Categories
articles Domestic Taxation

Proses Penyidikan Pidana Di Bidang Perpajakan

Di dalam bidang perpajakan terdapat istilah pidana perpajakan yang merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang diatur dalam undang-undang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, undang-undang pajak bumi dan bangunan, undang-undang bea meterai, undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa, dan undang-undang akses informasi keuangan untuk kepentingan pajak yang atas wajib pajak tersebut diancam dengan sanksi pidana. Pidana di bidang perpajakan dapat berupa tindakan penggelapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak agar wajib pajak tidak melakukan kewajiban perpajakannya. Sebelum wajib pajak diputuskan bersalah dan dikenakan pidana di bidang perpajakan terdapat serangkaian proses penyidikan, proses penyidikan merupakan lanjutan dari proses pemeriksaan pajak setelah ditemukannya indikasi adanya tindak pidana di bidang perpajakan.

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan telah diatur oleh Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17 Tahun 2025. Berdasarkan pasal 2 PMK Nomor 17 Tahun 2025 penyidikan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan dasar surat perintah penyidikan yang dibuat berdasarkan laporan kejadian. Penyidikan dapat dilakukan setelah otoritas pajak melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebagai temuan awal indikasi tindak pidana di bidang perpajakan. Sebelum melakukan penyidikan, Direktorat Jendral Pajak menyampaiakn surat perintah penyidikan (sprindik) dan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum melalui penyidik kepolisian negara republik Indoneisa dan terlapor / tersangka sesuai dengan pasal 4.

Apa saja agenda atau kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan?

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan rangkaian proses sehingga suatu penyidikan terdiri dari berbagai kegiatan sesuai dengan pasal 2 ayat 5 sebagai berikut:

  1. Pemanggilan,
  2. Pemeriksaan,
  3. Penangkapan dan/atau penahanan,
  4. Penggeledahan,
  5. Pemblokiran dan atau penyitaan,
  6. Penanganan data elektronik,
  7. Pencegahan,
  8. Penetapan tersangka,
  9. Pemberkasan,
  10. Penyerahan berkas perkara,
  11. Penyerahan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti,
  12. Penghentian penyidikan.

Penghentian penyidikan sesuai pasal 23 hanya dilakukan setelah wajib pajak atau tersangka melakukan pelunasan pada kerugian pendapatan negara beserta denda. Penerapan denda atau sanksi administratif sesuai dengan sanksi pidana yang diterima oleh wajib pajak. Sanksi pidana lebih dari 1 sanksi pidana diterapkan sanksi adminstratif paling tinggi atau sanksi secara kumulatif sesuai dengan ayat 2 pasal 23.

Bagaimana dengan penanganan penyidikan di luar yuridiksi Indonesia atau lintas batas negara?

Berdasarkan pasal 33 penanganan peyidikan di luar yuridiksi Indonesia dilakukan dengan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan memperhatikan perjanjian dan konvensi internasional.

By Olina Rizki Arizal – Partner TBrights

TBrights merupakan konsultan pajak di Indonesia yang saat ini menjadi Integrated Business Service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif.

Referensi:
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17 Tahun 2025 Tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan

Categories
articles Domestic Taxation

Batas Waktu Upload Efaktur Tanggal 20 Bulan Berikutnya

Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan pembaharuan terhadap faktur pajak elektronik (efaktur), pembaharuan tersebut tertuang di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 yang ditetapkan tanggal 22 Mei 2025. PER tersebut membawa beberapa perubahan dalam prosedur pelaporan e-faktur, terkait dengan batas waktu setor dan upload faktur pajak. Sebelum tahun 2022, batas waktu unggah e-faktur belum ditetapkan sehingga tidak terdapat batas waktu upload faktur pajak keluaran. Namun, pada tahun 2022 s.d 2024 pengusaha kena pajak diwajibkan mengunggah faktur pajak keluaran paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Dengan diberlakukannya PER-11/PJ/2025, Direktorat Jendral Pajak memindahkan tenggat waktu pengunggahan e-faktur ke tanggal 20 bulan berikutnya sebagaimana yang tertulis pada pasal 44 ayat (1) “e-faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) wajib diunggah (di-upload) ke Direktorat Jenderal Pajak menggunakan modul e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) dan memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak, paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan e-faktur.”.

Perubahan batas waktu upload e-faktur menjadi tanggal 20 bulan berikutnya, pengusah kena pajak harus menyesuaikan jadwal kerja dan pengawasan internal untuk memastikan pengunggahan dilakukan tepat waktu sesuai peraturan baru, sehingga memerlukan perubahan dalam pembagian tugas, pengaturan deadline internal, dan monitoring proses pelaporan agar tidak terjadi keterlambatan upload faktur pajak keluaran yang dapat berakibat pada penolakan oleh Direktorat Jendral Pajak. Perubahan dalam PER-11/PJ/2025 meminta pengusaha kena pajak untuk melakukan penyesuaian waktu dan sumber daya untuk menyesuaikan sistem teknologi informasi, prosedur kerja, serta kapasitas sumber daya manusianya dalam rangka dapat mematuhi aturan baru. Walau bagaimanapun, penyesuaian tersebut juga bermanfaat jangka panjang berupa kemudahan administrasi, keterjaminan hukum, serta peningkatan efisiensi pelaporan pajak di era digital. Perubahan batas waktu ini diharapkan dapat memberi kesempatan kepada pengusaha kena pajak agar tidak terlambat dalam upload faktur pajak keluaran dikarenakan ketika pengusaha kena pajak terlambat upload faktur pajak keluaran maka harus mengganti invoice dan pembetulan faktur pajak ke bulan berikutnya.

By Tommy HO – Managing Partner TBrights

TBrights merupakan konsultan pajak di Indonesia yang saat ini menjadi Integrated Business Service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif.

Referensi :

  1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 11/PJ/2025
Categories
articles International Tax Transfer Pricing

Pencegahan Pajak Berganda Dalam Sengketa Transfer Pricing Melalui Simultaneous Tax Examination (STE)

Dunia gobal akhir-akhir ini tengah menghadapi isu geopolitik yang memanas diawali dengan perang antara Iran dengan Israel, Rusia dengan Ukraina dan India dengan Pakistan yang hingga sampai saat ini masih berlanjut dan di sisi lain perang dagang juga terjadi antara negara-negara maju. Tentunya keadaan ini memicu ketidakstabilan pasar sehingga berdampak langsung terhadap alokasi harga dan laba perusahaan multinasional. Dalam hal ini yang menjadi soroton yaitu transfer pricing. Transfer pricing menjadi soroton karena dalam berbagai kasus, terdapat koreksi atas kewajaran harga dalam afiliasi antar negara yang menjadikan potensi pajak berganda (double taxation).

Dalam menghadapi gejolak ketidakpastian global, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-10/PJ/2025 Tentang Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional. Dengan adanya perjanjian internasional diharapkan pemerintah telah mengikatkan diri dengan negara mitra atau yuridiksi mitra mengenai kerja sama atas hal yang berkaitan dengan pertukaran informasi. Pertukaran informasi sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat 4 merupakan pertukaran informasi untuk kepentingan perpajakan, yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan perjanjian internasional bertujuan untuk:

  1. Mencegah penghindaran pajak;
  2. Mencegah pengelakan pajak;
  3. Mencegah penyalahgunaan persetujuan penghindaran pajak berganda oleh pihak-pihak yang tidak berhak; dan/atau
  4. Mendapatkan informasi terkait pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak.

Pelaksanaan pertukaran informasi merupakan wewenang Direktur Jenderal Pajak yang dilaksanakan dengan pejabat yang berwenang di negara mitra atau yuridiksi mitra sesuai dengan pasal 3 ayat 1. Dalam rangka pelaksanaan pertukaran informasi Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan: (1) competent authority meeting, (2) tax examinations abroad, dan/atau (3) simultaneous tax examination.

Bagaimana Simultaneous Tax Examination (STE) dapat berperan sebagai pencegahan pajak berganda dalam sengketa transfer pricing?

Berdasarkan PER 10/PJ/2025 pasal 1 ayat 12 simultaneous tax examination dapat di definisikan sebagai kegiatan pencarian dan/atau pengumpulan informasi melalui pemeriksaan yang dilaksanakan di Indonesia dan di satu atau lebih negara mitra atau yurisdiksi mitra, secara simultan dan independen berdasarkan kesepakatan para pejabat yang berwenang, dengan tujuan untuk mendapatkan dan mempertukarkan informasi yang relevan dari hasil pemeriksaan dimaksud. Berdasarkan pasal 9 ayat 2 simultaneous tax examination dapat dilaksanakan dalam hal sebagai berikut:

  1. Terdapat keterkaitan permasalahan perpajakan antara wajib pajak negara mitra atau yuridiksi mitra dengan wajib pajak Indonesia;
  2. Terdapat kepentingan bersama antara satu atau lebih otoritas pajak di negara mitra atau yuridiksi mitra dengan Direktur Jendral Pajak terkait permasalahan perpajakan;
  3. Terdapat dugaan bahwa transaksi dan/atau kegiatan dilaksanakan untuk melakukan penghindaran pajak dan/atau pengelakan pajak.

Pelaksanaan simultaneous tax examination merupakan tanggapan atas respon adanya dugaan melakukan penghindaran pajak dan/atau pengelakan pajak yang melibatkan lebih dari satu negara sehingga dapat digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan pemeriksaan transfer pricing. Adanya koreksi transfer pricing yang dilakukan sepihak dan tanpa dasar hukum yang kuat akan berpotensi pada sengketa internasional atau pajak berganda sehingga Direktorat Jenderal Pajak perlu koordinasi dengan otoritas pajak di negera lawan transaksi. Koordinasi tersebut diharapkan dapat memperkuat dasar hukum atas suatu koreksi transfer pricing dan menunjukan bahwa bukan upaya fiskal sepihak melainkan upaya untuk menjaga kepatuhan dan mencegah praktik penghindaran pajak.

By Olina Rizki Arizal – Partner TBrights

TBrights merupakan konsultan pajak di Indonesia yang saat ini menjadi Integrated Business Service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif.

Referensi:
1. Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER 10/PJ/2025 Tentang Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional

Categories
articles Domestic Taxation

Sejarah Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia

 

 

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu jenis pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa. Di Indonesia, PPN mulai diterapkan pada tahun 1984 dan telah mengalami berbagai perubahan tarif dan kebijakan seiring berjalannya waktu. Pemungutan PPN ini diatur dalam Undang-Undang PPN (UU PPN). Nama resmi UU PPN adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Dalam UU PPN ditetapkan, pihak yang menanggung beban pajak adalah konsumen akhir atau si pembeli. Oleh karena itu, sebagai bukti bahwa PPN merupakan kewajiban seorang pembeli, setiap melakukan transaksi pembelian suatu barang, penjual akan memberikan struk pembayaran.

Bagaimana Sejarah Pajak Pertambahan Nilai

  1. Periode Pajak Pembangunan I (PPb I)

Sebelum adanya PPN, Pemerintah secara resmi mengadakan pemungutan pajak pembangunan I (PPb I) pada tanggal 1 Juli 1947. Pajak ini dikenakan atas usaha rumah makan, penginapan dan penyerahan jasa di rumah makan. Sebelum itu, PPb I berstatus pajak pusat, namun sejak tahun 1957 berubah menjadi pajak daerah.

  1. Periode Pajak Peredaran 1950 (PPe 1950)

Di tahun 1950 pajak peredaran berlaku secara berjenjang pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi, Tarif yang digunakan untuk pajak peredaran adalah 2,5% Undang-Undang yang mengatur pajak peredaran adalah Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pajak Peredaran. Namun hal ini hanya dilakukan sebentar dan tergantikan oleh pajak penjualan

  1. Periode Pajak Penjualan 1951 (PPn 1951)

Penerapan ini tidak mustahil karena Belanda merupakan negara yang pernah menjajah Indonesia sehingga jalan pikiran para pembuat konsep dan kebijakan masih banyak dipengaruhi konsep dan kebijakan negara Belanda. Oleh karenanya, untuk menghilangkan sisa kolonial di Indonesia dikeluarkanlah Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan (UU PPn) sebagai dasar hukum pemungutan pajak penjualan yang dikenal dengan Pajak Penjualan 1951 (PPn). UU PPn mulai berlaku pada 1 Oktober 1951. PPn tidak lain merupakan pengganti Ppe yang telah berlaku sebelumnya. PPn dipungut atas harga penjualan barang-barang yang bukan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari.

  1. Pajak pertambahan nilai (PPN)

Setelah direformasikan pajak penjualan tahun 1951, periode ini merupakan bagian terakhir dari empat periode sejarah dan perkembangan pemungutan PPN di Indonesia. Kebutuhan akan sistem pajak yang lebih modern sudah dirasakan sejak perekonomian Indonesia berkembang. Terlebih, adanya tekanan untuk meningkatkan penerimaan negara dalam rangka menunjang perekonomian di masa yang akan datang, membuat Pemerintah bertekad untuk mengadakan reformasi perpajakan.

Untuk mencapai sasaran kebutuhan pembangunan yang dikehendaki, seperti meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, serta pemerataan beban pajak, sistem PPn dianggap perlu diganti.

Penggantian sistem yang baru ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menghilangkan sisi negatif dari sistem PPn yang selama ini berlaku, yaitu menghilangkan efek pajak atas pajak (cascading effect) dari penerapan PPn. Atas dasar alasan-alasan tersebut di atas, UU PPn dianggap tidak dapat digunakan lagi untuk memenuhi kebutuhan dan diganti dengan sistem PPN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah (UU PPN Nomor 8 Tahun 1983).

Dalam kurun waktu 35 (tiga puluh lima) tahun sejak disahkan pada tanggal 31 Desember 1983, UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 ini telah mengalami tiga kali perubahan yaitu:

  1. perubahan pertama dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 (UU PPN Nomor 11 Tahun 1994), mulai berlaku pada 1 Januari 1995;
  2. perubahan kedua dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (UU PPN Nomor 18 Tahun 2000), mulai berlaku pada 1 Januari 2001; dan
  3. perubahan yang ketiga dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN Nomor 42 Tahun 2009), mulai berlaku pada 1 April 2010.

Pemerintah Indonesia meluncurkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang lebih besar. Salah satu perubahan yang paling signifikan dalam UU HPP adalah kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022, Kenaikan tarif PPN menjadi 11% ini merupakan langkah pertama sejak tahun 1985 dan merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan fiskal negara, terutama setelah dampak pandemi COVID-19 yang mempengaruhi perekonomian global. Namun pada tahun 2025 adanya kenaikan PPN menjadi 12%

Kenaikan ini bertujuan untuk lebih meningkatkan pendapatan negara guna mendukung program pembangunan yang ambisius dan memperkuat daya saing ekonomi Indonesia di pasar global.

By Tommy HO – Managing Partner TBrights

TBrights merupakan konsultan pajak di Indonesia yang saat ini menjadi Integrated Business Service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif.

Referensi:

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah
  2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

 

 

 

 

 

 

Categories
articles Domestic Taxation

Business Entities Which Can Utilize the MSME Rate

 

The application of the MSME Income Tax rate of 0.5% can be utilized by domestic individual or corporate taxpayers with the condition that the gross turnover (turnover) does not exceed IDR 4.8 billion in 1 (one) tax year. Government Regulation Number 55 of 2022 is an improvement and replacement of Government Regulation Number 23 of 2018. There are several adjustments related to the imposition of Final Income Tax on income from businesses for taxpayers with certain gross turnover. Based on the provisions stated in Government Regulation Number 55 of 2022, several forms of business entities that can utilize the final income tax rate 0,5% include:

1. Cooperatives engaged in trading, service, or production businesses with a turnover not exceeding IDR4.8 billion per year can use the 0.5% final income tax rate.

2. Limited Partnerships (CVs) operating as micro, small, and medium enterprises are also eligible to use this rate. This encourages legality and tax compliance among small businesses.

3. Firms established by two or more people and running productive business activities can utilize this MSME rate as long as their turnover is within the stipulated limit.

4. Village-Owned Enterprises (BUMDes) BUMDes engaged in managing village potential can enjoy this tariff as an incentive to improve local economic performance.

5. Business entities in the form of individual companies (owned by only one person) have the opportunity to utilize the 0.5% tariff. This is in line with the government’s efforts to facilitate legalization and ease of doing business for individuals.

6. Limited Companies (PT) with turnover below IDR4.8 billion are also entitled to this rate, but only for a period of 3 years from registration as a taxpayer.

Based on Government Regulation Number 55 of 2022 Article 59, the period of imposition of the 0.5% final income tax rate for individual taxpayers is 7 (seven) years. Then for corporate taxpayers in the form of cooperatives, partnerships, firms, village-owned enterprises, or individual companies established by one person for 4 (four) years. And the last for corporate taxpayers in the form of limited companies for 3 (three) years. The period starts from the time the taxpayer is registered. For taxpayers registered after 2018, the calculation starts from the date of registration. As for taxpayers registered before 2018, the period is calculated from 2018.

Taxpayers who have gross turnover of up to Rp500,000,000 (five hundred million rupiah) in 1 (one) tax year, are not subject to income tax. If the gross turnover in the current tax year has exceeded Rp4,800,000,000 (four billion eight hundred million rupiah), it is still subject to income tax rate 0,5% until the end of the relevant tax year.

 

By Olina Rizki Arizal – Partner Tbrights

Tbrights is a tax consultant in Indonesia which is currently an integrated business service in Indonesia that can provide comprehensive tax and business services

Reference:

1. Government Regulation Number 55 Year 2022 on Adjustment of Regulations in the Income Tax Sector

 

 

 

 

 

Categories
articles Domestic Taxation

Perlakuan Perpajakan Badan Hukum Perkumpulan

 

 

Badan hukum perkumpulan merupakan suatu bentuk organisasi yang memiliki kepribadian hukum yang independent, terpisah dari kepribadian hukum para anggotanya. Perkumpulan ini dapat didirikan dengan tujuan sosial, keagamaan, atau kemanusiaan, dan juga tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan (non profit). Sebagai badan hukum, perkumpulan memiliki hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Perkumpulan dianggap sebagai subjek pajak badan sejak didirikan atau memiliki tempat kedudukan di Indonesia, selayaknya badan hukum lainnya seperti Perseroan Terbatas (PT) atau Yayasan, dikenakan pajak penghasilan badan. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, perkumpulan disahkan sebagai subjek pajak badan. Penghasilan yang diperoleh perkumpulan menjadi dasar pengenaan pajak. Penghasilan perkumpulan dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu iuran anggota, pendapatan usaha, hibah, sumbangan, dan bantuan. Perkumpulan diwajibkan untuk menghitung, menyetor, dan juga melaporkan pajak penghasilan badan terutang melalui surat pemberitahuan (SPT) tahunan. Perkumpulan memiliki kewajiban seperti melakukan pendaftaran NPWP, menyelengarakan pembukuan atau membuat pencatatan secara teratur, dan juga melakukan pemotongan dan pemungutan pajak lain jika perkumpulan melakukan pembayaran kepada karyawan (PPh Pasal 21). Untuk perkumpulan yang bergerak pada bidang pendidikan, litbang dan keagamaan, sisa lebih yang diterima atau diperoleh perkumpulan dapat dikecualikan dari objek pajak sesuai dengan Pasal 4 Ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68 Tahun 2020 dengan syarat:

  1. Perkumpulan terdaftar pada bidang pendidikan, litbang, dan keagamaan
  2. Sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana sosial dan keagamaan dalam jangka waktu 4 tahun
  3. Atau sisa lebih dijadikan sebagai dana abadi

Ketentuan ini memberikan insentif untuk perkumpulan yang berfokus pada kegaiatan sosial dan juga kegiatan keagamaan untuk mengembangkan layanannya tanpa terbebani pajak atas sisa lebih yang digunakan.

Apakah Perkumpulan Dapat Menggunakan Tarif Pajak UMKM?

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018 diperbarui Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022 Pasal 3 Ayat 1 disebutkan bahwa badan usaha yang dapat memanfaatkan tarif UMKM (0,5%) yaitu koperasi, persekutuan komanditer, firma, dan peseroan terbatas. Berdasarkan peraturan tersebut maka. Perkumpulan tidak dapat menggunakan tarif UMKM (0,5%) karena tidak tercantum di pasal tersebut. Oleh karena itu apabila terdapat perkumpulan baru maka menggunakan tarif pajak pasal 31E Undang Undang Pajak penghasilan.

 

By Tommy HO – Managing Partner TBrights

TBrights merupakan konsultan pajak di Indonesia yang saat ini menjadi Integrated Business Service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif.

Referensi:

  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68 Tahun 2020 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Beasiswa Yang Memenuhi Persyaratan Tertentu Dan Sisa Lebih Yang Diterima Atau Diperoleh Badan Atau Lembaga Nirlaba Yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan Dan/Atau Bidang Penelitian Dan Pengembangan
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan
Categories
articles Domestic Taxation

Income Tax Treatment of Surplus of Non-Profit Organization

 

Surplus value based on Article 4 of the Regulation of Minister of Finance Number 68 of 2020 is the excess difference from the calculation of all income received or obtained other than income subject to the final income tax and / or not the object of income tax, deducted by the expenses to obtain, collect, and keep the income. This surplus is usually generated from operational activities, donations, and various other forms of funding. However, this surplus value is not obtained for commercial purposes, but to support the sustainability of the social programs or activities carried out. The remaining surplus obtained by non-profit institutions is included in the category of income which is the object of income tax. The surplus value owned by non-profit institutions at the end of the fiscal year is considered taxable income. The surplus value can be exempted from the imposition of income tax if it meets the conditions contained in Article 4 Paragraph 3 of The Income Tax Law. The requirements are the types of institutions engaged in the field of education and also the field of research and development (R&D). This is excluded from the object of income tax if it is reinvested in the form of facilities and infrastructure within a maximum of 4 years. Not only educational and R&D institutions that can be exempted from tax objects, social or religious institutions that reinvest their surplus in the form of facilities can also be exempted. The use of surplus value can also be allocated in the form of an endowment fund, which can then be given to other institutions or entities as long as they are located within the country of Indonesia.

The institution must create a report on the amount of surplus value used for the development or procurement of facilities and infrastructure. Then the report is submitted to the head of the tax office where the taxpayer is registered, as an attachment to the income tax return in addition, the institution is also required to create a record of the details of the use of surplus value equipped with supporting documents or evidence. If there is surplus value that is not used for the procurement of facilities and infrastructure within a period of four years, it will be recognized as a tax object after the four year period ends. The amount of surplus will be reported as an additional income tax object in the annual tax return where the surplus is recognized as a fiscal correction.

 

By Olina Rizki Arizal – Partner TBrights

TBrights is a tax consultant in Indonesia which is currently an integrated business service in Indonesia that can provide comprehensive tax and business services

Reference:

  1. The Regulation of The Minister of Finance Number 68 of 2020 on Income Tax Treatment of Scholarships that Meet Certain Requirements and the Remaining Surplus Received or Obtained by Non-Profit Entities or Institutions Engaged in the Field of Education and / or the Field of Research and Development
  2. The Income Tax Law Number 7 of 1983

 

 

Categories
articles Domestic Taxation

Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah

 

Pajak pertambahan nilai barang mewah (PPNBm) merupakan jenis pajak yang dikenakan atas barang-barang tertentu yang tergolong mewah dan tidak termasuk dalam kebutuhan pokok masyarakat. Pajak pertambahan nilai barang mewah (PPNBm) tidak hanya berfungsi sebagai sumber pendapatan, tetapi juga sebagai alat pengendalian konsumsi barang-barang non-esensial. Dengan memperhatikan faktor harga, ekslusivitas, dan segmen pasar yang ditunjukkan untuk konsumen dengan daya beli tinggi, barang-barang mewah dikenakan tarif pajak khusus yang berbeda dari pajak pertambahan nilai (PPN) biasa. Dasar hukum pelaksanaan PPnBM serta peraturan pelaksanaannya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1983 yang sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2009. Sejak diterapkannya undang-undang nomor 42 tahun 2009, setiap penyerahan barang kena pajak (BKP) yang termasuk dalam kategori mewah dikenakan PPN dengan tarif tertentu. Pengenaan pajak hanya berlaku pada tahap penyerahan yang dilakukan oleh pabrikan atau importir.

Barang-barang yang termasuk dalam kategori mewah didasarkan pada beberapa kriteria yaitu, barang tersebut memiliki nilai jual yang tinggi di atas rata-rata produk serupa, lalu eklusivitas atau ketersediaan barang yang terbatas, dan juga barang-barang mewah ini dibuat untuk memenuhi selera konsumen berdaya beli tinggi. Kendaraan bermotor dikenakan PPnBM, kecuali untuk kendaraan seperti ambulan, kenaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakan, kendaraan tahanan, kendaraan angkutan umum, dan kendaraan untuk kepentingan negara. Untuk kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, aoartemen, konominium, totan house, dan sejeninsnya juga dikenakan PPnBM. Lalu ada pesawat udara, balon udara, peluru dan senjata api, dan juga kapal pesiar mewah. Hal ini diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2020.

Bagaimana Perlakuan Tarif Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah Saat Ini?

Pemerintah melalui Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean, Dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean. Dalam peraturan tersebut membahas mengenai tarif pajak pertambahan nilai barang mewah sebesar 12% sesuai dengan pasal 2 ayat 2. Barang mewah yang dimaksud adalah barang yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBm). Pada pasal 5 PMK 131 tahun 2024 mengatur bahwa khusus untuk penyerahan kepada konsumen akhir, tarif 12% ini baru berlaku mulai tanggal 1 Februari 2025. Mekanisme perhitungan pajaknya seperti berikut ini:

  1. Barang dan Jasa Mewah dikenakan PPN sebesar 12%. Untuk perhitungan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) pada masa transisi di bulan Januari 2025, digunakan rumus nilai impor/harga jua/harga penyerahan dikalikan dengan 11/12. Setelah masa transisi, tarif PPN 12% akan diterapkan berdasarkan harga penyerahan secara langsung.
  2. Untuk barang dan jasa non-mewah, tarif PPN yang dikenakan juga sebesar 12%, namun perhitungan DPP dilakukan dengan rumus harga penyerahan dikali 11/12 tanpa masa transisi. Dengan demikian, tarif efektif PPN untuk barang dan jasa non-mewah tetap berlaku pada tingkat 11%.
  3. Terdapat pengecualian dalam PMK 131 bagi Pengusaha Kena Pajak yyang menggunakan DPP dengan nilai lain atau menerapkan PPN dengan besaran tertentu yang diatur dalam ketentuan perpajakan.

By Tommy HO – Managing Partner TBrights

TBrights merupakan konsultan pajak di Indonesia yang saat ini menjadi Integrated Business Service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif.

Referensi:

  1. Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah
Categories
articles Domestic Taxation

Tax Treatment For Individual Limited Companies

 

 

Individual limited company have emerged to make it easier for Micro and Small Enterprises (MSMEs) to establish an official business entity. Although the establishment process is relatively easy, it still has tax obligations that must be understood by entrepreneurs. individual limited liability company is a limited liability company established by one person only. Although only established by one person, an individual limited company is still considered a business entity from a tax perspective, and is required to have a corporate tax identification number. In DGT circular letter number SE-20/PJ/2022, an individual limited company is a corporate tax subject. The taxes levied are the income tax and value added tax (VAT).

The income tax rate imposed on individual limited companies is 22% on business profits. However, if the gross turnover reaches IDR50 billion, the Individual limited liability company can utilize a 50% withholding rate which will be calculated from the income tax rate (Article 31E of the Income Tax Law). If the individual limited company falls into the category of micro and small enterprises (MSMEs) with a gross turnover of Rp500 million to Rp4.8 billion in a year, the individual limited liability company can choose to be subject to the MSME final income tax rate of 0.5%. The period of this final MSME income tax rate is 3 years since being registered as a taxpayer. If an individual limited liability company delivers taxable goods or taxable services and has been confirmed as a taxable entrepreneur, then the individual limited company has the obligation to collect, deposit, and report value added tax (VAT). Confirmation as a taxable entrepreneur is required if the gross turnover in a fiscal year exceeds IDR 4.8 billion. Not only corporate income tax and value-added tax, if an individual limited company has employees, the company is obliged to withhold income tax article 21 on employees and report the withholding in the monthly income tax article 21 return and also withhold income tax article 23 if making payments to other parties for certain services.

In addition to carrying out tax payments, individual limited companies also have administrative responsibilities in the form of periodic tax reporting. This is realized through the submission of the annual corporate income tax fiscal letter, for individual limited companies that have the status of taxable entrepreneurs are required to report the VAT period fiscal letter.

By Olina Rizki Arizal – Partner TBrights

TBrights is a tax consultant in Indonesia which is currently an integrated business service in Indonesia that can provide comprehensive tax and business services.

Reference:

  1. Circular Letter of the Directorate General of Taxes Number SE-20/PJ/2022 Concerning Registration and Granting of Taxpayer Identification Number and Imposition of Income Tax for Individual Companies
  2. Law of the Republic of Indonesia Number 36 of 2008 Concerning the Fourth Amendment to Law Number 7 of 1983 Concerning Income Taxes

 

Categories
articles Domestic Taxation

Natura Kendaraan

 

 

Natura merujuk pada berbagai bentuk kompensasi yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan dalam bentuk barang atau fasilitas, namun bukan dalam bentuk uang. Jenis fasilitas atau natura pajak, serta ambang batas atau threshold untuk natura yang dikenakan pajak, diatur pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022. Kedua peraturan ini berfungsi sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021. Terdapat dua jenis natura, yaitu natura yang tidak termasuk objek pajak dan natura termasuk objek pajak. Salah satu jenis natura atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan (PPh) adalah fasilitas kendaraan yang diberikan oleh pemberi kerja kepada pegawainya. Fasilitas kendaraan tersebut termasuk dalam kategori kenikmatan yang tidak dikenakan PPh, dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi baik oleh pegawai maupun oleh pemberi kerja. Namun kendaraan yang diberikan oleh kantor tetapi digunakan karyawan di luar kebutuhan pekerjaan maka dianggap sebahai natura kena pajak, Contohnya karyawan yang diberikan mobil untuk penggunaan pribadi.

Fasilitas kendaraan yang diterima oleh pegawai tidak termasuk dalam objek pajak natura, ini berlaku selama pegawai yang memperoleh fasilitas tersebut tidak memiliki penyertaan modal di perusahaan pemberi kerja dan memiliki rata-rata penghasilan bruto dalam 12 bulan terakhir yang tidak melebihi Rp100.000.000 setiap bulan dari pemberi kerja. Hal ini diatur dalam Nota Dinas Nomor ND-14/PJ/PJ.02/2024.

 

By Tommy HO – Managing Partner TBrights

TBrights merupakan konsultan pajak di Indonesia yang saat ini menjadi Integrated Business Service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif.

Referensi:

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penggantian Atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan Atau Jasa Yang Diterima Atau Diperoleh Dalam Bentuk Natura Dan/ Atau Kenikmatan
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang  Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan