Bisnis.com, JAKARTA – Selain opsi mengerek tarif PPh impor, pemerintah juga akan menambah jenis barang yang dikenakan PPh impor.
Saat ini Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tengah berkoordinasi untuk memastikan jumlah barang yang ditambahkan sebagai obyek PPh impor.
Kepala BKF Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara mengungkapkan penambahan jenis barang tersebut akan difokuskan ke jenis barang konsumsi, kemudian barang yang diproduksi dalam negeri, hingga barang yang sudah diidentifikasi dan dicocokan dengan data dari DJBC.
“Sekarang Bea dan Cukai datanya lebih bagus karena tidak ada impor borongan. Jadi menulisnya lebih komplit dan memudahkan kami mengetahui nama barangnya khusus yang konsumsi,” ungkap Suahasil di Jakarta, Selasa (28/8/2018).
Jika merujuk pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, ada sekitar 900 barang yang akan direview terkait pengenaan tarif PPh impornya. Namun demikian, Suahasil menambahkan dengan data dari otoritas kepabeanan, besar kemungkinan jenis barang yang dikenakan tarif PPh impor tersebut lebih dari 900.
Suahasil menegaskan bahwa kebijakan mengenakan atau menaikan PPh impor tersebut sudah dihitung untung ruginya oleh pemerintah. Penggunaan instrumen fiskal melalui PPh impor secara risiko juga jauh lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan instrumen fiskal lainnya misalnya bea masuk.
Artinya, jika Indonesia ikut menggunakan skema yang konfrontatif misalnya menaikan bea masuk, terlalu berisiko bagi perkembangan perekonomian domestik.
Penggunaan PPh impor secara umum juga tidak terlalu merugikan pelaku usaha. Sebagai ilustrasi, mekanisme pemungutan PPh impor adalah menggunakan skema witholding tax, dipungut di awal, namun demikian dalam pembayaran pajak PPh impor tersebut nantinya bisa dikreditkan, sehingga tak terlalu memberatkan bagi wajib pajak.
“PPh impor ini bisa menjadi bagian dari pembayaran PPh terutang wajib pajak secara keseluruhan di akhir tahun pajak. Duitnya tidak hilang, harusnya tidak menjadi beban,” ungkapnya.
Suahasil menambahkan, pemerintah sedang melihat berbagai kemungkinan yang terjadi dari rencana kebijakan baru tersebut. Soal tarif misalnya, yang berlaku saat ini masih terdapat beberapa layer tarif misalnya 7,5% sampai dengan 10%. “Apakah yang di bawah atau dinaikan, jadi nanti tunggu dulu deh [sampai pembahasan berakhir],” ungkapnya.
sumber : finansial.bisnis.com