penjualan atau laba operasi.
  2. Metode dalam penilaian harta berwujud dan / atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset valuation) dilakukan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang mengatur mengenai standar penilaian yang berlaku, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa antara lain sebagai berikut:

1. transaksi pengalihan harta berwujud dan / atau harta tidak berwujud;

2. transaksi persewaan harta berwujud;

3. transaksi sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud;

4. transaksi pengalihan aset keuangan;

5. transaksi pengalihan hak sehubungan dengan pengusahaan wilayah pertambangan dan/atau hak sejenis lainnya; dan

6. transaksi pengalihan hak sehubungan dengan pengusahaan perkebunan, kehutanan, dan/atau hak sejenis lainnya.

 

  1. Metode dalam penilaian bisnis (business valuation) dilakukan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang mengatur mengenai standar penilaian yang berlaku, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa antara lain sebagai berikut:

1. transaksi sehubungan dengan restrukturisasi usaha,termasuk pengalihan fungsi, aset, dan/atau risiko antar Pihak Afiliasi;

2. transaksi pengalihan harta selain kas kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal (inbreng); dan

3. transaksi pengalihan harta selain kas kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota dari perseroan, persekutuan, atau badan lainnya.

 

DJP Berwenang Melakukan Penentuan Kembali Besaran

Salah satu hal yang perlu diperhatikan lainnya adalah pada Pasal 18 UU HPP dan Pasal 36 PP 55 Tahun 2022 Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kembali besaran atas kewajaran Harga Transfer menggunakan metode-metode yang bertambah ini. Berdasarkan Pasal-Pasal ini;

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya

  1. tidak menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha;
  2. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha namun tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan/atau
  3. menentukan Harga Transfer yang tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha

Kemudian Penentuan kembali besaran penghasilan dan pengurangan oleh DJP didasarkan oleh salah satu dari 8 metode yang telah disebutkan sebelumnya. Lalu perlu diperhatikan bahwa dengan adanya penambahan metode ini dapat menjadi tambahan basis rujukan bagi DJP untuk menentukan apakah suatu usaha melakukan transfer pricing wajar atau tidak. Maka dari itu diperlukan keakuratan dan kesesuaian wajib pajak dalam memilih metode PKKU atau lebih baik lagi dapat memenuhi semua metode PKKU dengan akurat sehingga menjadi dasar yang kuat untuk membuktikan bahwa usaha tersebut tidak melakukan penghindaran pajak.

 

KJPP untuk Memenuhi Metode PKKU Terbaru

Untuk memperkuat keakuratan dan legalitas metode PKKU yang dilakukan oleh Wajib Pajak terutama untuk kedua metode tambahan terakhir, Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) dapat menjadi solusi. Hal ini dikarenakan KJPP telah diakui oleh Kementerian Keuangan dan disahkan juga melalui Peraturan Menteri Keuangan untuk melakukan penilaian secara akurat. Teruntuk dua metode terbaru dalam Harga Transfer akan sesuai dengan bidang kerja dari pada KJPP yang tercantum dalam PMK No 228 Tahun 2019 :

  1. Untuk Metode Ketujuh Untuk Penilaian Aset Berwujud akan sesuai dengan KJPP di bidang KJPP di bidang Penilaian Properti, Properti Sederhana dan Personal Properti karena penilaiannya secara umum meliputi
  • tanah dan bangunan beserta kelengkapannya, serta pengembangan lainnya atas tanah;
  • mesin dan peralatan termasuk instalasinya yang dirangkai dalam satu kesatuan dan/ a tau berdiri sendiri yang digunakan dalam proses produksi;
  • alat transportasi, alat berat, alat komunikasi, alat kesehatan, alat laboratorium dan utilitas, peralatan dan perabotan kantor, dan peralatan militer;
  • perangkat telekomunikasi termasuk peralatan pemancar dan penerima jaringan, satelit, dan stasiun bumi;
  • pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan; dan
  • pertambangan.

 

  1. Sedangkan Untuk Metode Ketujuh Penilaian Aset Tidak Berwujud dan Metode Kedelapan akan sesuai dengan KJPP di Bidang jasa Penilaian Bisnis karena Penilaiannya meliputi:
  • entitas bisnis;
  • penyertaan;
  • surat berharga termasuk derivasinya
  • hak dan kewajiban perusahaan;
  • hak kekayaan intelektual dan aset tak berwujud;
  • kerugian ekonomis yang diakibatkan oleh suatu kegiatan atau peristiwa tertentu untuk mendukung berbagai tindakan korporasi atau atas transaksi material;
  • opini kewajaran; dan
  • instrumen keuangan.

 

Penilai Publik dengan klasifikasi bidang jasa Penilaian Bisnis dapat memberikan jasa lainnya yang berkaitan dengan kegiatan Penilaian, meliputi:

  1. studi kelayakan usaha;
  2. penasihat keuangan korporasi; dan
  3. pengawasan pembiayaan proyek.

TBrights merupakan tax consultant in indonesia yang saat ini menjadi integrated business service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif termasuk dalam penyediaan jasa Penilaian

 

By Olina Rizki Arizal

Partner

 

Sumber:

https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/136873/pmk-no-22pmk032020

https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/185162/uu-no-7-tahun-2021

https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/233488/pp-no-55-tahun-2022

https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/137106/pmk-no-228pmk012019

Categories
Customs

Banyaknya Pemberitaan Terkait Bea Cukai, Ayo Pahami Ketentuan Impor Bea Cukai dan Pencegahan Penipuan yang Mengatasnamakan Bea Cukai

Media Massa Indonesia akhir-akhir ini cukup ramai mengenai unggahan baik di Twitter, Tik Tok maupun Instagram mengenai keluhan mereka atas Direktorat Jenderal Bea Cukai seperti ditagih atas barang pribadi ataupun penagihan yang tidak wajar. Setiap keluhan yang disampaikan oleh warganet sebenarnya bisa didalami dan dihindari apabila sudah memahami ketentuan Bea Cukai karena sebagian besar contoh keluhan yang viral di media sosial dapat ditelaah dengan ketentuan mengenai Bea Cukai. Beberapa keluhan atas yang menjadi viral di media sosial meliputi kasus hadiah, barang pindahan, barang kiriman dan penipuan penagihan yang mengatasnamakan Direktorat Jenderal Bea Cukai.

Salah satu unggahan yang menjadi viral akhir-akhir ini diawali oleh curhatan seorang warga negara Indonesia (WNI) berinisial FZ yang pernah menang kontes menyanyi di Jepang. Dikarenakan ukuran Piala yang terlalu besar jika dibawa ke pesawat bersamanya sehingga dia mengirimkan piala lomba tersebut dan dipajaki Bea Cukai sebesar 4 juta rupiah di Indonesia. Dia juga menceritakan jika dirinya diminta membuktikan dengan surat-surat jika piala itu adalah hadiah dan bahkan dia pun harus menunjukkan video acara TV yang menayangkan kontes menyanyinya hingga akhirnya pihak Bea Cukai percaya.[1]

Diikuti dengan keluh kesah KA founder dari sebuah studio pengembang game yang sedang naik daun dalam kancah internasional. Pada tahun 2013 KA bersama studio produksinya memenangkan award di San Francisco, tapi karena mereka berhalangan hadir untuk menerima awardnya, maka pialanya dikirim ke Indonesia dan dikenakan bea cukai hingga sekitar 1 jutaan Rupiah. KA juga mengaku pernah kerepotan ketika mendapat kiriman fisik copy game karyanya yang dimaksudkan sebagai kenangan karena harus berurusan dengan Bea Cukai yang menilai barang kiriman tetap dapat dikenakan sebagai barang impor.[2]

Selanjutnya terdapat seorang mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di China bernama KW yang juga viral di TikTok dengan keluhan terhadap Bea Cukai. KW mengaku ditodong bea masuk sebesar Rp14,5 juta oleh bea cukai atas barang pribadinya saat kuliah di China di masa pandemi Covid-19. KW  menambahkan dirinya pulang karena imlek sebelum terhalang pandemi di tahun 2020 sehingga barang-barangnya masih di sana dan bahkan sewa apartemennya masih diperpanjang sampai 2021 atau 2022 kemarin. Setelah dia melakukan penelusuran pribadi, menurutnya barangnya memang dapat digolongkan ke impor barang khusus yang nilai minumnya kurang lebih 22,5 juta tetapi nilai Bea masuknya 14,5 juta sangat tidak wajar baginya.

Lalu KW pun berusaha mencari tahu mengenai status dari barang pribadinya yang dikirim dari China ke Indonesia, hingga akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke Bea Cukai Soekarno Hatta untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Namun, pihak petugas bea cukai dinilai tidak memberikan jawaban yang semestinya dan cenderung acuh tak acuh. Dia menganggap bea cukai Indonesia sangat rumit dan baru bisa selesai dengan menghubungi Konsulat Jenderal RI di Shanghai mulai dari email, bayar formulir dan sebagainya yang dia rasa menyulitkan.[3]

Contoh terakhir keluhan dalam video berdurasi 55 detik dari seseorang berinisial Y yang terlihat sedang mencecar pertanyaan kepada seseorang yang mengaku sebagai petugas Bea dan Cukai melalui saluran telepon terkait dengan denda yang diberikan tersebut. Seseorang yang mengaku dari petugas Bea dan Cukai tersebut bernama AK. Sayangnya, unggahan asli video viral TKW Hong Kong yang disebutkan dikenakan denda Rp 9 juta tersebut sudah dihapus. [4] Daripada unggahan-unggahan tersebut bisa ditelaah dengan ketentuan-ketentuan yang mungkin mendasari pihak Bea Cukai melakukan penagihan dan mungkin bisa juga digunakan oleh masyarakat untuk melakukan negosiasi atau bahkan menyanggah.

Ketentuan Umum Impor Bea Cukai [5]

Secara umum berdasarkan ketentuan Bea Cukai, barang pribadi Penumpang dengan nilai pabean paling banyak FOB USD 500 atau sekitar 7,5 Juta rupiah per orang untuk setiap kedatangan, diberikan pembebasan bea masuk. Dalam hal nilai barang pribadi Penumpang melebihi batas nilai pabean sebagaimana dimaksud, atas kelebihan tersebut dipungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Lalu terdapat kewajiban memberitahukan jumlah uang kepada Petugas Pabean bagi individu ketika mereka membawa masuk atau keluar uang rupiah senilai 100.000.000 rupiah atau lebih, atau mata uang asing lainnya bernilai sama.

 

Barang impor bawaan Penumpang yang tiba sebelum atau setelah kedatangan Penumpang, akan diperlakukan sebagai barang yang tiba bersama penumpang sepanjang dapat dibuktikan kepemilikannya dengan menunjukkan paspor dan boarding pass yang bersangkutan, serta apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. Paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum kedatangan penumpang, dan/atau 60 (enam puluh) hari setelah kedatangan penumpang yang menggunakan sarana pengangkut laut; atau
  2. Paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum kedatangan penumpang, dan/atau 15 (lima belas) hari setelah penumpang yang menggunakan sarana pengangkut udara.

Barang impor yang dibawa oleh Penumpang wajib diberitahukan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang dapat dilakukan secara lisan atau secara tertulis. Sedangkan Barang pribadi penumpang yang tidak tiba bersama penumpang tidak mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dan dipungut pajak dalam rangka impor. Lalu Pemberitahuan secara tertulis disampaikan dengan menggunakan Customs Declaration atau Pemberitahuan Impor Barang Khusus. Barang pribadi penumpang yang telah tiba sebelum dan/atau setelah kedatangan penumpang, dapat diselesaikan oleh Penumpang atau kuasanya dengan menggunakan :

  1. Pemberitahuan Impor Barang Khusus, untuk Barang Pribadi Penumpang yang terdaftar di dalam manifest;
  2. Customs Declarationyang digunakan pada saat kedatangan penumpang bersangkutan, untuk barang pribadi penumpang atau barang pribadi awak sarana pengangkut yang terdaftar sebagai “lost and found”.

Pengecualian Terhadap Hadiah Tertentu

Banyak dari masyarakat yang mempertanyakan keputusan Bea Cukai dalam menerapkan Bea Cukai pada hadiah seperti yang dialami oleh FZ dan KA. Hal ini dikarenakan hadiah yang diterima FZ dan KA tidak termasuk ke dalam hadiah yang dibebaskan Bea Cukai. Berdasarkan  Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 70/PMK.04/2012 menyatakan bahwa Barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah, untuk umum, amal, sosial, atau kebudayaan yang diberikan pembebasan bea masuk dan/atau cukai meliputi:

a. barang yang diperlukan untuk mendirikan atau memperbaiki bangunan ibadah, rumah sakit, poliklinik, dan/atau sekolah, serta barang yang akan merupakan inventaris tetapnya;
b. mobil klinik, sarana pengangkut orang sakit, sarana pengangkut untuk perpustakaan keliling atau sejenisnya, atau sarana pengangkut petugas kesehatan;
c. barang yang diperlukan untuk pemakaian tetap oleh perkumpulan dan/atau badan-badan untuk tujuan kebudayaan;
d. barang yang diperlukan untuk keperluan ibadah untuk umum seperti tikar sembahyang, permadani, atau piala-piala untuk perjamuan suci serta barang hadiah dalam rangka perayaan hari besar keagamaan;
e. peralatan operasi atau perkakas pengobatan yang digunakan untuk badan-badan sosial;
f. makanan, obat-obatan, dan/atau pakaian untuk diberikan kepada masyarakat yang memerlukan; dan/atau
g. barang peralatan belajar mengajar untuk lembaga pengajaran dengan maksud untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat

 

Barang Pindahan

Namun demikian, teruntuk kasus FZ sebenarnya serupa dengan kasus KW yang mana barang yang dikenakan Bea Cukai merupakan Barang Pindahan. Barang pindahan atau Personal Effect adalah barang-barang keperluan rumah tangga milik orang yang semula berdomisili di luar negeri, kemudian dibawa pindah ke dalam negeri.[6] Kasus KW jelas mengarah kepada kondisi ini, namun untuk persyaratannya yang mungkin mengalami kendala sehingga perlu diatasi langsung oleh pihak yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan kasus KW ini jangka waktu pindahan barang yang sangat jauh hingga berkisar 1-2 tahun sehingga mungkin perlu klarifikasi lebih lanjut untuk pihak Bea Cukai. Belum lagi pada kenyataannya bisa saja dikeluarkan keputusan yang berbeda oleh pihak kepabeanan, yang mengharuskan adanya pembayaran bea masuk melalui penjelasan dan/atau surat keputusan dari pihak kepabeanan. Berikut ketentuan untuk Barang Pindahan yang dibebaskan dari Bea Cukai:

  1. Pihak yang dibebaskan Bea Masuk untuk Barang Pindahan:
  • PNS/TNI yang tugas/belajar diluar negeri.
  • Diplomat/Pejabat Negara yang bertugas di luar negeri.
  • Warga sipil (Pelajar, Mahasiswa, Pegawai) yang belajar/bekerja diluar negeri.
  • Warga negara asing yang bekerja di dalam negeri.
  1. Pihak yang tidak diperbolehkan menggunakan Fasilitas Pembebasan Bea Masuk
  • Diplomat/Pejabat Negara yang masih tinggal diluar negeri dan hanya pulang ke Indonesia untuk keperluan cuti tidak diperbolehkan untuk mendapatkan pembebasan pembayaran kepabeanan Barang Pindahan. Peraturan tersebut juga berlaku untuk warga sipil yang tinggal diluar negeri kurang dari 1 tahun.
  • Barang yang dikategorikan sebagai barang dagangan dan kendaraan bermotor.
  1. Persyaratan importasi barang pindahan untuk Pelajar/Mahasiswa/Pegawai yang belajar diluar negeri:
  1. Membuat surat permohonan pengajuan PIBK
  2. Mengisi formulir PIBK
  3. BL (Bill of Lading)/AWB (Airway Bill) asli
  4. Invoice+Packing List
  5. Passport Asli
  6. Boarding Pass/Tiket
  7. Surat Keputusan (SKEP) Penempatan Tugas (PNS/TNI yang bertugas di Luar Negeri)
  8. Surat Keputusan (SKEP) Penarikan (PNS/TNI yang bertugas di Luar Negeri)
  9. SK Tugas Belajar (PNS/TNI yang tugas belajar di Luar Negeri)
  10. Surat keterangan telah selesai belajar (Pelajar/Mahasiswa/Pegawai yang belajar di Luar Negeri)
  11. Surat Perjanjian Kerja dengan Kementerian di Luar Negeri (Diplomat/Pejabat Negara Non PNS yang bertugas di Luar Negeri)
  12. Surat Keterangan KBRI/Konjen/Perwakilan RI di Luar Negeri Diplomat/Pejabat Negara Non PNS yang bertugas di Luar Negeri dan WNI yang bekerja di Luar Negeri)
  13.  Kartu Izin Tinggal Terbatas / KITAS (WNA yang bekerja di Indonesia)
  14. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing / IMTA (WNA yang bekerja di Indonesia)
  1. Proses:
  1. Pemilik barang datang dengan ke kantor kepabeanan tempat pemasukan barang impor dengan membawa persyaratan di atas.
  2. Lalu mengajukan PIBK (Pemberitahuan Impor Barang Khusus) kepada kepala kantor kepabeanan. Setelahnya akan dilakukan pemeriksaan Fisik.
  3. Jika barang pindahan dinyatakan aman dan tidak ada barang Lartas maka pihak kepabeanan akan mengeluarkan SPPB (Surat Persetujuan Pengeluaran Barang). Yang artinya barang pindahan sudah bisa diantar ke tempat pemilik barang.[7]

 

Barang Kiriman

Untuk Kasus Antoni akan cocok dengan ketentuan Barang Kiriman, karena kondisinya adalah dia berada di Indonesia dengan asumsi belum pernah mendapatkan barangnya yang berupa hadiahnya secara fisik di luar negeri. Lalu barangnya baru didapatnya dengan dikirim masuk ke Indonesia ke tangan Antoni. Maka sesuai dengan ketentuan Barang Kiriman memang bisa diberikan bea masuk karena hal tersebut dengan perhitungan yang diasumsikan oleh pihak Bea Cukai ditambah standar minimal FOB bebas Bea Masuk yang cukup rendah di angka USD per kiriman atau 45 ribu rupiah. Secara rinci perihal barang kiriman atau paket yang dikirim melalui perusahaan Penyelenggara Pos adalah sebagai berikut:

  1. Barang Kiriman yang nilainya kurang dari FOB USD 3.00(Tiga United States Dollar) atau sekitar 45 ribu rupiah per orang per kiriman, dibebaskan dari kewajiban pembayaran Bea Masuk (BM), sedangkan jika melebihi itu akan dipungut Bea Masuk;
  2. Barang Kiriman yang nilainya sampai dengan FOB USD 1.500(seribu lima ratus United States Dollar) atau sekitar 22,5 Juta Rupiah akan dipungut PPN dan tidak dipungut PPh, sedangkan jika lebih dari FOB USD 1.500 atau 22,5 Juta Rupiah dikenakan pembebanan tarif Bea Masuk Umum atau MFN (Most Favourable Nations)
  3. Barang Kiriman dengan nilai pabean lebih dari USD 1.500(atau 22,5 Juta Rupiah akan diberitahukan dengan dokumen PIB dalam hal Penerima Barang merupakan badan usaha atau PIBK dalam hal Penerima Barang bukan merupakan badan usaha
  4. Barang kiriman sampel/hadiah/giftdiperlakukan ketentuan kepabeanan, yakni ditetapkan nilai pabeannya oleh Petugas Bea dan Cukai berdasarkan data harga pembanding, jika data harga pembanding sama dengan atau lebih rendah dari FOB USD 3.00 atau sekitar 45 ribu rupiah maka terhadap barang kiriman sampel/hadiah/gift tersebut tidak akan dikenakan bea masuk, namun jika data harga pembanding lebih tinggi dari FOB USD 3.00 atau sekitar 45 ribu rupiah maka terhadap barang kiriman sampel/hadiah/gift tersebut akan dikenakan bea masuk;
  5. PPh dikecualikan dari pemungutan dengan pertimbangan impor barang kiriman pada umumnya merupakan barang konsumsi akhir
  6. Barang impor yang dikategorikan sebagai barang mewah(seperti tas branded, berlian dll) berdasarkan peraturan di bidang perpajakan, dikenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang kriteria dan besaran tarifnya telah ditentukan;[8]

 

Tarif Barang Khusus

Tarif BM barang kiriman sebesar 7.5% dikecualikan barang barang dibawah ini yang mengikuti tarif MFN yaitu:

  • TasKode Hs: 4204 dikenakan BM 15% – 20%
  • SepatuKode Hs: 64 dikenakan BM 25% – 30%
  • Produk TekstilKode Hs: 61,62,63 dikenakan BM 15%-25%[9]

 

Teruntuk kasus Y akan lebih cocok untuk melihat cara-cara pencegahan Penipuan yang mengatasnamakan Dirjen Bea dan Cukai yaitu:

  • Kenali Ciri-cirinya: Jumlah tagihan yang tidak wajar, menggunakan nomor pribadi, pembayaran ke rekening pribadi dan mengintimidasi korban dengan ancaman hukuman pidana
  • Jangan langsung transfer ke rekening yang diinfokan oknum penipu. Seluruh pungutan Bea dan Cukai pasti mempunyai jangka waktu sebelum jatuh tempo dan menggunakan kode billing sebagai referensi pembayaran.
  • Untuk itu, ketika ada ancaman, jangan langsung memenuhi permintaan tersebut. Segera konfirmasi kebenaran informasi ke Bea dan Cukai.
  • Hitung estimasi barang dan bandingkan dengan tagihan yang diberitahukan pelaku dengan memanfaatkan aplikasi “Duty Calculator” pada CEISA Mobile.[10]

 

Sebagai layanan bisnis terintegrasi di indonesia, TBrights memiliki Mitra Kepabeanan dan konsultan kepabeanan akan membantu Anda untuk menyelesaikan segala kebutuhan layanan kepabeanan di Indonesia

Oleh Tommy HO – Managing Partner TBrights

 

[1] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6628380/viral-wni-kirim-piala-dari-jepang-dipajaki-bea-cukai-rp-4-juta

[2] https://zonabanten.pikiran-rakyat.com/banten/pr-236461253/dapat-penghargaan-di-luar-negeri-kris-antoni-pialanya-dikirim-sampai-di-jakarta-kena-pajak

[3] https://lingkarmadiun.pikiran-rakyat.com/hiburan/pr-666478077/viral-curhat-wanita-kuliah-di-china-ditodong-bea-cukai-bayar-pajak-rp145-juta-saat-masa-covid-19?page=4

[4] https://www.kompas.com/tren/read/2023/04/04/101500065/viral-video-tkw-hong-kong-dikenai-denda-rp-9-juta-karena-beli-gamis-rp?page=all.

[5] https://www.beacukai.go.id/arsip/pab/impor.html

[6] https://bcngurahrai.beacukai.go.id/barang-pindahan/

[7] https://bcngurahrai.beacukai.go.id/barang-pindahan/

[8] https://bcsurakarta.beacukai.go.id/layanan/impor/barang-kiriman/

[9] https://bcsurakarta.beacukai.go.id/layanan/impor/barang-kiriman/

[10] https://www.kompas.com/tren/read/2023/04/04/101500065/viral-video-tkw-hong-kong-dikenai-denda-rp-9-juta-karena-beli-gamis-rp?page=all

Categories
International Tax

Indonesian Participation for BEPS on Action 5: Harmful Tax Practices Specific Actions Transparency Framework

Kerangka Inklusif OECD/G20 tentang BEPS Action 5 terdiri dari 4 konten tindakan spesifik dan Kerangka Transparansi atau Kerangka untuk meningkatkan transparansi terkait dengan keputusan merupakan salah satu konten tindakan spesifik yang menjadi prioritas kedua setelah Rezim Pajak Preferensial. Kerangka Transparansi dirilis dalam bingkai meningkatkan transparansi, termasuk pertukaran informasi secara spontan yang bersifat wajib atau informasi yang sebelumnya tidak diminta tetapi mungkin relevan bagi pihak lain mengenai keputusan tertentu. Keputusan adalah setiap nasehat, informasi atau usaha yang diberikan oleh otoritas pajak kepada wajib pajak atau kelompok wajib pajak tertentu mengenai situasi perpajakannya.Kerangka Transparansi terutama didasarkan pada laporan bab 5 tahun 2015 dan setiap tahunnya dilakukan peer review mengenai Pertukaran Informasi Peraturan Perpajakan. Proses peer review dan pemantauan dilakukan oleh Forum Praktik Pajak Berbahaya (FHTP) sesuai dengan Kerangka Acuan dan Metodologi, dengan semua anggota berpartisipasi dengan kedudukan yang setara. Kerangka Acuan (KAK) dipecah menjadi aspek empat, yang mencakup elemen-elemen kunci dari kerangka transparansi yang tercantum di bawah ini, sedangkan rincian KAK terdapat di Bagian Lampiran:

  1. Proses pengumpulan informasi;
  2. Pertukaran informasi;
  3. Kerahasiaan informasi yang diterima;
  4. Statistik.

Untuk menerapkan kerangka transparansi, metodologi yang ditetapkan dengan mekanisme prosedur dimana memohon akan menyelesaikan observasi sejawat termasuk proses pengumpulan data yang relevan, persiapan dan persetujuan laporan, penerbitan observasi dan proses tindak lanjut. Metodologi ini bertujuan untuk mengumpulkan poin-poin data yang relevan dengan observasi sejawat dengan menggunakan kuesioner standar, yang dikirim ke mengirimkan yang ditinjau serta rekan-rekannya (yaitu, anggota lain dari Kerangka Kerja Inklusif BEPS). Oleh karena itu, FHTP memutuskan untuk meneruskan upaya peningkatan transparansi dalam tiga langkah:

  • Langkah pertama fokus pada pengembangan kerangka pertukaran informasi spontan yang wajib sehubungan dengan keputusan yang berkaitan dengan preferensi rezim. Kerangka kerja ini ditanamkan dalam Kemajuan FHTP tahun 2014 yang memperjelas bahwa kerangka kerja ini bersifat dinamis dan fleksibel dan pekerjaan lebih lanjut akan dilakukan.
  • Pada langkah kedua, FHTP telah mempertimbangkan apakah transparansi dapat ditingkatkan lebih lanjut dan mempertimbangkan rezim yang berkuasa di negara-negara anggota. Pekerjaan ini, yang meliputi kuesioner yang diisi oleh anggota negara-negara mengenai praktik-praktik pemerintahan yang ada, telah memberikan informasi bagi perkembangan lebih lanjut dari kerangka pertukaran informasi spontan yang bersifat wajib. Hal ini menghasilkan kesimpulan bahwa persyaratan untuk melakukan pertukaran informasi secara spontan harus mencakup semua kasus di mana tidak adanya pertukaran keputusan dapat menimbulkan kekhawatiran BEPS.
  • Pada langkah ketiga, FHTP mengembangkan kerangka praktik umum terbaik untuk merancang dan menjalankan rezim yang berdaya.

Dengan menggabungkan langkah pertama dan kedua, OECD menyetujui kerangka kerja wajib pertukaran informasi secara spontan sehubungan dengan keputusan yang diambil. Hal ini mencakup enam kategori peraturan khusus wajib pajak yang jika tidak ada pertukaran informasi spontan yang bersifat wajib dapat menimbulkan kekhawatiran BEPS sehingga memerlukan kerangka kerja ini. Keenam kategori tersebut adalah:

(i) Keputusan-keputusan yang berkaitan dengan rezim preferensial: FHTP telah menyetujui mengenai pertukaran informasi wajib mengenai keputusan-keputusan yang berkaitan dengan rezim preferensial. Pendekatan filter digunakan untuk putusan-putusan tersebut sehingga terdapat kewajiban untuk secara spontan bertukar informasi mengenai putusan-putusan khusus wajib pajak lintas negara terkait dengan rezim yang (i) berada dalam lingkup kerja FHTP; (ii) bersifat preferensial; dan (iii) memenuhi faktor tarif pajak efektif yang rendah atau tidak ada sama sekali

(ii) Unilateral Advance Pricing Agreements (APAs) or other cross-border unilateral rulings in respect of transfer pricing: Unilateral APAs are APAs established between a tax administration of one country and a taxpayer in its country. Unilateral APAs and other unilateral tax rulings are in the scope of covered rulings because in the absence of transparency they can create distortions and may give rise to BEPS concerns and either directly or indirectly impact on the tax position in another country. In some countries, unilateral APAs can adjust profits both upwards and downwards from the starting position.

(iii) Cross-border rulings providing for a downward adjustment of taxable profits; Cross-border rulings providing for a unilateral downward adjustment to the taxpayer’s taxable profits that is not directly reflected in the taxpayer’s financial/commercial accounts. In such cases, effective exchange of information is particularly important in order to give other countries the opportunity to apply their transfer pricing rules. In many cases the affected country will not be able to determine if such adjustment has been made because the adjustment is made in a domestic tax computation without being reflected in an enterprise’s accounts or it is made retrospectively. Excess profits rulings, informal capital rulings and other similar rulings recognize the contribution of capital or an asset, generally by the parent company or another related party and provide an adjustment that reduces the taxable profits through a deemed interest deduction in the case of an interest free loan.

(iv) Permanent Establishment (PE) rulings: This covers rulings that explicitly determine or decide on the existence or absence of a PE (either inside or outside of the country) or any ruling that provides for how much profit will be attributed to a PE.

(v) Related party conduit rulings: This includes rulings that cover arrangements involving cross-border flows of funds or income through an entity in the country and whether those funds or income flow to another country directly or indirectly. Indirect conduit arrangements include arrangements whereby a lower tier domestic entity receives cross-border income payments from underlying operating companies. Then it pays as an interest payment on a loan to a higher tier domestic entity or entity that owns an interest in the company and leaving a small taxable margin in the lower tier entity. The higher tier entity is treated as a tax transparent entity under domestic law and only has non-resident partners thereby avoiding taxation. The effect of this is an interest deduction in the underlying operating companies with no corresponding income pick-up in domestic entities (except the small margin) or in the non-resident partners. Therefore, this framework intended to debunk such harmful tax practice by obligating member states to be transparent on such rulings and minimize the chance of interest deduction under related party conduit agreement.

(vi) Any other type of ruling agreed by the FHTP that in the absence of spontaneous information exchange gives rise to BEPS concerns.

The following best practices are intended to reinforce the transparency advancements made in the OECD framework for compulsory spontaneous exchange of information on rulings:

1. Process of granting a ruling

Official rules and administrative procedures for rulings should be identified in advance and published. Tax rulings should be issued only within the limits of the country’s relevant domestic tax law and administrative procedures. Tax rulings should respect applicable international obligations that are incorporated into domestic tax law.

2. Term of the ruling and subsequent audit/checking procedure

APAs should only be for a fixed period of time and should be subject to review before being extended. Taxpayers should notify the tax authority about any material changes in the facts or circumstances on which a taxpayer-specific ruling (including an APA) was based, as soon as possible. Effective administrative procedures should be in place to periodically verify that the factual information relied upon and assumptions made when granting taxpayer-specific rulings remain relevant throughout the period of validity of the ruling. Rulings should be subject to revision, revocation or cancellation

3. Publication and exchange of information

General rulings should be published and made easily accessible to other tax administrations and taxpayers. For taxpayer-specific rulings, where the ruling issued falls within the scope of the OECD framework for compulsory spontaneous exchange of information on rulings or other applicable commitment to exchange

Under BEPS Action 5, participating jurisdictions have agreed to regularly Exchange information on certain Tax Rulings (ETR). In doing so, a dedicated Extensible Markup Language (XML) Schema and User Guide have also been developed to provide structured feedback on received exchange of tax rulings (ETR) information. The current version of the ETR XML Schema and User Guide, as well as the related Status Message Schema and User Guide, is applicable for all exchanges until 31 March 2020, whereas the second, new version will be in use as from 1 April 2020. The ETR Status Message XML Schema will allow tax administrations to provide structured feedback to the sender on frequent errors encountered with a view to improving overall data quality and receiving corrected information.

The requirement field for each data element and its attribute indicates whether the element is validation or optional in the ETR Status Message XML Schema.:

  • “Validation” elements MUST be present for ALL data records in a file and an automated validation check can be undertaken. The sender should do a technical check of the data file content using XML tools to make sure all validation elements are present.
  • “Optional” elements are, while recommended, not required to be provided and may in certain instances represent a choice between one type or another, where one of them must be used.
  • “Optional (Mandatory)” are Certain elements, such as the Original Message Ref ID element, indicating that the element is in principle mandatory, but is only required to be filled in certain cases (i.e. to the extent the Original Message Ref ID is available). The User Guide further details these situations and the criteria to be used.

In Indonesia, domestic regulations had been designed by the government to adopt 10 of the 15 BEPS action plans, namely. The BEPS 5 action plan, which contains harmful tax practices, is implemented through Regulation of the Director General of Taxes Number Per-24/Pj/2018 concerning Procedures for Spontaneous Exchange of Information in the Context of Implementing International Agreements.[1] Later, according to all of the review Indonesia has met all aspects of the terms of reference (ToR) for the calendar year 2017-2021 that can be met in the absence of rulings being issued and no recommendations are made. As no rulings issued no rulings within the scope of the transparency framework and no peer input was received in respect of the exchanges of information on rulings received from Indonesia. Therefore, Indonesia as a member of International Regime of OECD/G20 Inclusive Framework has been a good example of nation that oblige and harmonize itself to the international system in term of transparency framework to tackle harmful tax practice of action 5.

 

TBrights is a tax consultant in Indonesia which currently is an integrated business service in Indonesia providing comprehensive tax and business services

By Olina Rizki Arizal
Partner

 

 

ATTACHMENTS I

TERM OF REFERENCE (TOR) FOR THE CONDUCT OF THE PEER REVIEWS OF THE ACTION 5 TRANSPARENCY FRAMEWORK[2]

The terms of reference are broken down into four elements, which capture the key elements of the transparency framework:

  1. the information gathering process;
  2. the exchange of information;
  • confidentiality of information received;
  1. statistics.
  2. The Information Gathering Process

Jurisdictions should collect information relating to the tax rulings that are in the scope of the transparency framework. In particular:

  1. Jurisdictions should identify tax rulings within the scope of the transparency framework. This requires:
  • Identifying tax rulings that are (i) rulings related to a preferential regime; (ii) cross-border unilateral advance pricing agreements (APAs) and any other cross-border unilateral tax rulings (such as an advance tax ruling) covering transfer pricing or the application of transfer pricing principles; (iii) cross-border rulings providing for a unilateral downward adjustment to the taxpayer’s taxable profits that is not directly reflected in the taxpayer’s financial / commercial accounts;1 (iv) permanent establishment rulings; or (v) related party conduit rulings.
  • Identifying for each of these categories of tax rulings those that are past rulings and future rulings
  • For jurisdictions with IP regimes, identifying taxpayers benefitting from the third category of IP assets; new entrants benefitting from grandfathered IP regimes, regardless of whether a ruling is provided; and taxpayers making use of the option to treat the nexus ratio as a rebuttable presumption
  1. With respect to each tax ruling in scope, jurisdictions should identify all jurisdictions for which the tax ruling would be relevant. This requires:
  • Identifying the following jurisdictions:
  1. Jurisdictions of residence of related parties with which the taxpayer enters into a transaction covered by the ruling, or which gives rise to income from related parties benefiting from a preferential treatment;
  2. The jurisdiction of residence of the immediate parent of the taxpayer;
  3. The jurisdiction of residence of the ultimate parent of the taxpayer;
  4. For PE rulings, the jurisdiction of the head office;
  5. For conduit rulings, the jurisdiction of residence of the ultimate beneficial owner of the payment.
  • With respect to past rulings,6 if all jurisdictions for which the tax ruling would be relevant cannot be identified, jurisdictions should record and report instances of the use of the “best efforts approach.
  1. Jurisdictions should have in place a review and supervision mechanism to ensure that all relevant information is captured adequately, taking account of the separation of taxing powers between different levels of government.
  2. The Exchange of Information

Jurisdictions should undertake compulsory spontaneous exchange of information on the tax rulings within the scope of the transparency framework that requires:

  1. Having a domestic legal framework allowing spontaneous exchange of information and exchange of information on request;
  2. Having international exchange of information instruments that:
  • Are in force and effect; and
  • Permit spontaneous exchange of information on the relevant tax rulings and the subsequent exchange of the relevant tax rulings on request.
  1. Ensuring that each of the mandatory fields of information required in the template contained in Annex C of the Action 5 Report are present in the information exchanged
  2. Ensuring that the information is in the form of the template contained in Annex C of the Action 5 Report or the current OECD XML Schema and in accordance with the current OECD XML Schema User Guide.
  3. Putting in place appropriate systems to ensure that information on rulings is transmitted to their competent authority responsible for international exchange of information without undue delay.
  4. Ensuring the information to be exchanged is transmitted to the relevant jurisdictions in accordance with the following timelines:
  • For past rulings, as soon as possible for those Inclusive Framework members that joined, and jurisdictions of relevance identified by 1 September 2017 as well as developing countries (non-financial center) that requested additional time for the implementation, that still have to complete the identification and exchange of information on past rulings and for which recommendations on these specific aspects of the terms of reference have been issued and not yet addressed.
  • For future rulings, as soon as possible and no later than three months after the tax ruling becomes available to the competent authority.
  1. Ensuring that subsequent requests by another jurisdiction for a copy of a tax ruling made in connection with the transparency framework is responded to, or a status update is provided, within 90 days of the receipt of the request.
  • Confidentiality

With respect to information on rulings received under the transparency framework, jurisdictions should ensure that the information received is kept confidential. This requires:

  1. Having international information exchange mechanisms which provide that any information received should be treated as confidential and, unless otherwise agreed by the jurisdictions concerned, may be disclosed only to persons or authorities (including courts and administrative bodies) concerned with the assessment or collection of, the enforcement or prosecution in respect of, or the determination of appeals in relation to, the taxes covered by the exchange of information clause:
  2. Having the necessary domestic law to give effect to the restrictions contained in the international exchange of information instrument:
  3. Having effective penalties for unauthorized disclosures of confidential information;
  4. Ensuring confidentiality in practice; and
  5. Respecting the terms of the international exchange of information instrument, including the limitation on use of information received for taxable periods covered by the agreement.
  6. Statistics

Jurisdictions should keep statistics on the exchange of information under the transparency framework. This requires:

  1. Reporting the total number of spontaneous exchanges sent under the framework.
  2. Reporting the number of spontaneous exchanges sent by category of ruling.
  3. Reporting, for each category of ruling exchange, a list identifying which jurisdictions information was exchanged with.

 

 

ATTACHMENTS II

TERM OF REFERENCE (TOR) FOR THE CONDUCT OF THE PEER REVIEWS OF THE ACTION 5 TRANSPARENCY FRAMEWORK[3]

The terms of reference are broken down into four elements, which capture the key elements of the transparency framework:

  1. the information gathering process;
  2. the exchange of information;
  • confidentiality of information received;
  1. The Information Gathering Process

Jurisdictions should collect information relating to the tax rulings that are in the scope of the transparency framework. In particular:

  1. Jurisdictions should identify tax rulings within the scope of the transparency framework. This requires:
  • Identifying tax rulings that are (i) rulings related to a preferential regime; (ii) cross-border unilateral advance pricing agreements (APAs) and any other cross-border unilateral tax rulings (such as an advance tax ruling) covering transfer pricing or the application of transfer pricing principles; (iii) cross-border rulings providing for a unilateral downward adjustment to the taxpayer’s taxable profits that is not directly reflected in the taxpayer’s financial / commercial accounts;1 (iv) permanent establishment rulings; or (v) related party conduit rulings.
  • Identifying for each of these categories of tax rulings those that are past rulings and future rulings
  • For jurisdictions with IP regimes, identifying taxpayers benefitting from the third category of IP assets; new entrants benefitting from grandfathered IP regimes, regardless of whether a ruling is provided; and taxpayers making use of the option to treat the nexus ratio as a rebuttable presumption
  1. With respect to each tax ruling in scope, jurisdictions should identify all jurisdictions for which the tax ruling would be relevant. This requires:
  • Identifying the following jurisdictions:
  1. Jurisdictions of residence of related parties with which the taxpayer enters into a transaction covered by the ruling, or which gives rise to income from related parties benefiting from a preferential treatment;
  2. The jurisdiction of residence of the immediate parent of the taxpayer;
  3. The jurisdiction of residence of the ultimate parent of the taxpayer;
  4. For PE rulings, the jurisdiction of the head office;
  5. For conduit rulings, the jurisdiction of residence of the ultimate beneficial owner of the payment.
  • With respect to past rulings,6 if all jurisdictions for which the tax ruling would be relevant cannot be identified, jurisdictions should record and report instances of the use of the “best efforts approach.
  1. Jurisdictions should have in place a review and supervision mechanism to ensure that all relevant information is captured adequately, taking account of the separation of taxing powers between different levels of government.
  2. The Exchange of Information

Jurisdictions should undertake compulsory spontaneous exchange of information on the tax rulings within the scope of the transparency framework that requires:

  1. Having a domestic legal framework allowing spontaneous exchange of information and exchange of information on request;
  2. Having international exchange of information instruments that:
  • Are in force and effect; and
  • Permit spontaneous exchange of information on the relevant tax rulings and the subsequent exchange of the relevant tax rulings on request.
  1. Ensuring that each of the mandatory fields of information required in the template contained in Annex C of the Action 5 Report are present in the information exchanged
  2. Ensuring that the information is in the form of the template contained in Annex C of the Action 5 Report or the current OECD XML Schema and in accordance with the current OECD XML Schema User Guide.
  3. Putting in place appropriate systems to ensure that information on rulings is transmitted to their competent authority responsible for international exchange of information without undue delay.
  4. Ensuring the information to be exchanged is transmitted to the relevant jurisdictions in accordance with the following timelines:
  • For past rulings, as soon as possible for those Inclusive Framework members that joined, and jurisdictions of relevance identified by 1 September 2017 as well as developing countries (non-financial center) that requested additional time for the implementation, that still have to complete the identification and exchange of information on past rulings and for which recommendations on these specific aspects of the terms of reference have been issued and not yet addressed.
  • For future rulings, as soon as possible and no later than three months after the tax ruling becomes available to the competent authority.
  1. Ensuring that subsequent requests by another jurisdiction for a copy of a tax ruling made in connection with the transparency framework is responded to, or a status update is provided, within 90 days of the receipt of the request.
  • Confidentiality

With respect to information on rulings received under the transparency framework, jurisdictions should ensure that the information received is kept confidential. This requires:

  1. Having international information exchange mechanisms which provide that any information received should be treated as confidential and, unless otherwise agreed by the jurisdictions concerned, may be disclosed only to persons or authorities (including courts and administrative bodies) concerned with the assessment or collection of, the enforcement or prosecution in respect of, or the determination of appeals in relation to, the taxes covered by the exchange of information clause:
  2. Having the necessary domestic law to give effect to the restrictions contained in the international exchange of information instrument:
  3. Having effective penalties for unauthorized disclosures of confidential information;
  4. Ensuring confidentiality in practice; and
  5. Respecting the terms of the international exchange of information instrument, including the limitation on use of information received for taxable periods covered by the agreement.
  • Statistics

Jurisdictions should keep statistics on the exchange of information under the transparency framework. This requires:

  1. Reporting the total number of spontaneous exchanges sent under the framework.
  2. Reporting the number of spontaneous exchanges sent by category of ruling.
  3. Reporting, for each category of ruling exchange, a list identifying which jurisdictions information was exchanged with.

[1] https://www.pajak.com/pajak/djp-indonesia-telah-mengadopsi-10-rencana-aksi-beps/2/

[2] OECD (2015), Melawan Praktik Pajak yang Berbahaya dengan Lebih Efektif, Memperhatikan Transparansi dan Substansi, Laporan Akhir Aksi 5 – 2015, Proyek Erosi Basis dan Pergeseran Laba OECD/G20, OECD Publishing, Paris, https://dx. doi.org/10.1787/9789264241190en.

[3] OECD (2015), Melawan Praktik Pajak yang Berbahaya dengan Lebih Efektif, Memperhatikan Transparansi dan Substansi, Laporan Akhir Aksi 5 – 2015, Proyek Erosi Basis dan Pergeseran Laba OECD/G20, OECD Publishing, Paris, https://dx. doi.org/10.1787/9789264241190en.

Categories
Domestic Taxation

Hubungan Implementasi Pemajakan atas PMSE terhadap Realisasi Penerimaan Pajak 2022

Pandemi Covid-19 telah membatasi pergerakan fisik masyarakat dunia termasuk Indonesia yang membuat pemerintah menegakkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Meskipun pada tahun 2022 telah mulai dilonggarkan, akan tetapi dampaknya masih terasa dalam masyarakat terutama dalam pola perilaku konsumsi masyarakat yang mulai beralih dari jual beli konvensional di tempat menjadi beralih ke jual beli online melalui sistem elektronik. Dorongan PPKM untuk masyarakat membatasi kegiatan keluar rumah membuat masyarakat menyadari bahwa jual beli online lebih mudah, efektif dan kemungkinan juga lebih murah ditambah dengan beberapa barang serta kegiatan fisik yang goes digital seperti buku dan perilaku menonton melalui streaming online. Fenomena ini sebenarnya sudah hadir sejak beberapa tahun belakangan tetapi karena menimbulkan aspek perpajakan dalam hal jual beli barang atau penyediaan jasa maka mulai diatur juga oleh pemerintah Indonesia untuk aspek Pajak Pertambahan Nilainya (PPN).

Salah satu dasar hukum PMSE yang paling awal adalah berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No 62 Tahun 2013 mengenai Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-commerce yang kemudian dipersamakan dengan PMSE. Untuk istilah PMSE sendiri muncul melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yang menyebut definisi Perdagangan Melalui Sistem Eletronik (PMSE) adalah perdagangan yang transaksinya dilaksanakan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. PMSE sendiri mendapatkan perhatian tersendiri sesaat sebelum Pandemi Covid-19 mulai berlangsung yaitu pada 2019 melalui Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 2019 khusus tentang PSME. Kemudian di masa-masa pandemi timbul beberapa aturan-aturan lain yang berkaitan dengan PSME mulai dari Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2022, Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No 12 Tahun 2020, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 48 Tahun 2020, UU No.2 Tahun 2020, Per Dirjen 12 Tahun 2020, dan sebagainya.

Sebagian besar peraturan mengenai PMSE menetapkan agar pelaku di bidang ini dikenakan pajak terutaman PPN seperti halnya pelaku usaha lainnya atas setiap transaksi perdagangan melalui sistem elektronik. Beberapa aturan terkait PMSE menyatakan pelaku usaha PMSE yang telah ditunjuk sebagai pemungut wajib memungut PPN dengan tarif 11% dan akan naik menjadi 12% selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025 atas produk luar negeri yang dijual di Indonesia. [1] Lalu menurut data dari APBN Kinerja dan Fakta terdapat kurang lebih 134 PMSE yang terdaftar sampai dengan akhir tahun 2022. Perusahaan-perusahaan yang ditunjuk sebagai pemungut PPN antara lain:[2]

  1. PT Jingdong Indonesia Pertama
  2. PT Shopee International Indonesia
  3. PT Bukalapak.com
  4. PT Ecart Webportal Indonesia (Lazada)
  5. PT Tokopedia

Startup Unicorn di Indonesia yang juga menjadi pemungut PPN[3]

  1. Lazada – 2013
  2. Grab – 2014
  3. Garena – 2015
  4. Gojek – 2016
  5. Tokopedia, Traveloka, Bukalapak – 2017
  6. OVO, JD.ID, Bigo – 2019
  7. Gopay – 2020
  8. J&T Express, Xendit, Ajaib, Tiket.com, blibli- 2021a
  9. Property Guru, Carro, Flash Coffe, Carsome, Advance AI, Ninja Van – 2021b
  10. Kredivo, DANA, Akulaku – 2022

Beberapa perusahaan asing yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE[4]

Canva Pty Ltd, New York Times Digital LLC, Degreed Inc., Home Box Office (Singapore) Pte. Ltd., LNRS Data Service Limited, LexisNexis Risk Solution FL Inc, dan Ask.FM Europe Limited.

 

DAMPAK PPN PMSE TERHADAP REALISASI PENERIMAAN PPN

Perkembangan Penyelenggara PMSE yang terdaftar di 2022 menurut APBN Kinerja dan Fakta merupakan penambahan yang terendah ketimbang di tahun 2020 dan 2021, hal ini dikarenakan sifatnya yang merupakan kumulatif sehingga angka yang tercantum hanya merupakan penambahan penyelenggara yang baru mendaftar di tahun 2022. Hal ini dikarenakan hanya terdapat 40 penyelenggara yang baru mendaftar pada 2022 yang lebih rendah daripada dua tahun sebelumnya tetapi secara keseluruhan meningkat menjadi total 134 Penyelenggara PMSE yang sudah terdaftar oleh Kementerian Keuangan untuk melakukan Pemotongan atas PPN. [5]

Realisasi Penerimaan PPN dari total 134 Penyelenggara PMSE yang terdaftar sampai dengan akhir tahun 2022 mencapai Rp10,11 triliun untuk tahun 2020-2022. Apabila dijabarkan lebih lanjut untuk 2022 sendiri mencapai Rp 5,48 Triliun meningkat sekitar 40% dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp3,9 Triliun. Meski demikian kontribusi PPN PMSE tahun 2022 sendiri masih cukup kecil atau hanya sekitar 0,83% dari realisasi penerimaan total PPN 2022 yang mencapai Rp 660,98 Triliun.[6] Jadi meskipun peningkatannya cukup signifikan di tahun 2022 akan tetapi kontribusi daripada perpajakan PMSE masih terbilang kecil baik terhadap PPN itu sendiri maupun terhadap realisasi pajak secara keseluruhan.

 

TBrights merupakan tax consultant in indonesia yang saat ini menjadi integrated business service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif

Oleh Tommy HO – Managing Partner TBrights

 

[1] https://news.ddtc.co.id/lagi-djp-tunjuk-9-perusahaan-sebagai-pemungut-ppn-pmse-45694

[2] https://smconsult.co.id/id/daftar-lengkap-perusahaan-yang-ditunjuk-sebagai-pemungut-ppn-pmse-per-agustus-2021/

[3] https://www.cnbcindonesia.com/tech/20230215095610-37-413926/ada-21-startup-unicorn-di-indonesia-ini-daftar-lengkapnya

[4] https://www.cnbcindonesia.com/news/20220415064128-4-331892/7-perusahaan-asing-baru-ini-ditunjuk-pungut-ppn-siapa-saja

[5] https://media.kemenkeu.go.id/getmedia/1a28b5ae-91df-44f0-8e40-5e21056a974e/V-1-Final-Publikasi-APBN-KiTa-Edisi-Januari-2023.pdf?ext=.pdf

[6] Ibid

Categories
Customs

Perkembangan Kebijakan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) terhadap Realisasi Impor dan Penerimaan Bea Cukai serta Pajak Impor 2022

Apa itu Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE)?

Kebijakan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) adalah kemudahan yang memberikan pembebasan atau pengembalian Bea Masuk (BM) atas perlakuan impor barang atau bahan untuk diolah, dirakit untuk tujuan ekspor. KITE ini bermanfaat untuk mengurangi biaya produksi eksportir. Ketentuan KITE ini tercantum dalam Pasal 26 Undang-Undang No. 17 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 10 tentang Kepabeanan.

KITE Pembebasan adalah Pembebasan Bea Masuk termasuk bea masuk anti-dumping, retaliasi, pengamanan dan pengembalian, serta Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang belum dikenakan atas impor atau pemasukan barang dan bahan yang berasal dari yurisdiksi pabean luar untuk diproses, dirakit atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor kemudian. Dalam KITE jenis ini, perusahaan dapat membayar Biaya Kepabeanan dan Pajak dengan jaminan termasuk uang tunai, dari bank, perusahaan asuransi, Bank Exim Indonesia, perusahaan penjaminan atau jaminan perusahaan pada saat menyampaikan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan jaminan dilunasi setelah realisasi ekspor atas nama PIB. KITE pembebasan ini awalnya tercantum dalam PMK Nomor 254/PMK.04/2011, lalu diubah dengan PMK Nomor 176/PMK.04/2013.

KITE pelunasan adalah pelunasan Bea Masuk yang telah dibayarkan atas pemasukan atau pemasukan barang dan bahan yang berasal dari luar daerah pabean untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk kemudian diekspor. Dalam KITE jenis ini, perusahaan diwajibkan membayar biaya bea impor pada saat penyerahan PIB. Pelunasan dapat diproses setelah realisasi ekspor atas nama PIB.

KITE SMI adalah fasilitas berupa pembebasan Bea Masuk antara lain bea masuk antidumping, retaliasi, pengamanan dan pengembalian, serta Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak dipungut atas impor dan/atau pemasukan barang dan/atau bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan ekspor dan/atau penyerahan produksi IKM.

Kedudukan hukum KITE termasuk tetapi tidak terbatas pada:

  1. Undang-Undang No.17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.
  2. Peraturan Menteri Keuangan No.16/PMK.011/2008, No.253/PMK.04/2011 jo. No.177/PMK.04/2013, No.254/PMK.04/2011 jo. 176/PMK.04/2013, No.31/PMK.04/2020, 145/PMK.04/2022 (terbaru) dan 149/PMK.04/2022 (terbaru).
  3. Peraturan Direktorat Bea dan Cukai PER-15/BC/2012 jo. PER-05/BC/2014, PER-16/BC/2012 jo. PER-04/BC/2014, PER-08/BC/2022 (terbaru) dan PER-09/BC/2022 (terbaru).

Syarat untuk menjadi perusahaan KITE, antara lain:

  1. Mempunyai Nomor Induk Perusahaan (NIPER) dan izin usaha industri.
  2. Mempunyai jenis usaha di bidang manufaktur.
  3. Mempunyai bukti kepemilikan yang berlaku untuk waktu singkat 3 tahun atas lokasi yang akan digunakan untuk kegiatan produksi.
  4. Mempunyai tempat penmbunan barang dan hasil produksi.
  5. Memakai sistem informasi persediaan berbasis IT inventory untuk pengeloflaan barang berkaitan dengan dokumen kapabeanan dan dapat diakses oleh Ditjen Bea dan Cukai.

Jika persyaratan sudah terpenuhi, maka selanjutnya perusahaan mengajukan surat permohonan ke Kepala Kantor Wilayah atau KPU yang mengawasi lokasi kegiatan usaha.

Realisasi Penerimaan Bea Cukai dan Pajak Impor 2022

Golongan Penggunaan Barang Impor Nilai Impor (Nilai CIF) Menurut Golongan Penggunaan Barang (Juta US$)
2022 2021 2020 2019 2018
Barang Konsumsi 19.832,4 20.182,8 14.656,0 16.454,6 17.181,3
Bahan baku dan barang penolong 181.260,1 147.380,2 103.209,9 126.355,5 141.581,2
Barang Modal 36.354,6 28.627,0 23.702,9 28.465,6 29.948,8
Jumlah 237.447,1 196.190,0 141.568,8 171.275,7 188.711,3

 

Dari sisi perkembangan impor sendiri, dari kebijakan ini cukup berhubungan dengan realisasi impor yang mendapatkan hasil yang cukup baik. Pada golongan bahan baku dan barang penolong yang menjadi salah satu target utama dari kebijakan ini, nilai impornya mengalami kenaikan yang cukup signifikan dalam dua tahun ke belakang meskipun sempat menurun dikarenakan pandemi. Pada barang modal, nilai impornya dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Di saat yang sama pada golongan barang konsumsi, nilai impornya mengalami penurunan di tahun 2022 walaupun sempat mengalami peningkatan pada tahun 2021 karena mulai menurunnya tingkat pandemi. Hal ini mungkin berhubungan karena barang konsumsi umumnya bukan merupakan target daripada kebijakan KITE sehingga dorongan untuk melakukan impornya tidak sekuat bahan baku dan barang penolong yang umumnya mendapatkan insentif KITE.

No Jenis Penerimaan Target Perpres 98 Realisasi Growth (YoY,%) Capaian (%) % Thd Total DJBC+PDRI
2022 2021 2022 2021 2022 2021
1 Bea Masuk 42,34 51,08 39,12 30,57% 10,89% 120,64% 7,65% 7,75%
2 Cukai 220 226,88 195,52 16,04% 10,89% 103,13% 33,99% 38,75%
3 Bea Keluar 36,69 39,82 34,57 15,19% 708,21% 108,53% 5,96% 6,85%
  Total Bea dan Cukai 299,03 317,78 269,21 18,04% 26,37% 106,27% 47,60% 53,36%
4 PPN Impor 219,69 270,71 191,49 41,37% 36,33% 123,22% 40,55% 37,95%
5 PPn BM Impor 3,7 4,89 3,37 45,10% 12,22% 132,16% 0,73% 0,67%
6 PPh Pasal 22 Impor 65,44 74,2 40,47 83,35% 49,25% 113,39% 11,11% 8,02%
  Total Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) 288,83 349,8 235,33 48,64% 37,96% 121,11% 52,40% 46,64%
  Total DJBC+PDRI 587,86 667,58 504,54 32,31% 31,53% 113,56% 100% 100%

Tabel Penerimaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 2022 berdasarkan APBN Kinerja dan Fakta Edisi Januari 2023: Kaleidoskop 2022

Jumlah ini terhitung dari realisasi penerimaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dari Bea, Cukai dan Pajak dalam rangka Impor yang totalnya 667,58 Triliun Rupiah dari target Perpres 98 Tahun 2022 sejumlah 587,86 Triliun Rupiah. Realisasi Penerimaan 2022 ini juga merupakan peningkatan dari tahun sebelumnya meningkat 32,31% dari 2021 yang mana Realisasi Penerimaan 2021 sejumlah 504,54 Triliun Rupiah. Kinerja yang baik dalam Realisasi Penerimaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tahun 2022 ini tidak lepas juga dari kinerja perdagangan Indonesia di tahun 2022 di bidang ekspor, impor dan perdagangan barang cukai.

Apabila diperinci penerimaan DJBC 2022 ini terbagi atas Total Bea dan Cukai dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI). Penerimaan Bea dan Cukai menyumbang sekitar 317,78 atau 47,6% dari total penerimaan yang mana melampaui target dari Perpres 98 sekitar 106,27% dan meningkat 18,04% dari tahun 2021. Penerimaan Cukai masih mendominasi ketimbang Bea Masuk dan Bea Keluar dengan realisasi penerimaan 2022 sebesar 226,88 Triliun Rupiah, meningkat 16,04% dari tahun 2021, mencapai 103,13% dari target dan menyumbang 33,99% dari total penerimaan. Sementara itu penerimaan dari Bea Masuk dan Bea Keluar terealisasi sebesar 51,08 Triliun Rupiah dan 39,82 Triliun Rupiah atau setidaknya mencapai target sebesar 120,64% dan 108,53%.

Dari segi penerimaan, bea masuk mengalami peningkatan sebesar 30,56% (yoy). Peningkatan bea masuk dikontribusi oleh importasi kendaraan, suku cadang, dan barang logam yang tentunya terkait dengan fasilitas kebijakan KITE. Realisasi bea masuk ini terus bertambah positif didorong oleh semakin pulihnya perekonomian nasional karena produksi dan konsumsi dalam negeri yang meningkat Sedangkan kinerja penerimaan dari bea keluar mengalami peningkatan sebesar 15,18% (yoy). Realisasi bea keluar ini didukung oleh faktor peningkatan harga komoditas dan volume ekspor komoditas utama Indonesia seperti Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya, serta mineral tembaga.

Sebagai layanan bisnis terintegrasi di indonesia, TBrights memiliki Mitra Kepabeanan dan konsultan kepabeanan akan membantu Anda untuk menyelesaikan segala kebutuhan layanan kepabeanan di Indonesia

Oleh Tommy HO – Managing Partner TBrights

 

Referensi

APBN Kinerja dan Fakta: Kaleidoskop 2022, Edisi Januari 2023

Categories
Domestic Taxation

Pengaruh Perubahan Tarif PPh Badan Terhadap Realisasi Penerimaan Negara 2022

Penurunan Pertama (2020-2021)

Pada 2020, Pemerintah Indonesia melalui UU Cipta Kerja/ UU No 2 Tahun 2020 telah menurunkan tarif PPh Badan menjadi 22% dan berencana menjadi 20% pada 2022. Penurunan ini ditengarai karena Pemerintah berusaha meringankan beban perusahaan-perusahaan agar tidak mengalami kebangkrutan yang berujung Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang disebabkan pandemi Covid-19. Dasar hukum atas penurunan ini pada tahun tersebut didukung dengan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk menanggulangi atau menangani dampak ekonomi dan keuangan akibat pandemi covid-19.

Terlebih lagi bagi perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) akan mendapatkan tambahan diskon sebesar 3% lebih rendah dari tarif umum PPh Badan. Jadi, tarif PPh badan yang berlaku sebesar 19%. Tarif PPh badan tersebut berlaku bagi perusahaan yang berbentuk perseroan terbuka yang akan memperdagangkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) paling sedikit 40% dan memenuhi syarat tertentu.

Persyaratan perseroan terbuka untuk mendapatkan tarif PPh badan lebih rendah, diantaranya:

  1. Jumlah keseluruhan saham yang diperdagangkan di BEI paling sedikit 40%.
  2. Saham harus dikuasai setidaknya 300 pihak.
  3. Masing-masing pihak di dalam perseroan terbuka (PT) hanya diizinkan menguasai saham di bawah 5% dari keseluruhan saham yang diperdagangkan dan disetor penuh.
  4. Saham yang diperdagangkan dan disetor pada bursa efek wajib dipenuhi dalam kurun waktu paling sedikit 183 hari kalender selama jangka waktu 1 tahun pajak.
  5. Perseroan Terbuka (PT) membuat laporan dan diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Penurunan Kedua yang Gagal atau Tetap Kembali ke Tarif Penurunan pertama (2022)

Pada tahun 2022, Pemerintah merevisi kembali ketentuan tarif pajak penghasilan (PPh) badan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Di dalam UU HPP ini disebutkan bahwa tarif tetap di angka 22% lagi untuk tahun pajak 2022 atau tidak dilanjutkannya penurunan tarif PPh Badan yang tadinya direncanakan mengalami penurunan hingga sebesar 20% di tahun 2022 pada UU Cipta Kerja. Meski demikian, teruntuk tarif PPh Badan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan syarat-syarat yang telah disebutkan di atas tetap mendapatkan diskon 3% dari tarif yang berlaku atau tetap mendapatkan tarif 19% sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 55 Tahun 2022 Pasal 66.

Tidak dilanjutkannya atau digagalkannya penurunan tarif PPh Badan ini dikarenakan Pemerintah menganggap bahwa tarif yang berlaku sudah cukup kompetitif dan wajar terhadap tarif yang berlaku di negara-negara lainnya. Rata-rata Tarif PPh Badan negara-negara yang tergabung dalam Organization For Economic Co-operation and Development (OECD) tercatat sebesar 22,8%. Lebih dalam lagi, untuk rata-rata tarif PPh Badan negara-negara di Eropa yang tercatat sebesar 18,9% dan di Amerika rata-rata tarif PPh badan sebesar 27,1%.  Pemerintah juga menambahkan bahwa tarif PPh Badan rata-rata negara G-20 adalah sebesar 24,17% dan rata-rata negara di ASEAN 22,17%.

Realisasi Penerimaan Pajak PPh Badan 2022

Pada tahun 2022, realisasi penerimaan PPh badan meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 19,9% dari total penerimaan pajak yang diperkirakan mencapai Rp1.716,8 triliun atau setara dengan Rp340,81 triliun. Realisasi PPh Badan Rp340,81 Triliun ini mengalami peningkatan sekitar 34,84% dari tahun sebelumnya yang realisasi penerimaannya sekitar Rp252,76 triliun  Terlebih peningkatan realisasi PPh Badan merupakan yang tertinggi secara nominal sebesar Rp 88 Triliun sehingga porsinya terhadap komposisi realisasi penerimaan membesar. Hal ini cukup unik mengingat tarif PPh 25 Badan di tahun 2022 justru mengalami penurunan menjadi 22% dari tarif normal 25% berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mulai berlaku 1 Januari 2022. Maka dari itu hal ini menunjukkan bahwa tindakan Pemerintah untuk tidak menurunkan lagi tarif PPh Badan menjadikan peningkatan realisasi penerimaan PPh Badan sangat signifikan. Hal ini karena apabila tarifnya tetap mengalami penurunan sesuai dengan mandat UU Cipta Kerja sehingga realisasi penerimaan Pajak akan lebih rendah dan cukup mengkhawatirkan anggaran sebab PPh Badan merupakan kontributor pemasukan terbesar kedua setelah Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN). Dari pada itulah, Dirjen Pajak telah mengoptimalkan penerimaan ini dan di saat yang sama menandakan perekonomian badan usaha Indonesia mengalami pemulihan yang signifikan.

 

TBrights merupakan tax consultant in indonesia yang saat ini menjadi integrated business service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif

Oleh Tommy HO – Managing Partner TBrights

 

Rujukan:

https://nasional.kontan.co.id/news/inilah-reformasi-pajak-dalam-uu-22020-dan-uu-cipta-kerja

https://www.cnbcindonesia.com/news/20200402120518-4-149336/tok-pph-badan-turun-ke-22-di-2020-dan-20-di-2022

https://www.hukumonline.com/klinik/a/ragam-kebijakan-insentif-dan-relaksasi-pajak-selama-pandemi-lt5facf01d6ff5f

https://nasional.kontan.co.id/news/sah-pemerintah-pangkas-tarif-pph-badan-dari-25-menjadi-22-mulai-2020

http://www.hbmsconsulting.com/content-1058/pajak-articles/sri-mulyani-ungkap-alasan-penurunan-tarif-pph-badan-masuk-perpu.aspx

Categories
Domestic Taxation

Yuk mengenal Juru Sita: Juru Sita Pajak Negara dalam Kasus Soimah

Pesinden sekaligus artis Soimah Pancawati menceritakan bagaimana pihaknya diperlakukan tidak baik oleh debt collector pajak untuk menagih pajak penghasilannya. Kejadian itu terjadi pada 2015 silam. Pengalamannya tersebut ia sampaikan kepada budayawan Butet Kertaradjasa dan Puthut EA petinggi media Mojok.co, dalam sebuah tayangan siniar bertajuk ‘Blakasuta’ di kanal Youtube pada Rabu (05/04/2023).

Menurutnya ia dituding sengaja menghindari petugas pajak karena selalu tidak ada di rumahnya yang bertempat di Yogyakarta. Soimah berkata bahwa pada saat kejadian tersebut dirinya sedang berada di Jakarta. Lalu, beliau menambahkan terdapat dua orang pajak yang dicurigai sebagai debt collector datang ke rumah kakaknya dan menggebrak meja yang ada di rumah kakaknya.

Menaggapi hal itu Kementerian Keuangan, Sri Mulyani memberikan tiga penjelasan dalam video di Instagram yaitu, (1) permohonan maaf dari pihak DJP atas ketidaknyamanan hingga memiliki pengalaman tidak mengenakkan terhadap pegawai Dirjen Pajak terkait dengan kejadian pada 2015, yaitu adanya kesalahpahaman antara Soimah dengan Dirjen Pajak yang merupakan seorang pegawai Instansi Dewan Kantor Pajak terkait jual beli aset berupa rumah. (2) Terkait debt collector yang mendatangi rumah Soimah menurut Kantor Pajak sesuai dengan Undang-Undang, sudah memiliki debt collector sendiri, yaitu Juru Sita Pajak Negara (JSPN). (3) Terkait dengan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) hanya mengingatkan Soimah hingga memberikan bantuan jika terdapat kendala dalam pengisiannya, sebab batas akhir pelaporan SPT ialah akhir Maret.

Dari permasalahan tersebut, Juru Bicara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yustinus Prastowo dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menjelaskan soal petugas pajak yang mengecek pendopo Soimah di Yogyakarta. Keduanya mengatakan hal itu dilakukan dalam rangka kegiatan penggalian potensi PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS). Namun, petugas itu bukanlah debt collector melainkan petugas pajak biasa yang ditugaskan untuk melakukan pengukuran bangunan milik Soimah tersebut.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, DJP Kemenkeu Dwi Astuti menjelaskan sesuai ketentuan perundangan, jika seseorang membangun rumah tanpa kontraktor dengan luas di atas 200 meter2, maka terutang PPN sebesar 2% dari total pengeluaran untuk membangun rumah tersebut.

Juru Sita Pajak Negara (JSPN) dalam UU Nomor 19 Tahun 2000 Pasal 1(6) diartikan sebagai pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.

 

Adapun Tugas-Tugas Juru Sita Pajak Negara tercantum dalam Pasal 5 (1) UU Nomor 19 Tahun 2000

Jurusita Pajak bertugas:

  1. melaksanakan surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
  2. memberitahukan surat Paksa;
  3. melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
  4. melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan.

Apabila wajib pajak memiliki kewajiban yang belum dibayar hal ini berarti adanya utang pajak yang tercantum pada UU Pasal 1 (8) Nomor 19 Tahun 2000, yaitu Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pegawai JSPN mendatangi rumah, maka terdapat kewajiban pada Pasal 1 (9) Nomor 19 Tahun 2000 yang belum terpenuhi. Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.

Surat surat terkait terdapat di Pasal 2 (3b)

Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berwenang:

  1. mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak;
  2. menerbitkan:

1) Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;

2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;

3) Surat Paksa;

4) Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;

5) Surat Perintah Penyanderaan;

6) Surat Pencabutan Sita;

7) Pengumuman Lelang;

8) Surat Penentuan Harga Limit;

9) Pembatalan Lelang; dan

10) Surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan pajak.

TBrights merupakan tax consultant in indonesia yang saat ini menjadi integrated business service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif

Oleh Tommy HO – Managing Partner TBrights

Source

https://www.cnbcindonesia.com/news/20230411065427-4-428768/soimah-dikejar-debt-collector-pajak-menkeu-akhirnya-bicara

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230410091825-532-935522/blak-blakan-djp-soal-debt-collector-pajak-yang-uber-uber-soimah

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230409173744-78-935401/sri-mulyani-buka-suara-usai-soimah-didatangi-debt-collector-pajak

https://money.kompas.com/read/2023/04/09/203000326/sri-mulyani-klarifikasi-soal-keluhan-soimah-didatangi-petugas-pajak?page=all

https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/44984/uu-no-19-tahun-2000

https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/44984/uu-no-19-tahun-2000

Categories
International Tax

Indonesian Participation for BEPS on Action 5: Harmful Tax Practices Specific Actions – Preferential Tax Regime

BEPS Aksi 5 adalah salah satu dari empat standar minimum BEPS yang berlaku untuk semua anggota Kerangka Inklusif BEPS dan yurisdiksi mana pun yang relevan. Aksi 5 terdiri dari 4 konten spesifik tindakan dan Rezim Pajak Preferensial sebagai bagian dari praktik perpajakan yang merugikan merupakan salah satu konten spesifik tindakan yang menunjukkan rezim pajak spesifik yang diamati, yang disebabkan oleh kebijakan dan peraturan perpajakan di masing-masing negara anggota, memberikan ketidakadilan bagi yurisdiksi lain. Konten Rezim Pajak Preferensi memiliki beberapa referensi dari laporan tahun 1998, laporan tahun 2015 dan juga laporan kemajuan tahun 2017, 2018 dan yang terbaru adalah kesimpulan terkini tahun 2022 tentang tinjauan rezim pajak preferensial. Dua laporan utama, yaitu laporan tahun 1998 dan laporan tahun 2015, merupakan dasar dari rezim perpajakan preferensial baik dari segi definisi, dasar penentuan, kategorisasi status dan praktik terbaik. Sementara itu, laporan kemajuan terutama meninjau rezim pajak preferensi masing-masing negara di setiap negara anggota dan langkah selanjutnya untuk meminimalkan dampak buruk terhadap yurisdiksi lain.

Definisi yang termasuk dalam cakupan Laporan tahun 1998, pertama-tama, rezim ini harus diterapkan pada pendapatan dari aktivitas yang berpindah secara geografis, seperti aktivitas keuangan dan jasa lainnya, termasuk penyediaan barang tak berwujud. Rezim preferensial yang dirancang untuk menarik investasi pada pabrik, bangunan dan peralatan berada di luar cakupan Laporan tahun 1998. Kedua, rezim tersebut harus memperhatikan perpajakan atas pendapatan yang relevan dari aktivitas yang berpindah-pindah secara geografis. Oleh karena itu, pekerjaan ini terutama berkaitan dengan perpajakan bisnis, sedangkan pajak konsumsi secara eksplisit dikecualikan. Pajak bisnis dapat dipungut di tingkat pemerintah nasional, federal, atau pusat (“pajak nasional”) dan/atau di tingkat sub-nasional, sub-federal, atau desentralisasi (“pajak sub-nasional”). Pajak daerah mencakup pajak yang dipungut di tingkat negara bagian, regional, provinsi, atau lokal.[1]

 

In order for a regime to be considered preferential, it must offer some form of tax preference in comparison with the general principles of taxation in the relevant country. A preference offered by a regime either in small or large amounts of preference also may take a wide range of forms, including a reduction in the tax rate or tax base or preferential terms for the payment or repayment of taxes. The key point is that the regime must be preferential in comparison with the general principles of taxation in the relevant country, and not in comparison with principles applied in other countries. For example, where the rate of corporate tax applied to all income in a particular country is 10%, the taxation of income from mobile activities at 10% is not preferential, even though it may be lower than the rate applied in other countries. Thus, the framework under the 1998 Report determines whether a regime is a harmful preferential regime involves three stages[2]:

  1. Consideration of whether a regime is within the scope of work of the FHTP and whether it is preferential;
  2. Consideration of the five key factors and five secondary factors set out in the 1998 Report and amended by 2018 Progress Report to determine whether a preferential regime is potentially harmful;
  3. Consideration of the economic effects of a regime to determine whether a potentially harmful regime is actually harmful.

As mentioned by the second consideration, there are five key factors for assessing regimes according to 2018 Progress Report[3]:

  • The regime imposes no or low effective tax rates on income from geographically mobile financial and other service activities.
  • The regime is ring-fenced from the domestic economy.
  • The regime lacks transparency.
  • There is no effective exchange of information with respect to the regime.
  • The regime fails to require substantial activities.

The first key factor must be met in order for the FHTP’s analysis of a regime’s harmfulness to continue. If any one of the following four key factors is also met, then the regime will be found to be potentially harmful.

Meanwhile, the secondary factors can inform about the determinations of the key factors as listed below[4]:

  1. An artificial definition of the tax base. This secondary factor can inform determinations of whether the key factors are met, including whether a regime imposes no or low effective tax rates.
  2. Failure to adhere to international transfer pricing principles. This secondary factor can inform determinations of whether a regime imposes no or low effective tax rates, whether a regime is ring-fenced, and whether a regime fails to meet the transparency factor.
  • Foreign source income exempts from residence country taxation. This secondary factor can inform determinations of whether the key factors are met, including whether a regime is ring-fenced.
  1. Negotiable tax rate or tax base. This secondary factor can inform determinations of whether the key factors are met, including whether a regime imposes no or low effective tax rates and lacks transparency.
  2. Existence of secrecy provisions. This secondary factor can inform determinations of whether the key factors are met, including whether a regime lacks exchange of information

In the specific action of Preferential Tax Regimes, each country was requested to provide a description of its regimes, along with a self-review using a standard template. The self-reviews were followed by extensive analysis and peer reviews. The reviews were based on the principles and factors set out in the 1998 Report and relevant economic considerations. The reviews would inform list of current preferential regimes of each member states, the status of each preferential regimes and will be divided into two main categories as below[5]:

  1. IP Regimes: Regimes which provide a preferential tax treatment for certain income arising from qualifying intellectual property (IP)
  2. Non-IP Regimes: Regime that provides geographically mobile activities such as financial and other service activities that are not related with intellectual property. Later will be diversified into Headquarters Regimes, Financing and Leasing Regimes, Banking and Insurance Regimes, Distribution Center and Service Centre Regimes, Shipping Regimes, Holding Company Regimes, Fund Management Regimes and Miscellaneous Regimes

After being reviewed into status as listed in the attachment of the article, some of the preferential regime has to be abolished or substantially amended, especially on harmful features of the regime that are risky for BEPS to happen. Then when a regime is going to be abolished or substantially amended, there is a need to close off that existing regime. Closing off an existing regime means that no new entrants are permitted to enter the regime, and that the scope of benefits in the existing regime cannot be substantially expanded for existing beneficiaries. Therefore, the Action 5 of Preferential Tax Regime acted by FHTP will continue it task by Monitoring and reviewing the implementation of commitments to eliminate or amend a regime to ensure consistency with the Action 5 standard, the progress of other regimes if any reconsideration matters, “disadvantaged area” areas and any newly introduced regimes.[6]

Indonesia as part of the OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS also participates in Action 5’s Specific Action of Preferential Tax Regimes. Indonesia has submitted four of its preferential regimes, as listed at the attachment part, since the 2015 final report and has been reviewed until the 2022 updated conclusions on the review of preferential tax regimes. The four Indonesia’s Preferential Tax Regimes include Public/listed company regime, Investment allowance regime, Special economic zone regime and Tax holiday regime. After being reviewed by FHTP, the four regimes classified as out of scope or the regime does not grant tax benefits to geographically mobile activities. This means Indonesia, as a member of OECD/G20 inclusive framework on BEPS, did not practice any harmful preferential tax regime that threatened the International Taxation or in line with the objective of Action 5 of international regime of BEPS by OECD/G20.

In conclusion the Preferential Tax Regimes as part of harmful tax practices Action 5 is one of the action specific contents that shows the observed specific tax regimes in, caused by taxation policies and regulations in each member states, giving an unfairness for other jurisdictions. To be included, the regime must apply to income from geographically mobile activities and must relate to the taxation. Later. In order for a regime to be considered preferential, it must offer some form of tax preference in comparison with the general principles of taxation in the relevant country. After being considered as a preferential tax regime, it has to be reviewed whether it is a harmful preferential regime or not. There are 3 steps, 5 key factors and 5 secondary factors that determine whether a regime is a harmful preferential regime. After being reviewed, some of the preferential regime has to be abolished or substantially amended especially on harmful features of the regime. Indonesia did not practice any harmful preferential tax regime, instead having only 4 preferential tax regimes with the status out of scope and did not grant tax benefits to geographically mobile activities

 

TBrights is a tax consultant in Indonesia which currently is an integrated business service in Indonesia providing comprehensive tax and business services

By Olina Rizki Arizal
Partner

 

ATTACHMENTS

Meaning of results for preferential tax regimes[7]

Result Meaning
Harmful The regime has harmful features and economic effects. The jurisdiction is expected to take measures in order to remove the harmful features of the regime.
Potentially harmful but not actually harmful The regime is in scope, meets the low or no effective tax rate criterion and implicates one or more of the criteria, but an assessment of the economic effects shows that the regime is not having a harmful impact in practice. The regime is subject to a yearly monitoring process by the FHTP and where changes are identified, the FHTP can reconsider the conclusion.
Potentially harmful The regime is in scope, meets the low or no effective tax rate criterion and features of the regime implicate one or more of the criteria. However, an assessment of the economic effects has not yet taken place to make a determination as to whether the regime is (actually) “harmful”.
Not harmful The regime is in scope but does not have any features which implicate any of the criteria
Not harmful (amended) The regime is not harmful, taking into account amendments to ensure harmful features are removed.
Out of scope The regime does not grant tax benefits to geographically mobile activities
Out of scope (amended) The regime is out of scope, taking in account amendments which means it no longer grants tax benefits to geographically mobile activities.
In the process of being amended / in the process of being eliminated The jurisdiction has communicated to the FHTP the commitment of its government to abolish or amend the regime in light of the discussions by the FHTP about the features of the regime that are of concern, For regimes reviewed in 2017 and thereafter, this commitment involves a commitment to making the amendments within the timeline indicated above
Abolished A definite date for complete abolition of the regime has been announced, and the regime is transparent and has effective exchange of information. No new entrants are permitted into the regime. Any grandfathering for existing beneficiaries is consistent with the applicable framework and timelines.
Disadvantaged areas regime The regime provides incidental benefits to IP income, which is acceptable under paragraph 150 of the 2015 Report BEPS Action 5
Not operational The jurisdiction did not operationalize the regime and no taxpayer is able to benefit from it. If the regime becomes operational in the future, the jurisdiction has committed to inform the FHTP and the regime will be reviewed.
Under review The FHTP is continuing to consider the features of the regime and whether the criteria are implicated.

List of Indonesia Preferential Tax Regimes Reviewed by FHTP according to 2015 Final Report[8]

No Country Regime Type Conclusion
1 Indonesia Public/listed company regime Non-IP Regime Under Review
2 Indonesia Investment allowance regime Non-IP Regime Under Review
3 Indonesia Special economic zone regime Non-IP Regime Under Review
4 Indonesia Tax holiday regime Non-IP Regime Under Review

 

List of Indonesia Preferential Tax Regimes Reviewed by FHTP according to 2017 Progress Report[9]

No Country Regime Type Conclusion
1 Indonesia Public/listed company regime Non-IP Regime Out of Scope
2 Indonesia Investment allowance regime Non-IP Regime Out of Scope
3 Indonesia Special economic zone regime Non-IP Regime Out of Scope
4 Indonesia Tax holiday regime Non-IP Regime Out of Scope

 

List of Indonesia Preferential Tax Regimes Reviewed by FHTP according to 2018 Progress Report[10]

No Country Regime Type Conclusion Comments
1 Indonesia Public/listed company regime Non-IP Regime Out of Scope No income from geographically mobile activities
2 Indonesia Investment allowance regime Non-IP Regime Out of Scope No income from geographically mobile activities
3 Indonesia Special economic zone regime Non-IP Regime Out of Scope No income from geographically mobile activities
4 Indonesia Tax holiday regime Non-IP Regime Out of Scope No income from geographically mobile activities

 

List Of Indonesia Preferential Tax Regimes Reviewed by FHTP According To 2022 Updated Conclusions On The Review Of Preferential Tax Regimes[11]

No Country Regime Type Conclusion Comments
1 Indonesia Public/listed company regime Non-IP Regime Out of Scope No benefits for income from geographically mobile activities.
2 Indonesia Investment allowance regime Non-IP Regime Out of Scope No benefits for income from geographically mobile activities.
3 Indonesia Special economic zone regime Non-IP Regime Out of Scope No benefits for income from geographically mobile activities.
4 Indonesia Tax holiday regime Non-IP Regime Out of Scope No benefits for income from geographically mobile activities.

 

[1] OECD (2015), Countering Harmful Tax Practices More Effectively, Taking into Account Transparency and Substance, Action 5 – 2015 Final Report, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/9789264241190-en.

[2] Ibid

[3] OECD (2019), Harmful Tax Practices – 2018 Progress Report on Preferential Regimes: Inclusive Framework on BEPS: Action 5, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/9789264311480-en

[4] Ibid

[5] OECD (2015), Countering Harmful Tax Practices More Effectively, Taking into Account Transparency and Substance, Action 5 – 2015 Final Report, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/9789264241190-en.

[6] OECD (2019), Harmful Tax Practices – 2018 Progress Report on Preferential Regimes: Inclusive Framework on BEPS: Action 5, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/9789264311480-en.

[7] OECD (2019), Harmful Tax Practices – 2018 Progress Report on Preferential Regimes: Inclusive Framework on BEPS: Action 5, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/9789264311480-en.

[8] OECD (2015), Countering Harmful Tax Practices More Effectively, Taking into Account Transparency and Substance, Action 5 – 2015 Final Report, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/9789264241190-en.

[9] OECD (2017),  Praktik Pajak yang Berbahaya – Laporan Kemajuan 2017 tentang Rezim Preferensial: Kerangka Inklusif tentang BEPS: Aksi 5 , Proyek Erosi Basis dan Peralihan Keuntungan OECD/G20, OECD Publishing, Paris,  https://doi.org/ 10.1787/9789264283954-en .

[10] OECD (2019),  Praktik Pajak yang Berbahaya – Laporan Kemajuan 2018 tentang Rezim Preferensial: Kerangka Inklusif tentang BEPS: Aksi 5 , Proyek Erosi Basis dan Peralihan Keuntungan OECD/G20, OECD Publishing, Paris,  https://doi.org/ 10.1787/9789264311480-en .

[11] OECD (2023),  Praktik Pajak yang Berbahaya – Hasil Tinjauan Sejawat , Proyek Erosi Basis dan Pengalihan Keuntungan OECD/G20, Penerbitan OECD,

Categories
International Tax

Indonesian Participation for BEPS on Action 4: Limitation on Interest Deductions

Rekomendasi Aksi 4 bertujuan untuk membatasi erosi dasar yang menggunakan biaya bunga untuk mencapai pengurangan bunga yang berlebihan atau untuk membiayai produksi pendapatan yang dikecualikan atau ditangguhkan. Grup multinasional dapat mencapai hasil pajak yang menguntungkan dengan menyesuaikan jumlah utang dalam suatu entitas grup. Hal ini karena biaya bunga diperlakukan sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari pajak di sebagian besar negara, namun setiap negara menerapkan pendekatannya sendiri untuk menentukan biaya apa yang dianggap sebagai bunga dan oleh karena itu dapat dikurangkan untuk tujuan perpajakan. Perbedaan akan terus terjadi antar negara mengenai beban bunga yang dapat dikurangkan dan negara-negara akan terus menggunakan definisi bunga mereka sendiri untuk tujuan perpajakan lainnya, misalnya untuk pemotongan pajak. Namun, dalam mengidentifikasi praktik terbaik untuk merancang peraturan guna mengatasi erosi dasar dan pengalihan keuntungan, terdapat manfaat bagi negara-negara yang menerapkan pendekatan yang konsisten terhadap hal-hal yang harus dicakup dalam peraturan tersebut, meningkatkan kepastian bisnis dan memastikan pendekatan yang koheren untuk mengatasi masalah ini di seluruh negara. Oleh karena itu, Aksi 4 Kerangka Inklusif OECD/G20 tentang BEPS mencoba meyakinkan negara-negara anggota mengenai praktik terbaik dan rekomendasi untuk mengatasi masalah tersebut.[1]

Referensi utama dari Aksi 4 didasarkan pada Laporan Pembaruan OECD 2016 berjudul Limiting Base Erosion Involving Interest Deductions and Other Financial Payments Action 4 yang merevisi laporan akhir tahun 2015 dengan judul yang hampir sama. Laporan Update 2016 dipisahkan menjadi dua, Bagian I laporan ini berisi teks laporan tahun 2015 yang menganalisis beberapa praktik terbaik dan merekomendasikan pendekatan yang secara langsung mengatasi risiko-risiko yang diuraikan di atas. Sementara itu, Bagian II, yang merupakan perbedaan dari Laporan tahun 2015, mencakup ringkasan panduan lebih lanjut mengenai elemen desain dan pengoperasian aturan rasio grup berdasarkan rasio bunga bersih/EBITDA grup di seluruh dunia. Laporan Update 2016 juga berfokus pada perhitungan beban bunga bersih pihak ketiga, penghitungan EBITDA grup dan pendekatan untuk mengatasi dampak entitas dengan EBITDA negatif terhadap pengoperasian aturan tersebut. Panduan lebih lanjut pada Bagian II sebenarnya tidak mengubah apa pun yang direkomendasikan dalam Bagian I, melainkan memberikan rincian tambahan untuk membantu negara-negara menerapkan suatu peraturan.[2]

Menurut laporan tersebut, permasalahan tersebut muncul karena grup multinasional dapat memperoleh hasil pajak yang menguntungkan dengan menyesuaikan jumlah utang dalam entitas grup. Pengaruh peraturan perpajakan terhadap lokasi utang dalam kelompok multinasional telah menciptakan kemudahan kelompok multinasional untuk melipatgandakan tingkat utang pada tingkat entitas kelompok individu melalui pembiayaan intra-grup. Selanjutnya, risiko BEPS di area ini dapat muncul dalam tiga skenario dasar. Pertama, Kelompok yang menempatkan tingkat utang pihak ketiga yang lebih tinggi di negara-negara dengan pajak tinggi. Kedua, Grup menggunakan pinjaman intra-grup untuk menghasilkan pengurangan bunga yang melebihi beban bunga pihak ketiga aktual grup. Terakhir, Grup yang menggunakan pendanaan pihak ketiga atau intra-grup untuk mendanai perolehan pendapatan bebas pajak. [3]

The use of third party and related party interest is perhaps one of the simplest profit-shifting techniques in international tax planning. The fluidity and fungibility of money make it a relatively simple exercise to adjust the mix of debt and equity in a controlled entity. In particular, the deductibility of interest expense can give rise to double non-taxation in both inbound and outbound investment scenarios. Parent companies are typically able to claim relief for their interest expense while the return on equity holdings is taxed on a preferential basis, benefiting from a participation exemption, preferential tax rate or taxation only on distribution. On the other hand, subsidiary entities may be heavily debt financed, using excessive deductions on intra group loans to shelter local profits from tax. Taken together, these opportunities surrounding inbound and outbound investment potentially create competitive distortions between groups who are operating internationally and those operating in the domestic market. The interest payments are deducted against the taxable profits of the operating companies while the interest income is taxed at comparatively low tax rates or not at all at the level of the recipient. This is despite the fact that in some situations the multinational group may have little or no external debt.[4]

Therefore Action 4 focused on the use of all types of debt giving rise to excessive interest expense or used to finance the production of exempt or deferred income. In particular, this 2016 report established rules that linked an entity’s net interest deductions to its level of economic activity within the jurisdiction, measured using taxable earnings before interest income and expense, depreciation and amortization (EBITDA). This approach includes three elements: a fixed ratio rule based on a benchmark net interest/EBITDA ratio; a group ratio rule which may allow an entity to deduct more interest expense depending on the relative net interest/EBITDA ratio of the worldwide group; and targeted rules to address specific risks. As a minimum this should apply to entities in multinational groups. [5]

Fixed ratio rules premise that an entity should be able to deduct interest expense up to a specified proportion of EBITDA, ensuring that a portion of an entity’s profit remains subject to tax in a country. The underlying benchmark fixed ratio is determined by a country’s government and applies irrespective of the actual leverage of an entity or its group. Interest paid to third parties, related parties and group entities is deductible up to this fixed ratio, but any interest which takes the entity’s ratio above this benchmark is disallowed. The key advantage of a fixed ratio rule is that it is relatively simple for companies to apply and tax administrations to administer. On the other hand, a fixed ratio rule does not take into account the fact that groups operating in different sectors may require different amounts of leverage, and even within a sector groups may adopt different funding strategies for non-tax reasons. [6]

Therefore, to reduce the impact on more highly leveraged groups, the 2016 report also recommended that countries consider combining a fixed ratio rule with a group ratio rule. Combining this with the group ratio rule would allow an entity in a highly leveraged group to deduct net interest expense in excess of the amount permitted under the fixed ratio rule, based on a relevant financial ratio of the worldwide group. This means that the benchmark fixed ratio can be kept low and making sure the fixed ratio rule is effective in combating base erosion and profit shifting, while the group ratio rule compensates for the special case on highly leveraged groups. Regarding benchmark fixed ratio, the 2016 report recommended that countries set their benchmark fixed ratio within the corridor of 10% to 30%. However, it should be recognized that countries differ in terms of their legal framework and economic circumstances and, in setting a benchmark fixed ratio within the corridor which is suitable for tackling base erosion and profit shifting. Therefore, a country should therefore take into account a number of factors, including the following[7]:

  1. A country may apply a higher benchmark fixed ratio if it operates a fixed ratio rule in isolation, rather than operating it in combination with a group ratio rule.
  2. A country may apply a higher benchmark fixed ratio if it does not permit the carry forward of unused interest capacity or carry back of disallowed interest expense.
  3. A country may apply a higher benchmark fixed ratio if it applies other targeted rules that specifically address the base erosion and profit shifting risks to be dealt with under Action 4.
  4. A country may apply a higher benchmark fixed ratio if it has high interest rates compared with those of other countries.
  5. A country may apply a higher benchmark fixed ratio, where for constitutional or other legal reasons (example: EU law requirements) it has to apply the same treatment to different types of entities which are viewed as legally comparable, even if these entities pose different levels of risk.
  6. A country may apply different fixed ratios depending upon the size of an entity’s group.

To ensure that countries apply a fixed ratio that is low enough to tackle BEPS, while recognizing that not all countries are in the same position, the recommended approach includes a corridor of possible ratios of between 10% and 30%. The report also includes factors which countries should take into account in setting their fixed ratio within this corridor. The approach can be supplemented by a worldwide group ratio rule which allows an entity to exceed this limit in certain circumstances and deduct interest up to the level of the net interest/EBITDA ratio of its worldwide group.[8]

The implementation of Action 4 according to OECD, as at mid-2019, a number of OECD and Inclusive Framework member states have adopted interest limitations rules or are in the process of aligning their domestic legislation with the recommendations of Action 4. In 2019, all EU Member States apply an interest cap that restricts a taxpayer’s deductible borrowing costs to generally 30 percent of the taxpayer’s EBITDA. Various other countries have also taken steps to limit interest deductibility such as but limited to Argentina, India, Malaysia, Norway, South Korea or some are in the process of aligning their domestic legislation with the recommendations of Action 4 such as Japan, Peru and Vietnam.[9]

In Indonesia the implication of BEPS Action 4 might be closely related with Article 18 Paragraph 1 Income Tax Law. Later on, the Ministry of Finance has released Minister of Finance Regulation No.169/PMK.03/2015 (The 2015 MFR) regarding determination of the ratio between debt and capital of the company for purposes of calculating income tax. According to an article “Tinjauan Komprehensif atas Peraturan Pembatasan Interest Deductions and Other Financial Payments di Indonesia” on Journal of Applied Accounting and Taxation, Indonesia’s regulation related with Action 4 or the 2015 MFR actually in line with recommendations in Action 4. The original aspects in the Action 4 according to the article comprise 10 aspects, but the article simplifies it into 7 and Indonesia’s regulation relates with 6 aspects. Even though there are different approaches on some aspects between Indonesia’s regulation and Action 4 Recommendation, it represents Indonesia’s point of view on each aspect. The differences show regulations in Indonesia are still modest, making it easier for taxpayers and potential investors to fulfill their tax obligations with a relatively low tax compliance cost. The definition of elements used in Indonesia already meets the definition used in general. Likewise, the definition of interest deductions and other financial payments and the purpose of these regulatory restrictions have followed the currently developing capital structure instruments. [10]

Then it could be summarized that Action 4 recommendations aim to limit base erosion that use of interest expense to achieve excessive interest deductions or to finance the production of exempt or deferred income. Action 4 itself recommends an approach that includes three elements: a fixed ratio rule based on a benchmark net interest/EBITDA ratio; a group ratio rule which may allow an entity to deduct more interest expense depending on the relative net interest/EBITDA ratio of the worldwide group; and targeted rules to address specific risks. As a minimum this should apply to entities in multinational groups. Indonesia might not yet fully align its regulation with Action 4 since Indonesia released related regulation at the same time of 2015 report being released and until now the 2015 MFR still in effect without any amending. Although there are similarities of 2015 MFR with Action 4 aspect and also the discussion of interest deduction has been raised years before, it is still unidentified that the 2015 MFR is being influenced by the discussion of action 4. Proved by the difference approach between Indonesia 2015 MFR and Action 4 Recommendations.

TBrights is a tax consultant in Indonesia which currently is an integrated business service in Indonesia providing comprehensive tax and business services

By Olina Rizki Arizal
Partner

 

[1] OECD (2016), Limiting Base Erosion Involving Interest Deductions and Other Financial Payments, Action 4 – 2016 Update: Inclusive Framework on BEPS, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/9789264268333-en.

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] OECD (2016), Limiting Base Erosion Involving Interest Deductions and Other Financial Payments, Action 4 – 2016 Update: Inclusive Framework on BEPS, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/9789264268333-en.

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] OECD (2016), Limiting Base Erosion Involving Interest Deductions and Other Financial Payments, Action 4 – 2016 Update: Inclusive Framework on BEPS, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/9789264268333-en.

[8] Ibid

[9] https://www.oecd.org/tax/beps/beps-actions/action4/

[10] Nurul Ismah dan Agustin Setya Ningrum (2020), Tinjauan Komprehensif atas Peraturan Pembatasan Pemotongan Bunga dan Pembayaran Keuangan Lainnya di Indonesia , Jurnal Akuntansi Terapan dan Perpajakan Vol. 5, No.1, Maret 2020, 70-84