Categories
Domestic Taxation

Target Pendapatan Negara 2023 Dipatok Rp 2.443,6 Triliun, Paling Besar dari Perpajakan

JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah menargetkan pendapatan negara di 2023 sebesar Rp 2.443,6 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023. Presiden Joko Widodo (Jokowi) merincikan pendapatan negara tersebut terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 2.016,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 426,3 triliun. “Untuk menjalankan agenda pembangunan tersebut, pendapatan negara pada tahun 2023 dirancang sebesar Rp 2.443,6 triliun,” ujarnya saat menyampaikan Pidato RAPBN 2023 beserta Nota Keuangan di Kompleks DPR-MPR RI, Jakarta, Selasa (16/8/2022).

Sama seperti tahun sebelumnya, sumber pendapatan negara digenjot dengan optimalisasi penerimaan pajak dan reformasi pengelolaan PNBP. Dia menuturkan, optimalisasi pendapatan dari penerimaan pajak dilakukan untuk memperkuat kemandirian dalam pendanaan pembangunan. Dengan cara perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan, serta perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan dalam rangka meningkatkan rasio perpajakan.

Pemerintah juga memberikan berbagai insentif perpajakan agar dapat mendorong percepatan pemulihan dan peningkatan daya saing investasi, dan memacu tansformasi ekonomi. Sementera itu, optimalisasi PNBP dilakukan pemerintah melalui perbaikan proses perencanaan dan pelaporan dengan menggunakan teknologi informasi yang terintegrasi, penguatan tata kelola dan pengawasan, optimalisasi pengelolaan aset, intensifikasi penagihan dan penyelesaian piutang, serta mendorong inovasi layanan dengan tetap menjaga kualitas dan keterjangkauan layanan.

Categories
Domestic Taxation

Mutual Agreement Procedure (MAP) in Indonesia Based on the The Law on Harmonization of Tax Regulations (Undang-undang HPP) for Foreign Investors

If the implementation of the mutual agreement procedure has not resulted in an agreement until the Indonesian Appeal Decision or Review Decision is pronounced, the Director General of Taxes continues to negotiate, in the event that the disputed material decided in the Appeal Decision or Review Decision is not the same material submitted for the mutual agreement procedure.

Based on the Law on Harmonization of Tax Regulations, there are some articles that explains the Mutual Agreement Procedure to resolve problems in the implementation of Tax Treaties or P3B as follows:

  • The Director General of Taxes is authorized to carry out a mutual agreement procedure to prevent or resolve problems arising in the application of the tax treaties.
  • The mutual consent procedure itself may be proposed by: Domestic Taxpayers; Director General of Taxes; The authorized officer of the partner country or partner jurisdiction agrees to the avoidance of double taxation; or Indonesian citizens through the DGT are concerned with discriminatory treatment in partner countries or consent partner jurisdictions.
  • Requests for the implementation of the mutual agreement procedure can be submitted simultaneously with the application of domestic taxpayers to submit: Objections; Appeal; or reduction or cancellation of an incorrect tax decree.
  • In the event that the implementation of the mutual agreement procedure has not produced a mutual agreement until the Appeal Verdict or Review Decision is pronounced, the Director General of Taxes will:
  1. continue the negotiations, in the event that the material of the dispute decided in the Appeal Verdict or the Judicial Review is not the same material submitted by mutual agreement procedure; or
  2. use the Appeal Verdict or Judicial Review as a position in the negotiations or to stop the negotiations, in the event that the material of the dispute decided is not the material submitted by the mutual agreement procedure.

The Director General of Taxes follows up on the results of the implementation of the mutual agreement procedure with issuing a decree on mutual consent. The decree on mutual consent includes the basis for the tax refund or the basis for tax collection.

Global Taxation Consensus

The government is authorized to form and/or implement agreements and/or agreements in the field of taxation with the governments of partner countries or partner jurisdictions bilaterally or multilaterally in order to:

  1. avoid double taxation and prevention of tax evasion;
  2. prevent erosion of the taxation base and shifting of profits;
  3. exchange of tax information;
  4. tax collection assistance; and
  5. other taxation cooperation

 

By Olina Rizki Arizal

TBrights | Partner

Categories
Domestic Taxation

Wajib Pajak Aktif

Wajib Pajak Aktif (WP Aktif) adalah Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif dan menjalankan hak dan kewajiban perpajakan secara efektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Wajib Pajak Non-Efektif (WP NE) adalah Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif namun belum dilakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Wajib Pajak dengan NPWP Pusat tidak dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Non-Efektif, dalam hal masih memiliki NPWP Cabang yang berstatus aktif.

Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak Non-Efektif, maka

  1. Tidak melaksanakan kewajiban penyampaian SPT
  2. Tidak diterbitkan Surat Teguran sekalipun tidak menyampaikan SPT (terhitung sejak ditetapkan sebagai WP NE)
  3. Tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas sanksi administrasi karena tidak menyampaikan SPT (terhitung sejak ditetapkan sebagai WP NE)

sumber: https://pajak.go.id/id/wajib-pajak-aktif-dan-wajib-pajak-non-efektif

Categories
Domestic Taxation

Wajib Pajak Non Efektif

Wajib Pajak Aktif (WP Aktif) adalah Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif dan menjalankan hak dan kewajiban perpajakan secara efektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Wajib Pajak Non-Efektif (WP NE) adalah Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif namun belum dilakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

  1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang secara nyata tidak lagi melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan penghasilannya di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan penghasilannya di bawah PTKP yang memiliki NPWP untuk digunakan sebagai syarat administratif antara lain guna memperoleh pekerjaan atau membuka rekening keuangan;
  4. Wajib Pajak orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan yang telah dibuktikan menjadi subjek pajak luar negeri sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan tidak bermaksud meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
  5. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan penghapusan NPWP dan belum diterbitkan keputusan;
  6. Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dan/atau tidak ada transaksi pembayaran pajak baik melalui pembayaran sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain, selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
  7. Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan mengenai kelengkapan dokumen pendaftaran NPWP;
  8. Wajib Pajak yang tidak diketahui alamatnya berdasarkan penelitian lapangan;
  9. Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP Cabang secara jabatan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri;
  10. Instansi Pemerintah yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/ atau pemungut pajak namun belum dilakukan penghapusan NPWP; atau
  11. Wajib Pajak selain sebagaimana disebutkan di atas yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif tetapi belum dilakukan penghapusan NPWP.

 

Wajib Pajak dengan NPWP Pusat tidak dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Non-Efektif, dalam hal masih memiliki NPWP Cabang yang berstatus aktif.

Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak Non-Efektif, maka

  1. Tidak melaksanakan kewajiban penyampaian SPT
  2. Tidak diterbitkan Surat Teguran sekalipun tidak menyampaikan SPT (terhitung sejak ditetapkan sebagai WP NE)
  3. Tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas sanksi administrasi karena tidak menyampaikan SPT (terhitung sejak ditetapkan sebagai WP NE)

sumber: https://pajak.go.id/id/wajib-pajak-aktif-dan-wajib-pajak-non-efektif

Categories
Domestic Taxation

Istilah Umum PPN

Untuk lebih memahami ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disingkat PPN), silahkan disimak dua puluh sembilan istilah umum PPN berikut ini.

Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.

Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.

Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.

Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.

Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.

Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.

Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.

Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar menukar barang, tanpa mengubah bentuk atau sifatnya.

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.

Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.

Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.

Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak, atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.

Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.

Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.

Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut.

Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.

Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.

 

sumber: https://pajak.go.id/id/istilah-umum-ppn

Categories
Domestic Taxation

Kredit Pajak

Kredit Pajak

Berdasarkan pasal 28 UU PPh, setelah diketahui jumlah pajak yang terutang, wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dapat mengurangi pajak terutang tersebut dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan. Kredit pajak tersebut berupa:

  1. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 21 UU PPh;
  2. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU PPh;
  3. pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UU PPh;
  4. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UU PPh;
  5. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU PPh;
  6. pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) UU PPh.

 

Namun sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang‐undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang.

 

Contoh:

Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000,00
Kredit pajak:
Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000,00
Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00
Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 5.000.000,00
Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp 15.000.000,00
Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000,00 (+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp  45.000.000,00 (‐)
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar Rp 35.000.000,00

 

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak di atas maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi‐sanksinya.

 

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17B ayat (1) Undang‐undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak.

Hal‐hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak adalah:

  1. kebenaran materiil tentang besarnya pajak penghasilan yang terutang;
  2. keabsahan bukti‐bukti pungutan dan bukti‐bukti potongan pajak serta bukti pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Oleh karena itu untuk kepentingan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat lain yang

ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas laporan keuangan, buku‐buku dan catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang berkaitan dengan penentuan besarnya pajak penghasilan yang terutang, kebenaran jumlah pajak dan jumlah pajak yang telah dikreditkan dan untuk menentukan besarnya kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan.

Maksud pemeriksaan ini untuk memastikan bahwa uang yang akan dibayar kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan hak Wajib Pajak. (Pasal 28A UU PPh).

 

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun Pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak

sebagaimana dimaksud di atas, kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan dan paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi paling lambat tanggal 31 Maret bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 30 April bagi Wajib Pajak badan setelah tahun Pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan tahun kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, kekurangan pajak wajib dilunasi paling lambat tanggal 30 September bagi Wajib Pajak orang

pribadi atau 31 Oktober bagi Wajib Pajak badan. (Pasal 29 UU PPh).

 

Pajak Penghasilan Pasal 21

Wajib pajak Orang Pribadi dapat mengurangi jumlah pajak yang terutangnya dengan mengkreditkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong oleh pemotong PPh Pasal 21 dalam tahun Pajak yang bersangkutan, baik terhadap Wajib Pajak sendiri maupun terhadap isteri Wajib Pajak yang bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja, dan anak/anak angkat yang belum dewasa. Jumlah yang dapat dikreditkan adalah sejumlah nilai yang tercantum dalam Formulir 1721-A1 Angka 21 dan/atau dari Formulir 1721-A2 Angka 18 dan/atau Bukti Pemotongan PPh Pasal 21, tidak termasuk PPh Pasal 21 yang bersifat final.

 

Yang dimaksud dengan Pemotongan PPh Pasal 21 adalah Pemotongan PPh atas Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:

  1. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
  2. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
  3. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
  4. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; dan
  5. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.

Selengkapnya tentang PPh Pasal 21 dapat di lihat di sini.

 

 

PPh PASAL 22

PPh Pasal 22 meliputi PPh yang telah dipungut dalam Tahun Pajak yang bersangkutan oleh:

  1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas impor barang;
  2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik ditingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang;
  3. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan/atau belanja daerah (APBD) kecuali badan-badan tersebut pada butir d;
  4. Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Asset (PPA), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN;
  5. badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
  6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
  7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

 

Selengkapnya tentang PPh Pasal 22 dapat di lihat di sini.

 

PPh PASAL 23

PPh Pasal 23 meliputi PPh yang telah dipotong dalam Tahun Pajak yang bersangkutan oleh pemotong PPh Pasal 23 atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, hadiah dan penghargaan, sewa, imbalan atas jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, dan jasa lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak, kecuali pemotongan PPh yang bersifat final.

Pada dasarnya PPh Pasal 23 dipotong atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap:

  1. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas dividen, bunga, royalti; dan hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh Pasal  21
  2. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
    1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2); dan
    2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

 

PPh PASAL 24

PPh Pasal 24 adalah pajak yang dibayar/dipotong/terutang di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri dalam tahun yang bersangkutan, sebesar PPh yang dibayar/dipotong/ terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan UU PPh. Penghitungan “batas maksimum kredit pajak luar negeri yang dapat dikreditkan” tersebut harus dilakukan untuk masing-masing negara.

 

PPh PASAL 26

Pemotongan pajak atas Wajib Pajak Luar Negeri adalah bersifat final namun atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang PPh dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh. Tidak termasuk PPh Pasal 26 yang telah dikreditkan pada lembar formulir 1721 – A1

 

sumber: https://pajak.go.id/id/kredit-pajak

Categories
Domestic Taxation

Keberatan

RUANG LINGKUP KEBERATAN

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak atas suatu:

  1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),
  2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT),
  3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB),
  4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN),
  5. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari surat ketetapan pajak, yang meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau terhadap materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan pajak.

Dalam hal terdapat alasan keberatan selain mengenai materi atau isi dari surat ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak, alasan tersebut tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan.

SYARAT PENGAJUAN KEBERATAN

  1. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  2. mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;
  3. 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
  4. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi, sebelum Surat Keberatan disampaikan;
  5. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal:
    • surat ketetapan pajak dikirim; atau
    • pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga;

    kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak;

  6. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP; dan
  7. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang KUP.

Ketentuan khusus:

  • Dalam hal Surat Keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf f, Wajib Pajak dapat melakukan perbaikan atas Surat Keberatan tersebut dan menyampaikan kembali sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan terlampaui.
  • Tanggal penyampaian Surat Keberatan yang telah diperbaiki merupakan tanggal Surat Keberatan diterima.
  • Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak yang masih harus dibayar yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

 

ALUR PENYELESAIAN KEBERATAN

  1. Dalam proses penyelesaian keberatan, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
    • meminjam buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy kepada Wajib Pajak terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan peminjaman buku, catatan, data dan informasi;
    • meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan keterangan;
    • meminta keterangan atau bukti terkait dengan materi yang disengketakan kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak melalui penyampaian surat permintaan data dan keterangan kepada pihak ketiga;
    • meninjau tempat Wajib Pajak, termasuk tempat lain yang diperlukan;
    • melakukan pembahasan dan klarifikasi atas hal-hal yang diperlukan dengan memanggil Wajib Pajak melalui penyampaian surat panggilan;
      • Surat panggilan dikirimkan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum tanggal pembahasan dan klarifikasi atas sengketa perpajakan.
      • Pembahasan dan klarifikasi dituangkan dalam berita acara pembahasan dan klarifikasi sengketa perpajakan.
    • melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka keberatan untuk mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif yang dapat dijadikan dasar dalam mempertimbangkan keputusan keberatan.
  2. Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat permintaan peminjaman dan/atau surat permintaan keterangan dikirim.
  3. Apabila sampai dengan jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat permintaan peminjaman dan/atau surat permintaan keterangan dikirim berakhir, Wajib Pajak tidak meminjamkan sebagian atau seluruh buku, catatan, data dan informasi dan/atau tidak memberikan keterangan yang diminta, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan:
    • surat permintaan peminjaman yang kedua; dan/atau
    • surat permintaan keterangan yang kedua.
  4. Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan yang kedua paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal surat peminjaman dan/atau permintaan yang kedua dikirim.

JANGKA WAKTU PENYELESAIAN KEBERATAN

  1. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.
    • Jangka waktu tersebut dihitung sejak tanggal Surat Keberatan diterima sampai dengan tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan.
  2. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas surat dari Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan, jangka waktu 12 (dua belas) bulan tertangguh, terhitung sejak tanggal dikirim surat dari Direktur Jenderal Pajak tersebut kepada Wajib Pajak sampai dengan Putusan Gugatan Pengadilan Pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
  3. Apabila jangka waktu di atas telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan atas keberatan, keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan pengajuan keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut berakhir.

PENCABUTAN PENGAJUAN KEBERATAN

  1. Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal diterima surat pemberitahuan untuk hadir (SPUH) oleh Wajib Pajak.
  2. Pencabutan pengajuan keberatan dilakukan melalui penyampaian permohonan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    • permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dapat mencantumkan alasan pencabutan;
    • surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan tersebut ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus;
    • surat permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang merupakan atasan Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
  3. Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan jawaban atas permohonan pencabutan pengajuan keberatan berupa surat persetujuan atau surat penolakan.
  4. Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak ini tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar.
  5. Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan, Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan.
  6. Dalam hal Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan, pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB atau SKPKBT yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan SKP.

KETENTUAN TAMBAHAN

Wajib Pajak yang mengajukan keberatan tidak dapat mengajukan permohonan:

  1. pengurangan, penghapusan, dan pembatalan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
  2. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar; atau
  3. pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan atau verifikasi yang dilaksanakan tanpa:
    • penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan  atau surat pemberitahuan hasil Verifikasi; atau
    • pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dengan Wajib Pajak.
sumber: https://pajak.go.id/id/keberatan
Categories
Domestic Taxation

Jenis Pajak Pusat

Pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:

    1. Pajak Penghasilan (PPh)
      PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.
    1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
      PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean (dalam wilayah Indonesia). Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
    1. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
      Selain dikenakan PPN, atas pengkonsumsian Barang KenaPajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah:

      1. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
      2. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
      3. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
      4. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
      5. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
    1. Bea Meterai
      Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
  1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tertentu
    PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Categories
Domestic Taxation

Banding

Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas keberatan yang diajukannya, maka Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak.

Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

SYARAT PENGAJUAN BANDING

  1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan.
  2. Permohonan  diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
  3. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.

 

PIHAK YANG MENGAJUKAN BANDING

  1. Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli, warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya.
  2. Apabila selama proses Banding, pemohon Banding meninggal dunia, Banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon Banding pailit.
  3. Apabila selama proses Banding pemohon Banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabunganpeleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.

PENCABUTAN BANDING

Terhadap Banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak.

Banding yang dicabut dihapus dari daftar sengketa dengan:

  • penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang dilaksanakan;
  • putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding.

Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan, tidak dapat diajukan kembali.

sumber : https://pajak.go.id/id/banding

Categories
Domestic Taxation

Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Silahkan disimak berbagai fungsi pajak pada uraian di bawah ini.

Fungsi Anggaran (Budgetair)

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

Fungsi Mengatur (Regulerend)

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

Fungsi Stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

Fungsi Redistribusi Pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

💬 Need Consultation ?