Categories
Domestic Taxation

Ditjen Pajak akan Pantau Aktivitas Netizen di Medsos

JAKARTA, KOMPAS.com – Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak, Direktorat Jenderal Pajak akan pantau kegiatan para wajib pajak melalui media sosial. Dikutip dari Kontan.co.id, Kamis (30/8/2018), langkah ini dilakukan untuk menambah basis data dari para wajib pajak yang saat ini sudah dimiliki oleh Ditjen Pajak. Diharapkan dengan langkah ini kepatuhan akan pajak di masyarakat akan meningkat. “Tapi ini kan baru rencana. Karena media sosial itu kan sangat luas, jadi masih butuh persiapan,” ujar Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Ditjen Pajak Iwan Djuniardi Rabu (29/8/2018). Menurut Iwan, Ditjen Pajak akan merekam keseluruhan data tersebut melalui sistem Sosial Network Analytics (Soneta). Sistem ini mampu merekam jaringan distribusi wajib pajak, jaringan kepemillikan saham, jaringan pemegang saham, ataupun untuk analisis penyandingan data baik untuk PPh maupun PPN. Selain itu, melalui sistem Soneta Ditjen Pajak juga mampu melihat jaringan hubungan keluarga antar wajib pajak. “Misal kita lihat dalam seminggu orang ini berada di mana, misal lihat Instagram atau Facebook, kita bisa liat dia pergi atau berhubungan sama siapa,” kata Iwan. Meski demikian, dari pihak Ditjen Pajak masih mempersiapkan infrastruktur yang digunakan untuk mendukung langkah tersebut. (Patricius Dewo) Berita ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul: Tingkatkan basis data pajak, Ditjen Pajak akan mengintip kegiatan di medsos EditorBambang Priyo Jatmiko Sumber Tag: Netizen Ditjen Pajak Berita Terkait Pajak Jomblo Hingga Jendela, 5 Pajak Aneh di Dunia Malaysia Segera Terapkan Pajak untuk Minuman Manis, Buat Apa? Per 20 Agustus, Penerimaan Pajak Capai 50 Persen dari Target Tahun Ini Pemerintah Beri Kelonggaran Pembayaran Pajak untuk Masyarakat Pulau Lombok Penerimaan Pajak Dipatok Rp 1.781 Triliun Tahun 2019.

 

sumber :kompas.com

Categories
Domestic Taxation

Jumlah Barang Kena PPh Impor Tambah Banyak

Bisnis.com, JAKARTA – Selain opsi mengerek tarif PPh impor, pemerintah juga akan menambah jenis barang yang dikenakan PPh impor.

Saat ini Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tengah berkoordinasi untuk memastikan jumlah barang yang ditambahkan sebagai obyek PPh impor.

Kepala BKF Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara mengungkapkan penambahan jenis barang tersebut akan difokuskan ke jenis barang konsumsi, kemudian barang yang diproduksi dalam negeri, hingga barang yang sudah diidentifikasi dan dicocokan dengan data dari DJBC.

“Sekarang Bea dan Cukai datanya lebih bagus karena tidak ada impor borongan. Jadi menulisnya lebih komplit dan memudahkan kami mengetahui nama barangnya khusus yang konsumsi,” ungkap Suahasil di Jakarta, Selasa (28/8/2018).

Jika merujuk pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, ada sekitar 900 barang yang akan direview terkait pengenaan tarif PPh impornya. Namun demikian, Suahasil menambahkan dengan data dari otoritas kepabeanan, besar kemungkinan jenis barang yang dikenakan tarif PPh impor tersebut lebih dari 900.

Suahasil menegaskan bahwa kebijakan mengenakan atau menaikan PPh impor tersebut sudah dihitung untung ruginya oleh pemerintah. Penggunaan instrumen fiskal melalui PPh impor secara risiko juga jauh lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan instrumen fiskal lainnya misalnya bea masuk.

Artinya, jika Indonesia ikut menggunakan skema yang konfrontatif misalnya menaikan bea masuk, terlalu berisiko bagi perkembangan perekonomian domestik.

Penggunaan PPh impor secara umum juga tidak terlalu merugikan pelaku usaha. Sebagai ilustrasi, mekanisme pemungutan PPh impor adalah menggunakan skema witholding tax, dipungut di awal, namun demikian dalam pembayaran pajak PPh impor tersebut nantinya bisa dikreditkan, sehingga tak terlalu memberatkan bagi wajib pajak.

“PPh impor ini bisa menjadi bagian dari pembayaran PPh terutang wajib pajak secara keseluruhan di akhir tahun pajak. Duitnya tidak hilang, harusnya tidak menjadi beban,” ungkapnya.

Suahasil menambahkan, pemerintah sedang melihat berbagai kemungkinan yang terjadi dari rencana kebijakan baru tersebut. Soal tarif misalnya, yang berlaku saat ini masih terdapat beberapa layer tarif misalnya 7,5% sampai dengan 10%. “Apakah yang di bawah atau dinaikan, jadi nanti tunggu dulu deh [sampai pembahasan berakhir],” ungkapnya.

 

sumber : finansial.bisnis.com

 

Categories
Domestic Taxation

Fakta-Fakta Menarik Penerimaan Pajak 2018, Bisa Capai Target?

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat penerimaan pajak hingga 20 Agustus 2018 mencapai Rp760,57 triliun atau 53,41% dari target pada 2018.

Lalu apakah akan mencapai target? Berikut fakta-faktanya:

 

1. Penerimaan pajak naik 15,49%

Jumlah ini naik 15,49% dibanding penerimaan periode yang sama 2017. Apabila tidak memperhitungkan penerimaan dari program Amnesti Pajak, maka pertumbuhan pada 2018 mencapai 17,63%.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Kemenkeu Hestu Yoga Saksama mengatakan, secara umum semua jenis pajak utama tumbuh positif. Penyumbang penerimaan terbesar, yaitu PPh Badan, PPh Pasal 21, PPN Dalam Negeri, dan PPN Impor tumbuh masing-masing sebesar 22,24%; 15,57%; 9,44%; dan 26,85%.

“Berdasarkan jenis industri, penerimaan dari berbagai sektor utama juga menunjukkan kinerja positif di mana industri pengolahan dan perdagangan yang merupakan dua sektor penyumbang penerimaan terbesar tumbuh masing-masing 13,08% dan 29,75%,” ujarnya.

2. Outlook realisasi penerimaan pajak 2018 diperkirakan mampu mencapai sebesar Rp1.351 triliun.

Menurut Hestu, tren pertumbuhan ini memberikan indikasi positif bahwa DJP akan mampu mencapai outlook realisasi penerimaan pajak 2018 yang diperkirakan sebesar Rp1.351 triliun.

“Dengan kata lain, realisasi penerimaan hingga akhir 2018 diproyeksikan dapat tumbuh 17,38%,” ungkapnya.

Berdasarkan outlook ini, lanjut Hestu, maka proyeksi penerimaan pajak 2019 sebesar Rp1572,3 triliun merupakan target yang realistis dengan tingkat pertumbuhan 16,4% dari outlookrealisasi tahun ini. ”Untuk menjaga tren positif yang dicapai selama tahun ini, DJP akan terus mengoptimalkan layanan dan implementasi berbagai program penting termasuk pelaksanaan PP 23/ 2018, pemberian restitusi dipercepat, dan pelaksanaan reformasi perpajakan,” tuturnya.

3. Kinerja penerimaan Bea Cukai mencapai pertumbuhan tertinggi

Sementara itu, kinerja penerimaan Bea Cukai periode Januari hingga 31 Juli 2018 mencapai pertumbuhan tertinggi dibanding periode yang sama (year on year) dalam tiga tahun terakhir. Dibanding 2017, penerimaan Bea Cukai hingga Juli 2018 melonjak 16,39%.

Sejumlah faktor utama berperan terhadap kenaikan tersebut, yakni peningkatan kegiatan perdagangan internasional, kebijakan di bidang kepabeanan dan cukai yang tepat termasuk melalui Program Penguatan Reformasi, Program Penertiban Impor, Ekspor, dan Cukai Berisiko Tinggi (PIBT, PEBT, dan PCBT), serta Program upaya ekstra (extra efforts), salah satunya joint program dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

SUMBER : economy.okezone.com
Categories
Domestic Taxation

Hingga 20 Agustus 2018, Setoran Pajak Capai Rp 760 T

Tangerang – Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) sampai 20 Agustus 2018 telah berhasil mengumpulkan penerimaan sebesar Rp 760,57 triliun atau sebesar 53,41% dari target.

Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan penerimaan yang sudah dicatat tersebut tumbuh 15,49% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.

“Per 20 Agustus, masih tetap bagus tumbuh 15,49%, sudah mencapai 53,41% dari target,” kata Robert saat Konfrensi Pers RAPBN 2019 di kantor Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta, Kamis (23/8/2018).

 


Robert mengungkapkan, penerimaan per 20 Agustus 2018 pun tumbuh lebih tinggi yakni 17,63% jika tidak memperhitungkan penerimaan dari program tax amnesty.

Dia bilang, secara umum semua jenis pajak utama tumbuh positif dengan penyumbang penerimaan terbesar yaitu PPh badan, PPh Pasal 21, PPN dalam negeri, dan PPN impor yang tumbuh masing-masing 22,24%, 15,57%, 9,44%, dan 26,85%.

Berdasarkan jenis industri, lanjut Robert, penerimaan dari berbagai sektor utama juga menunjukkan kinerja positif di mana industri pengolahan tumbuh 13,08% dan perdagangan 29,75%. 

“Dua sektor ini penyumbang penerimaan terbesar,” tambah dia.

Tren pertumbuhan ini memberikan indikasi positif bahwa Ditjen Pajak akan mampu mencapai outlook realisasi penerimaan pajak 2018 yang diperkirakan sebesar Rp 1.351 triliun. Realisasi penerimaan di akhir tahun ini diproyeksikan tumbuh 17,38%.


Berdasarkan outlook ini, maka proyeksi penerimaan pajak 2019 sebesar 1.572,3 triliun atau tumbuh 16,4% dari outlook realisasi tahun 2018.

“Ditjen Pajak akan terus mengoptimalkan layanan dan implementasi berbagai program penting termasuk pelaksanaan PP 23/2018, pemberian restitusi dipercepat, dan pelaksanaan reformasi perpajakan,” tutup dia. 

sumber : finance.detik.com

 

 

 

Categories
Domestic Taxation

Penerimaan Pajak Hingga Juli Rp 687,17 Triliun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak periode Januari-Juli 2018 sebesar Rp 687,17 triliun. Realisasi penerimaan ini sudah mencapai 48,26 persen dari target Rp 1.424 triliun hingga akhir 2018.

“Januari sampai Juli 2018 pertumbuhannya 14,36 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year). Angka ini lebih baik dari semester I 2018 yang tumbuh 13,99 persen (yoy),” kata Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Robert Pakpahan di Jakarta, Selasa (14/8).

Pertumbuhan penerimaan pajak sampai dengan Juli 2018 ditopang jenis-jenis penerimaan pajak yang berasal dari aktvitas impor dan produksi. Pertumbuhan positif ini ditopang oleh pajak penghasilan (PPh) nonmigas yang tumbuh sebesar 14,4 persen, PPh migas naik 14,21 persen, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) 14,26 persen, serta pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak lainnya tumbuh 14,48 persen.

Dari sisi jenis pajak, pertumbuhan PPh pasal 21 periode Januari-Juli 2018 tercatat sebesar 16,13 persen (yoy). Pencairan tunjangan hari raya dan gaji ke-13 menjadi faktor utama peningkatan tersebut.

Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 juga turut mendorong peningkatan PPN dalam negeri di sektor perdagangan yang sepanjang Januari-Juli 2018 tumbuh 19,43 persen (yoy) atau lebih besar dibandingkan tahun lalu yang tumbuh 13,54 persen.

Robert juga menjelaskan mengenai realisasi penerimaan per sektor usaha yang kontribusi terbesarnya disokong oleh industri pengolahan sebesar Rp 194,36 triliun atau berkontribusi 29,9 persen dan perdagangan Rp 131,7 triliun (20,3 persen).

Khusus untuk sektor pertambangan, tren kenaikan harga komoditas menyebabkan pertumbuhannya mencapai 78,08 persen (yoy). Harga batubara acuan, misalnya, dalam dua tahun terakhir naik dari 53,2 dolar AS per ton pada Januari 2016 menjadi 104,65 dolar AS per ton Juli 2018.

“Kami cukup positif dengan angka ini, mudah-mudahan pada bulan depan lebih bagus lagi supaya bisa mendekati target yang ada di APBN,” kata Robert.

 

sumber : Republika.co.id

Categories
Domestic Taxation

Wajib Pajak Orang Pribadi, HNWI dan Penghindaran Pajak

 

Cristiano Ronaldo, bintang sepakbola asal Portugal hingga Lionel Messi asal Argentina, dituduh melakukan penggelapan pajak oleh otoritas pajak Spanyol karena mereka yang menjadi wajib pajak di Spanyol tidak melaporkan penghasilan yang mereka terima termasuk hasil dari shell company yang mereka miliki.  Mengapa masalah ini dapat terjadi dan apa yang bisa kita pelajari bagi perpajakan di Indonesia?

 

 

Permasalahan Pajak

 

Ronaldo dan Messi terutang pajak di Spanyol karena meskipun mereka bukan warga negara Spanyol namun mereka menjadi resident untuk kepentingan pajak di Spanyol sehingga penghasilan mereka terutang pajak penghasilan di Spanyol.

 

Hal serupa dapat terjadi di Indonesia karena ada WNI, yang karena keadaaan atau bahkan terencana, menjadi tax resident di negara lain, dimana mereka memiliki penghasilan dan harta dalam jumlah besar. High Net Worth Individuals (HNWI), dapat saja menggunakan perencanaan pajak dengan menjadi resident untuk kepentingan pajak di negara lain. Sehingga HNWI asal Indonesia, yang menjadi incaran program Tax Amnesty pemerintah, dapat tidak terutang pajak penghasilan di Indonesia karena telah menjadi resident di negara lain.

 

 

Perencanaan Pajak

 

Pada saat Tax Amnesty diluncurkan, diperkirakan ada ribuan triliun uang WNI tersimpan di Singapura dan negara lainnya namun berdasarkan peraturan pajak,  banyak dari WNI tersebut yang tidak wajib membayar pajak penghasilan di Indonesia sehingga tidak wajib mengikuti Tax Amnesty karena didasari aturan pajak Indonesia tentang tax resident yang terutama didasarkan atas lama tinggal di Indonesia.

 

Banyak WNI, termasuk HNWI, yang tinggal di Singapura, tidak wajib membayar pajak di Indonesia dan menjadi resident untuk kepentingan pajak di Singapura sehingga hanya wajib membayar pajak penghasilan mereka di Singapura meskipun sebagian dapat saja sebagian besar harta dan penghasilan mereka berada atau bersumber di Indonesia.

 

Sejarah mencatat, orang terkaya di Asia Tenggara di masanya, Oei  Tiong Ham pindah ke Singapura dari Semarang pada masa kolonial Belanda untuk menghindari pajak penghasilan yang besar di Hindia Belanda di tahun 1920-an.

 

 

Tax Resident

 

Aturan tentang tax resident  (domisili fiskal) di Indonesia juga diatur dalam Tax Treaty dengan negara lain dimana resident tidak hanya didasarkan atas berapa lama seseorang tinggal di satu negara tapi juga dapat didasarkan atas keadaan di sekitar wajib pajak seperti tempat tinggal tetap atau hubungan ekonomi meskipun dalam peraturan dan praktek, penentuan domisili fiskal lebih didasarkan pada lama tinggal wajib pajak di Indonesia.

 

Berdasarkan Peraturan DJP No. PER-43/PJ/2011, HNWI asal Indonesia dapat dianggap sebagai subjek pajak luar negeri dengan melihat lama tinggal di Indonesia. Jika HNWI dianggap sebagai resident atau subjek pajak di luar negeri maka tidak hanya berpengaruh pada pelaporan pajak saja namun juga hal lain seperti pembukaan rahasia atas informasi keuangan dan perbankan belum lama ini dapat saja  tidak berpengaruh pada mereka karena tidak harus membayar pajak penghasilan di Indonesia

 

Dalam praktek di negara lain, domisili fiskal ditentukan tidak hanya berdasar lama tinggal di satu negara. Di Belanda, warga negara Belanda yang tinggal atau pindah ke negara lain tidak otomatis dianggap sebagai resident negara lain tapi tetap dianggap sebagai tax resident di Belanda hingga 1 tahun setelah kepindahannya dan ada aturan khusus dalam UU Pajak Belanda tentang fakta dan keadaan untuk melihat status tax resident termasuk perkecualian misalnya untuk diplomat.

 

Aturan berdasarkan lama tinggal dapat menjadi celah bagi highly mobile individual yang tidak tinggal lebih dari 183 hari di satu negara dalam satu tahun seperti halnya pelaut hingga usahawan  yang berbisnis di banyak negara. Inggris bahkan memutuskan bahwa seorang yang tinggal dan bekerja di luar Inggris namun telah menjadi tax resident selama 15 dari 20 tahun terakhir akan tetap menjadi resident di Inggris. Di Jerman, mantan petenis Boris Becker, yang memiliki tempat tinggal di Swiss, diputuskan oleh kantor pajak Jerman tetap berdomisili fiskal di Jerman karena apartemennya di Munich dan harus membayar pajak di Jerman.

 

 

Exit Tax dan Tax Clearance

 

Dalam ketentuan pajak di Indonesia, orang pribadi yang tidak lagi menjadi tax resident di Indonesia tidak perlu mendapatkan tax clearance dari kantor pajak jika akan pindah ke luar negeri, baik bagi WNI maupun WNA meskipun ini adalah untuk memastikan semua hutang dan kewajiban pajak sudah diselesaikan. Di negara lain, tidak hanya itu, bahkan warga negara yang akan pindah kewarganegaraan dapat diminta menyelesaikan pajak yang masih harus dibayar seperti exit tax.

 

Kelemahan ini memungkinkan seorang WNI atau WNA meninggalkan Indonesia tanpa membayar pajak yang terutang sehingga ada satu kasus dimana WNA Malaysia yang telah pergi meninggalkan Indonesia dengan jumlah hutang pajak yang besar dan akhirnya disandera karena tunggakan pajak tersebut saat ia datang lagi ke Indonesia.

 

Shell Company

 

Special Purpose Vehicle di luar negeri dapat dipakai oleh HNWI untuk menghindari pajak karena passive income dapat memperoleh perlakuan pajak yang lebih menguntungkan dibandingkan penghasilan usaha atau pekerjaan.

 

Otoritas pajak sesungguhnya berkewajiban untuk mengetahui kepemilikan SPV luar negeri oleh Wajib Pajak Dalam Negeri termasuk HNWI. Ditjen Pajak perlu memperoleh informasi kepemilikan SPV luar negeri dari HNWI Indonesia seperti tercermin dalam kasus Panama Paper. Tentunya ini didukung dengan rencana global agar tidak ada lagi negara yang mengijinkan adanya bearer shares (saham atas unjuk) dalam UU domestik.

 

Informasi kepemilikan badan usaha di luar negeri  menjadi semakin penting setelah terbitnya aturan baru Controlled Foreign Corporation (CFC) berdasarkan PMK No. 107/PMK.03/2017 sehingga WNI  atau bahkan WNA yang dianggap sebagai resident di Indonesia akan terutang atas penghasilan mereka dari penyertaan modal dari badan usaha di luar negeri dimana berdasarkan aturan terbaru tersebut,  badan usaha di luar negeri juga dapat meliputi Trust atau badan usaha sejenis dan penyertaan modal yang dilakukan termasuk penyertaan modal langsung maupun tidak langsung.

 

 

Kesimpulan

 

Dari perbandingan dengan negara lain, dalam hal peraturan tentang resident di Indonesia, terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki  pemerintah seperti ketentuan pajak untuk resident bagi WNI yang berpindah ke negara hingga exit tax atau tax clearance bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Hal ini diperlukan untuk kepastian hukum, mengatasi permasalahan penghindaran pajak hingga penggalian potensi pajak

 

Belajar dari permasalahan kepemilikan badan usaha di luar negeri, pemerintah dapat mencari cara yang lebih baik untuk mendapatkan informasi kepemilikan HNWI Indonesia atas SPV di luar negeri. Wajib Pajak Orang Pribadi sendiri tentunya juga perlu mengetahui akan permasalahan pajak yang dapat terjadi atas kepemilikan badan usaha di luar negeri.

 

 

oleh:Andreas Adoe (pengajar pada program administrasi fiskal,Fakultas ilmu administrasi UI)

Categories
Domestic Taxation

Fasilitas Tax Holiday Mulai Dilirik Investor Asing

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Investor asal China dan Uni Eropa mulai menunjukkan minat atas fasilitas tax holiday. Para investor dari negara-negara ini bahkan sudah mengajukan fasilitas tax holiday.

Direktur Pelayanan Fasilitas Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Endang Supriyadi mengatakan, sampai saat ini, investor yang sudah mengajukan untuk mendapatkan fasilitas tax holiday adalah investor asal China dan Eropa. “Peminatnya sudah ada. Beberapa datang dan konsultasi. Mereka menanyakan cakupan invetasi yang dapat fasilitas tax holiday,” ujarnya kepada KONTAN, Minggu (12/8).

Mereka adalah investor asal Tiongkok yang berminat menanamkan investasi di sektor tambang dengan nilai investasi lebih dari Rp 20 triliun. Jika ini benar, maka mereka akan mendapatkan fasilitas tax holiday selama 15 tahun

Selain calon investor, ada juga investor yang sudah menanamkan modal di Indonesia. Bagi investor yang sudah masuk, mereka saat ini sedang melengkapi persyaratan yang dibutuhkan. “Ada lebih dari 10 investor yang suddah mengajukan tax holiday,” ujarnya. Namun jumlah ini masih belum resmi karena dalam proses di BKPM. “Nanti kalau sudah dari BKPM akan ada informasi lebih lanjut,” ujarnya.

Lebih lanjut, Endang mengatakan, China lebih banyak mengajukan investasi dengan nilai yang besar karena pada umumnya investor China yang ingin berinvestasi di sektor tambang.

Adapun investor Eropa, nilainya tidak terlalu besar lantaran masuk di produk manufaktiur seperti elektronik. “Yang lebih besar sih dari China ya, karena kan mereka umumnya bergerak di bidang smelter, kalau Eropa cenderung lebih ke barang-barang elektronik,” kata Endang.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) minta kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk mengkaji fasilitas bebas pajak atau tax holiday hingga 50 tahun. Hal itu diyakini bisa mengundang lebih banyak investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan, kondisi Indonesia saat ini sedang dirundung oleh ketidakpastian hukum dan politik. Sehinga mempengaruhi kebijakan ekonomi dalam jangka panjang. Oleh karena itu, investor masih menunggu, dan berhati-hati dalam melakukan investasi di Indonesia.

“Problem besar kita di-certainty, law and political certainty. Pada sektor hukum termasuk fiscal incentives untuk beberapa sektor. Kebijakan fiskal menjadi isu besar contohnya kebijakan fiskal di sektor migas. Di sektor lain isu politik dan kepastian hukum,” ujarnya.

 

sumber : kontan.co.id

 

Categories
Domestic Taxation

Peserta Tax Amnesty Bisa Lolos dari Sanksi 200%, Begini Caranya

Jakarta – Wajib pajak (WP) peserta tax amnesty bisa terbebas dari sanksi administrasiperpajakan berupa kenaikan sebesar 200% dari Pajak Penghasilan (PPh) yang tidak atau kurang dibayar. Sanksi yang tercantum dalam pasal 18 Undang-Undang nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak ini terkait dengan harta yang belum dideklarasikan pada saat program tax amnesty.

Bagaimana caranya agar bebas dari sanksi tersebut? Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Hestu Yoga Saksama menjelaskan WP peserta tax amnesty melaporkan atau mengungkapkan secara individu hartanya dalam SPT. 

Ini juga berlaku untuk WP biasa, hanya saja sanksinya disesuaikan dengan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan. Dalam kebijakan ini, WP membayarkan seluruh harta yang belum dideklarasikan sesuai dengan tarif normal yang diatur pada PP Nomor 36 Tahun 2017, yakni untuk WP Badan sebesar 25%, untuk WP orang pribadi (OP) sebesar 30%, dan WP tertentu sebesar 12,5%.

Setelah itu dilakukan, maka akan ‘diampuni’ alias terbebas dari sanksi 200%. WP harus melakukan upaya ini sesegera mungkin sebelum Ditjen Pajak mengeluarkan surat permohonan pemeriksaan, jika tidak maka akan terkena sanksi 200% itu.

“Ini kan kelanjutan dari tax amnesty kemarin. WP diberikan kesempatan mengungkapkan sendiri sebelum DJP menemukan hartanya,” ujar Hestu kepada detikFinance, Selasa (21/11/2017).

“WP mengungkapkan sendiri dengan membayar tarif PP 36 maka tidak ada pengenaan sanksi sesuai Pasal 18 UU Tax Amnesty,” sambung Hestu.

Aturan bebas sanksi administrasi hingga 200% ini akan tertuang dalam rivisi PMK Nomor 118 Tahun 2016 tentan Pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak. Selain itu, di revisi PMK itu yang juga akan memuat soal pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) dalam rangka balik nama aset berupa tanah dan bangunan.

sumber : finance.detik.com

 

Categories
Domestic Taxation

Sistem Baru Dirjen Pajak Seminggu Lacak 30 Ribu Pengemplang

Jakarta, CNN Indonesia — Implementasi Big Data membuat Dirjen Pajak mampu melacak tiga puluh ribu dugaan pengemplang pajak dalam waktu satu minggu. Padahal dengan sistem lama Dirjen Pajak hanya mampu ‘mengendus’ 100 sampai 200 dugaan pengemplang pajak dalam setahun. 

Hal ini diungkap Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi, Direktorat Jenderal Pajak, Iwan Juniadi. Tak cuma terkait pendeteksian pengemplang pajak, sistem big data ini menurutnya membuat pengolahan data perpajakan secara umum jadi labih cepat. 

“Proses data lebih lambat dan penggunaan teknologi big data itu membuat proses lebih cepat. Data tidak struktur dapat diproses dan data terstruktur juga dipercepat pengolahnnya. Dari yang awalnya empat hari jadi 59 detik,” kata Iwan saat ditemui di Kantor Pusat Dirjen Pajak, Jakarta Selatan, Rabu (11/7).


Dengan Big Data, pengolahan data menjadi 7.200 kali lebih cepat dari sistem Relational Database Management System (RDBMS) yang digunakan oleh Ditjen Pajak sebelum tahun 2015. 

Iwan mengatakan dalam setahun Dirjen Pajak bisa menerima sekitar sepuluh miliar data. Sistem RDBMS ini menurut Iwan tak lagi efektif menangani data sebesar itu. Apalagi tak semua data yang perlu dianalisa adalah data terstruktur. Sehingga mempersulit sistem lawas itu untuk melakukan pemrosesan.

Diuji sejak 2015

Pada tahun 2015, Iwan mencoba untuk memakai sistem big data dalam mengolah data. Pada tahun 2015, Dirjen Pajak melakukan uji coba 10 komputer yang memiliki sistem big data Cloudera.

“Tahun 2015 saya mulai main ke big data karena Dirjen Pajak punya data banyak tapi banyak kendala. Datanya tidak terstruktur dan Dirjen Pajak sedang giat-giatnya mendapatkan data dari pihak ketiga. Data data ini tidak terstruktur kemudian luar biasa banyak,” kata Iwan.

Sistem big data ini ternyata secara krusial mampu mendorong keefektifan pengolahan data. 

“Setelah yakin bahwa teknologi big data mampu mendukung data kita, tahun 2016 sampai 2017 kita perbesar jadi satu server besar dengan kapasitas 500 Terabyte,” ujar Iwan.

sumber : cnnindonesia.com

Categories
Domestic Taxation

Kelebihan Bayar Pajak, Uang Bisa Balik Hanya Satu Bulan

Jakarta, CNN Indonesia — Wajib Pajak (WP) kini bisa dapat kepastian mengenai restitusi Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam kurun hanya satu bulan. Ketentuan itu dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39 Tahun 2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan PPh Badan.

Restitusi adalah permohonan pengembalian kelebihan bayar pajak yang dilakukan oleh WP.

Menurut beleid tersebut, Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu bisa menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) selama 15 hari sejak restitusi diajukan oleh Wajib Pajak orang pribadi. Sementara itu, SKPPKP akan diberikan dalam satu bulan bagi permohonan restitusi PPh badan dan PPN.


Namun, keputusan WP untuk mendapat SKPPKP akan diteliti terlebih dulu oleh DJP. SKPPKP bisa saja tidak diterbitkan jika DJP tak menemukan kelebihan bayar pajak yang dilakukan oleh WP. Asal, DJP memberitahukannya kepada DJP.

Tetapi, jika DJP memberitahu WP ihwal persetujuan SKPPKP dalam jangka waktu seharusnya, maka otomatis permohonan restitusi WP dikabulkan. 

“Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKPPKP setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud berakhir,” ujar beleid tersebut dikutip Kamis (19/4).

Tak hanya itu, kini DJP juga menaikkan batasan maksimum lebih bayar PPh orang pribadi, PPh badan, serta PPN bagi pengusaha kena pajak yang bisa mengajukan restitusi.

Sebelumnya, PMK Nomor 198 Tahun 2013 menyebut restitusi bisa diberikan jika orang pribadi lebih bayar PPh maksimal Rp10 juta, PPh badan lebih bayar Rp100 juta, dan pengusaha kena pajak lebih bayar PPN sebesar Rp100 juta.

Dalam pasal 9 beleid itu, WP pribadi kini bisa mengajukan restitusi jika melakukan lebih bayar PPh maksimum Rp100 juta, PPh badan maksimum Rp1 miliar, dan PPN bagi pengusaha kena pajak maksimum Rp1 miliar. Dengan kata lain, angka batas atas ini terbilang 10 kali lipat dibanding ketentuan sebelumnya.

Agar bisa mengajukan restitusi, WP harus mengisi formulir terlebih dulu. Setelah itu, DJP akan meneliti WP untuk memastikan bahwa WP tidak sedang melakukan bukti permulaan secara terbuka, tidak terlambat menyampaikan SPT Masa (bulanan) dalam dua masa pajak berturut-turut, tidak terlambat menyampaikan SPT Masa dalam tiga kali sepanjang tahun kalender, dan tidak terlambat menyampaikan SPT tahunan.

Tak hanya itu, DJP juga akan memeriksa bahwa WP yang mengajukan restitusi benar-benar menulis dan menghitung pajak. WP juga memeriksa bukti pemotongan PPh yang dikreditkan WP pemohon, dan pajak masukan yang dikreditkan atau dibayar sendiri oleh WP pemohon.

“Hasil penelitian digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai dasar untuk memberikan Pengembalian Pendahuluan kepada Wajib Pajak,” demikian isi beleid itu tertulis.


Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Robert Pakpahan mengatakan beleid ini ditujukan agat semakin banyak orang memanfaatkan fasilitas restitusi. Sebab, ketentuan yang ada sebelumnya masih bikin orang malas mengajukan restitusi.

Salah satu faktornya adalah batas maksimum lebih bayar pajak yang bisa mengajukan restitusi.

“Kami pikir angka Rp100 juta selama ini terlalu kecil, terlalu sempit. Kami hanya ingin memperbesar orang yang memenuhi syarat saja,” terang Robert.

sumber : cnnindonesia.com