Categories
Domestic Taxation

Tanggapan Sri Mulyani soal Pajak Korporasi Belum Turun

 

Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku sudah mendapat permintaan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai penurunan pajak korporasi.

Dia menyebut, proses penurunan pajak ini sudah digodok dan sedang dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Beliau (Presiden) memang sudah meminta ya, kita waktu itu juga sudah dalam prosesnya menyampaikan kepada bapak mengenai langkah yang harus dilakukan. Untuk penurunan PPh memang dibutuhkan perubahan undang-undang, undang-undang PPh,” ujar dia saat ditemui di Hotel Ayana Mid Plaza, Jakarta, Jumat (22/3/2019).

“Jadi, proses untuk pembuatan RUU ini kita dari sisi persiapan naskah akademisnya sudah dilakukan, kita juga sudah membuat beberapa hitungan, preparation nya dan tentu proses legislasinya harus didorong. Karena kan sekarang ini kita masih juga mencoba untuk push reform UU KUP, UU PPH,dan UU PPN, yang UU KUP sekarang sudah ada di DPR,” sambungnya. 

Sri Mulyani mengatakan, saat ini pemerintah terus mendorong DPR agar mempercepat penyelesaian undang-undang KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) sebagai bagian dari proses penurunan pajak koorporasi. Kemenkeu secara khusus juga akan membawa rencana ini saat rapat kabinet. 

“Jadi kita akan terus untuk mendorong DPR untuk menyelesaikan UU KUP tersebut. UU PPH dan PPN naskah akademiknya relatif sudah siap tapi nanti kita akan sampaikan kepada kabinet tentu saja apa ini artinya, pengaruhnya dalam jangka pendek, jangka menengah, panjang dan ratenya akan seperti apa,” tutur dia.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menambahkan, pada periode ini pemerintah cukup banyak melakukan berbagai pekerjaan penting dalam pengelolaan keuangan negara. Meski demikian, penurunan pajak koorporasi tetap akan menjadi prioritas. 

“Karena sekarang ini  sedang dalam periode banyak sekali yang akan dilakukan ya, dari sisi belanja negara, dari sisi penerimaan, jadi nanti bagaimana bentuknya ini yang akan kita bawa. Tapi overall, itu sudah disiapkan yang disampaikan Bapak Presiden selama ini kita sudah siapkan juga,” tandasnya. 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Categories
Domestic Taxation

Dalam 10 Tahun, Penerimaan Pajak Tak Pernah Capai Target

Jakarta – Langkah pemerintah meningkatkan penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 menjadi Rp 1.577,6 triliun tidak tepat. Sebab, bila berkaca pada 2018 lalu penerimaan pajak di bawah yang ditargetkan.

Diketahui, penerimaan pajak pada 2018 hanya mencapai Rp 1.315,9 triliun atau sekitar 92,4 persen dari target yang ditetapkan sebesar Rp 1.424 triliun.

Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Tax Center, Ajib Hamdani, menyatakan bahwa sejak 2019 penerimaan pajak tidak pernah mencapai target.

“Target pajak tidak (dipikirkan) dari awal dibuat. Kenapa? Karena 2018 target pajak tidak tercapai katakanlah 90 persen. Target tahun ini naik 16 persen dari tahun kemarin yang target tahun kemarin tidak tercapai,” katanya dalam diskusi urgensi reformasi pajak di Jakarta, Kamis (4/4/2019).

Ajib mengatakan, seharusnya pemerintah tidak menaikan target penerimaan pajak dalam jumlah besar yang mencapai 16 persen. Jika memang ingin menaikkan seharusnya diperhitungkan dengan benar. Paling tidak mempertimbangkan dari target pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

“Secara hitung-hitungan apabila melihat pertumbuhan ekonomi dan inflasi target pajak dinaikan cuma 8 persen harusnya,” katanya.

Dirinya pun khawatir penerimaan pajak tahun ini tidak tercapai seperti tahun lalu. Dampaknya, pemerintah bakal semakin gencar melakukan intensifikasi pajak mendekati akhir penutupan.

“Target pajak tahun ini dinaikan kira kira 16 persen. Jangan sampai setengah tahun terakhir mereka melakukan intensifikasi,” imbuhnya

Di samping itu, rasio penerimaan pajak sendiri pada PDB juga masih tergolong kecil. Bahkan hanya berkisar antara 10-12 persen dari PDB.

Artinya, potensi penerimaan negara dari pajak masih bisa lebih besar. Apalagi jika melihat perbandingan dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara, rasio tersebut masih di bawah rata-rata yakni sebesar 15 persen dari PDB.

“Kalau PDB bisa diukur. PDB tidak pernah lebih dari 12 persen tahun kemarin 11 persen dan itu tdak sampai bahkan 10 persen lebih,” pungkasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Categories
Domestic Taxation

Tingkatkan Rasio Pajak Hingga 16 Persen Butuh Waktu Lama

Liputan6.com, Jakarta Janji calon presiden (capres) Prabowo Subianto untuk menaikkan rasio pajak menjadi 16 persen dinilai membutuhkan waktu yang lama. Setidaknya Indonesia minimal membutuhkan waktu 5 tahun untuk mencapai target tersebut.

Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan, kenaikan rasio pajak yang cukup signifikan tersebut tidak bisa dilakukan dalam waktu 1-2 tahun. Sebab, berpotensi mengganggu kestabilan ekonomi.

“Yang perlu ditanya, dia butuh waktu berapa lama. Kalau dalam waktu 1-2 tahun tidak mungkin karena akan mendistorsi perekonomian,” ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, seperti dikutip Senin (1/4/2019).

Menurut dia, kenaikan rasio pajak yang tinggi akan berdampak pada sektor swasta sebagai pembayar pajak. Oleh sebab itu, untuk menaikan rasio pajak perlu berhati-hati dan bertahap.

“Itu namanya kan mengekstraksi sumber daya sektor privat untuk diambil publik, ekonominya nanti malah kontraksi. Tapi kalau itu jangka panjang, ya butuh target 5 tahun misalnya. Saya kira dikasih waktu 5 tahun, minimal 5 tahun ya bisa,” jelas dia.

Selain itu, lanjut Yustinus, yang paling penting yaitu apa strategi yang disiapkan untuk mencapai kenaikan rasio ini. Sehingga tidak membuat resah para pelaku ekonomi.

‎”Iya, sekarang yang perlu diuji itu strateginya, semua orang bisa bilang ingin menaikkan, tetapi yang penting caranya apakah akan mendistorsi ekonomi atau tidak, itu yang perlu diuji,” tandas dia.

SUMBER : liputan6.com

Categories
Domestic Taxation

Sri Mulyani Batalkan Pajak e-Commerce, Ini Kata Bos Tokopedia

Jakarta – CEO Tokopedia William Tanuwijaya merespons positif keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membatalkan pajak e-commerce. Kebijakan ini menunjukkan pemerintah mendengar masukan industri.

“Tentunya apresiasi sekali bahwa pemerintah selalu dengarkan saran dan masukan pemain industri. Dengan ada penarikan ini akan ada ruang dan waktu untuk industri, asosiasi dan pemerintah dan semua stakeholder untuk mengkaji pendekatan terbaik seperti apa,” ujar William saat ditemui di sela-sela acara Thinkubator, di Gedung Transmedia, Jakarta, Jumat (29/3/2019).

Meski demikian, William mengatakan ada asumsi tidak tepat bahwa pengguna platform e-commerce tidak bayar pajak. Dia bilang hal tersebut mesti diluruskan/

Padahal menurutnya, semua platform online selama ini pun membayar pajak. Ada pula merchant alias pedagang pada platform online yang menurut William juga tetap membayar pajak.

“Sebenarnya banyak salah paham asumsi pemain online tidak bayar pajak, asumsi yang salah itu harus diluruskan selama ini platform online bayar pajak kok. Harusnya tidak ada asumsi seperti itu, yang platform besar itu kan memang memperkerjakan banyak karyawan pasti bayar pajak,” terang William.

“Demikian juga merchant yang bergabung, semua syarat dan ketentuan pasti mewajibkan mereka juga bayar pajak,” sambungnya.

Dia menambahkan harapannya pendapatan negara meningkat sehingga bisa membiayai kebijakan yang mendukung perkembangan e-commerce di tanah air, contohnya pembangunan infrastruktur.

“Tentu kami harapkan agar pendapatan negara terus meningkat, dengan pendapatan meningkat infrastruktur bisa dibangun, logistik lebih cepat maka pemain online pun makin nyaman,” kata William.

Fitur anyar Tokopedia

William juga menjelaskan fitur Tokopedia terbaru berupa Smart House dan Smart Logistic dalam menunjang kemudahan bertransaksi, terutama bagi para pedagang dari luar Jawa. Dengan teknologi tersebut pedagang e-commerce di luar Pulau Jawa bisa mengirim produk lebih cepat kepada pembeli di Jawa.

William menyebutnya teknologi sebagai fitur buka cabang.

“Nah dengan begini semua masyarakat Indonesia bisa punya cabang di manapun dengan harga murah tanpa buka toko dan lain-lain. Dia bisa menjangkau ke seluruh Indonesia dan bisa kirim barang di hari itu juga,” ungkap William.

William mencontohkan misalnya ada produk di Aceh harganya murah namun ongkos kirimnya apabila pembeli di Jakarta bisa lebih mahal dari harga produknya, namun lewat fitur Smart House dan Smart Logistic transaksi akan lebih mudah dan memangkas ongkos kirim.

“Misalnya kita contohkan ada produk kripik pisang di Aceh produk bagus harga Rp 12 ribu, kita cek di aplikasi bintang lima. Mau kita coba beli di Jakarta, tapi ongkos kirimnya lebih besar dari harga kripiknya, tentu kita nggak mau beli,” jelas William.

sumber : finance.detik.com

 

💬 Need Consultation ?