Jakarta, CNN Indonesia — Implementasi membuat mampu melacak tiga puluh ribu dugaan pengemplang pajak dalam waktu satu minggu. Padahal dengan sistem lama Dirjen Pajak hanya mampu ‘mengendus’ 100 sampai 200 dugaan pengemplang pajak dalam setahun. Hal ini diungkap Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi, Direktorat Jenderal Pajak, Iwan Juniadi. Tak cuma terkait pendeteksian pengemplang pajak, sistem big data ini menurutnya membuat pengolahan data perpajakan secara umum jadi labih cepat. “Proses data lebih lambat dan penggunaan teknologi big data itu membuat proses lebih cepat. Data tidak struktur dapat diproses dan data terstruktur juga dipercepat pengolahnnya. Dari yang awalnya empat hari jadi 59 detik,” kata Iwan saat ditemui di Kantor Pusat Dirjen Pajak, Jakarta Selatan, Rabu (11/7).
Dengan Big Data, pengolahan data menjadi 7.200 kali lebih cepat dari sistem Relational Database Management System (RDBMS) yang digunakan oleh Ditjen Pajak sebelum tahun 2015.Iwan mengatakan dalam setahun Dirjen Pajak bisa menerima sekitar sepuluh miliar data. Sistem RDBMS ini menurut Iwan tak lagi efektif menangani data sebesar itu. Apalagi tak semua data yang perlu dianalisa adalah data terstruktur. Sehingga mempersulit sistem lawas itu untuk melakukan pemrosesan. Diuji sejak 2015 Pada tahun 2015, Iwan mencoba untuk memakai sistem big data dalam mengolah data. Pada tahun 2015, Dirjen Pajak melakukan uji coba 10 komputer yang memiliki sistem big data Cloudera. “Tahun 2015 saya mulai main ke big data karena Dirjen Pajak punya data banyak tapi banyak kendala. Datanya tidak terstruktur dan Dirjen Pajak sedang giat-giatnya mendapatkan data dari pihak ketiga. Data data ini tidak terstruktur kemudian luar biasa banyak,” kata Iwan. Sistem big data ini ternyata secara krusial mampu mendorong keefektifan pengolahan data. “Setelah yakin bahwa teknologi big data mampu mendukung data kita, tahun 2016 sampai 2017 kita perbesar jadi satu server besar dengan kapasitas 500 Terabyte,” ujar Iwan.
sumber : cnnindonesia.com