Sebagaimana peraturan yang telah diterbitkan oleh pemerintah pada 12 Desember 2022 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, Pemerintah Indonesia membuat beberapa penyesuaian untuk pencabutan beberapa Peraturan Pemerintah. Beberapa peraturan yang dicabut yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan serta mencabut beberapa sebagian Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan Untuk Mendukung Kemudahan Berusaha yang dimana pencabutan peraturan dikhususkan untuk Pasal 6 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021. Kemudian untuk konteks artikel ini, Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022 selanjutnya disebut sebagai PP Baru dan untuk Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 sebagaimana terakhir diubah dengan atau dikonsolidasi dengan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 2021 selanjutnya disebut sebagai PP Lama.
Dengan beberapa pertimbangan, dalam rangka melaksanakan ketentuan dari Pasal 44E ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang sebagaimana telah mengalami perubahan yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan perlu penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Dalam rangka penyesuaian terhadap ketentuan pada bidang perpajakan yang telah dibahas pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah berupaya meningkatkan perekonomian agar dapat tumbuh dan berkelanjutan terhadap pemulihan perekonomian di Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 ini mengatur materi Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta memuat ketentuan yang diubah dan atau ditambah seperti bantuan penagihan pajak antarnegara, kuasa Wajib Pajak, pemberian data dalam rangka penegakan hukum, dan kerja sama untuk kepentingan negara, serta program pengungkapan sukarela.
Penyelarasan dilakukan terhadap dampak dari ketentuan yang termasuk ke dalam bidang ketentuan umum serta tata cara perpajakan yang telah diatur oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Penyelarasan dilakukan agar dapat memberikan kemudahan, mendukung meng-simplifikasi regulasi, dan agar masyarakat dapat lebih mudah dalam memahami ketentuan perpajakan baik secara elektronik, pengintegrasian basis data kependudukan dengan perpajakan, serta pelaksanaan hak dan pemenuhan dari kewajiban Pajak Karbon.
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 ini lebih memberikan kepercayaan serta tanggung jawab yang lebih besar terhadap Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya dan pemerintah, seperti aparat perpajakan yang memberikan pelayanan, penyuluhan, pembinaan, serta pengawasan, dan juga penegakan hukum perpajakan yang sesuai dengan dinamika kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 terdapat pembahasan baru yang tidak tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 s.t.d.d. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 yaitu tentang Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Secara Elektronik yang terdapat pada Bab XI, tentang Integrasi Basis Data Kependudukan dengan Basis Data Perpajakan yang terdapat pada Bab XII, dan tentang Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Pajak Karbon yang terdapat pada Bab XIII. Isi dari ketiga bab ini tertera pada lampiran 1.
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 dibuat untuk menyesuaikan ketentuan bidang perpajakan yang telah dibahas pada UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pada peraturan ini telah diatur oleh pemerintah agar dapat memberikan kemudahan bagi para masyarakat dalam memahami ketentuan perpajakan elektronik, pengintegrasian basis data kependudukan dengan perpajakan, serta pelaksanaan hak dan pemenuhan dari kewajiban pajak karbon, serta memberikan kepercayaan serta tanggung jawab yang lebih besar terhadap Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya dan pemerintah. Serta terdapat tambahan dari PP sebelumnya yaitu PP No.74 Tahun 2011 s.t.d.d. PP No.9 Tahun 2021 yang membahas Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Secara Elektronik, Integrasi Basis Data Kependudukan dengan Basis Data Perpajakan, Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Pajak Karbon yang dibahas pada bab yang berbeda.
Selain itu di dalam Lampiran 1 juga termuat beberapa pasal yang memuat substansi baru dalam Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022 mulai dari Pasal 10, Pasal 19, Pasal 25, Pasal 36, Pasal 45, Pasal 48, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 60, Pasal 62 dan Pasal 65. Untuk Pasal 10 yang dimuat pada Bab II bagian 5 tentang dasar pengembalian kelebihan pembayaran pajak, memuat 10 surat keputusan dan 2 putusan yang menjadi dasar hukum dan acuan jangka waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak yaitu maksimal 1 bulan setelah di antara surat-surat keputusan atau putusan diterbitkan atau diterima. Selanjutnya Pasal 19 yang termuat dalam Bab IV tentang Penetapan dan Ketetapan yang secara garis besar memuat penetapan jumlah pajak terutang sesuai dengan yang disampaikan dalam Surat Pemberitahuan, sesuai peraturan dan tidak harus bergantung pada surat ketetapan. Lalu Pasal 25 dalam Bab IV bagian 2 tentang Pemeriksaan yang memuat sedikit penjelasan mengenai hasil penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak apabila terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang disinggung pada Pasal 24 Ayat B.
Dalam Bab V bagian 1 tentang Keberatan pada pasal baru yaitu Pasal 36 yang memuat sanksi administratif berupa denda 60% dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan karena putusan tersebut menunjukkan pajak yang masih harus dibayar bertambah. Selanjutnya dalam Bab VII tentang penagihan terdapat 2 pasal baru yaitu Pasal 45 yang memuat dasar ketentuan penagihan pajak dan Pasal 48 yang memuat ketentuan mengenai kondisi tidak disetujuinya jumlah pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan
Untuk Bab IX tentang Penerapan Prosedur Persetujuan Bersama atau yang pada peraturan pemerintah sebelumnya disebut penerapan Mutual Agreement Procedure dengan terdapat 3 pasal baru yaitu Pasal 56, 57 dan 58. Pasal 56 memuat prasyarat Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti Persetujuan Bersama dengan menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama. Sedangkan Pasal 57 memuat prasyarat-prasyarat Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti kesepakatan-kesepakatan dalam Persetujuan Bersama dengan menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama. Terakhir Pasal 58 memuat kondisi Surat Keputusan Persetujuan Bersama mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak dan berlakunya 5 surat keputusan atau 2 putusan apabila tidak ditindaklanjutinya Surat Keputusan Persetujuan Bersama.
Terakhir dalam Bab X tentang Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan terdapat 3 Pasal Baru yaitu Pasal 60, Pasal 62 dan Pasal 65. Pasal 60 mengatur proses penyidikan yang mencakup bukti permulaan dan pemanggilan saksi atau tersangka yang belum tercantum dalam peraturan pemerintah sebelumnya. Lalu Pasal 62 membahas mengenai kewenangan Menteri atau Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri dalam menerbitkan keputusan pencegahan. Terakhir Pasal 65 memuat pelunasan kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak beserta sanksi administratif dan pembayaran pidana denda.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2022 terdapat pula beberapa pasal yang isinya serupa dan persis dengan pendahulunya. Dimulai dari Pasal 3 PP Lama yang serupa dengan Pasal 3 PP Baru tentang Penggantian kedudukan sebagai subjek pajak. Pasal 10 PP Lama serupa dengan Pasal 11 PP Baru tentang Pengelolaan dalam menyimpan dokumen dan/atau informasi sebagai dasar pembukuan. Pasal 15 PP Lama, dengan acuan Pasal 15 yang telah diubah dalam PP 9 Tahun 2021, serupa dengan Pasal 21 PP Baru dalam membahas Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Lalu Pasal 17 PP Lama serupa dengan Pasal 23 PP Baru mengenai Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil oleh Direktur Jenderal Pajak. Selanjutnya Pasal 23 PP Lama serupa dengan Pasal 26 PP Baru membahas Ketentuan Lebih Lanjut mengenai Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak. Kemudian Pasal 33 PP Lama serupa dengan Pasal 33 PP Baru tentang Jangka Waktu Proses Keberatan dan Surat Pengajuan Keberatan. Terakhir Pasal 42 PP Lama yang serupa dengan Pasal 43 PP Baru yang membahas Surat Pelaksanaan Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali, dan Putusan Gugatan.
Pada lampiran 3 membahas paling banyak Pasal karena berupa perbandingan Pasal yang mana beberapa pasal di PP Baru sebanding dengan beberapa pasal di PP Baru dengan perubahan baik itu sedikit maupun perubahan yang cukup signifikan. Bahkan terdapat pasal-pasal lama yang dipecah menjadi beberapa pasal baru, disederhanakan oleh pasal baru dan berpindah posisi. Dimulai pada Pasal 1 PP Lama yang dari 13 Ayat mengenai istilah di dalam PP tersebut, terdapat 5 yang tidak dicantumkan dalam PP Baru dan di saat yang sama terdapat 40 ayat baru mengenai istilah di dalam PP Baru hingga Pasal 63 PP Lama yang sebanding dengan Pasal 64 PP Baru dengan sedikit perubahan.
Terakhir lampiran 4 terdapat pula beberapa pasal dari PP Lama yang tidak dicantumkan pada PP Baru. Dimulai dari Bab IV tentang Penetapan dan Ketetapan dalam PP Lama pasal 19 yang membahas mengenai Penerbitan surat ketetapan pajak berdasarkan hasil Verifikasi harus dilakukan melalui Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan pasal 21 mengenai ketentuan lebih lanjut tata cara verifikasi. Pada Bab V terutama bagian 5 tentang Gugatan PP Lama terdapat 3 pasal yang tidak dicantumkan dalam PP Baru. Pertama Pasal 37 tentang Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak selain beberapa surat keputusan tertentu. Lalu Pasal 38 yang berisi Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan. Lalu Pasal 39 Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan.
Lalu pada Bab VIII tentang Kuasa Wajib Pajak, Rahasia Jabatan, dan Permintaan Keterangan Kepada Pihak Ketiga terdapat 2 pasal serta terakhir di Bab IX Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda terdapat 4 pasal yang tidak dicantumkan dalam PP Baru. Dalam Bab VIII yaitu Pasal 50 tentang tidak bolehnya pelimpahan kuasa dari seorang kuasa kepada orang lain selain hanya dipebolehkan pelimpahan penyampaian dokumen oleh orang lain dan Pasal 54 tentang permintaan keterangan atau bukti kepada pihak ketiga. Dalam Bab IX terdapat 4 pasal yang tidak dicantumkan yaitu Pasal 55, Pasal 56, Pasal 58 dan Pasal 59. Untuk Pasal 55 membahas Pemerintah Indonesia terikat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Lalu Pasal 56 membahas pertukaran informasi yang berkaitan dengan masalah perpajakan dengan negara mitra P3B. Kemudian Pasal 58 mengenai Advance Pricing Agreement (APA) yang mengikat Direktorat Jendral Pajak, tidak bisa dikoreksi olehnya dan pengembalian dokumen sepenuhnya apabila APA tidak disepakati dengan negara mitra.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa dalam membandingkan Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 s.t.d.d. Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 2021 dengan Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022 dapat direpresentasikan ke dalam 4 kategori berbeda yaitu Pasal Tambahan, Pasal Serupa, Pasal Revisi dan Pasal Lama yang tidak dicantumkan. Tabel berikut menunjukkan pasal mana yang mungkin cocok dengan setiap kategori yang disebutkan sebelumnya:
Pasal Tambahan | Pasal Serupa | Pasal Revisi | Pasal Lama yang Tidak Dicantumkan |
Pasal 10 | Pasal 3 | Pasal 1-2 | Pasal 19 PP Lama |
Pasal 19 | Pasal 11 | Pasal 4-9 | Pasal 21 PP Lama |
Pasal 25 | Pasal 21 | Pasal 12-18 | Pasal 37-39 PP Lama |
Pasal 36 | Pasal 23 | Pasal 20 | Pasal 50 PP Lama |
Pasal 45 | Pasal 26 | Pasal 22 | Pasal 54-56 PP Lama |
Pasal 48 | Pasal 33 | Pasal 24 | Pasal 58 -59 PP Lama |
Pasal 56-58 | Pasal 43 | Pasal 27-32 | |
Pasal 60 | Pasal 34-35 | ||
Pasal 62 | Pasal 37-42 | ||
Pasal 65 | Pasal 44 | ||
Pasal 66-67 | Pasal 46-47 | ||
Pasal 68 | Pasal 49-55 | ||
Pasal 69-70 | Pasal 59 | ||
Pasal 61 | |||
Pasal 63 |
TBrights merupakan tax consultant in indonesia yang saat ini menjadi integrated business service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif
By Olina Rizki Arizal
Partner
Lampiran 1. Substansi Tambahan Dalam Peraturan Pemerintah. No.50 Tahun 2022
Pasal 10 dalam Bab II bagian 5 Tentang Dasar Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak |
(1) Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya:
a. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; b. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak; c. Surat Keputusan Keberatan; d. Surat Keputusan Pembetulan; e. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi; f. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi; g. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; h. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; i. Surat Keputusan Persetujuan Bersama; j. Putusan Banding; k. Putusan Peninjauan Kembali; dan l. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. (2) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak: a. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; b. diterbitkannya: 1. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; 2. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17C atau Pasal 17D Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpaiakan; 3. Surat Keputusan Keberatan; 4. Surat Keputusan Pembetulan; 5. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi; 6. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi; 7. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; 8. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; 9. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga; atau 10. Surat Keputusan Persetujuan Bersama; atau c. diterimanya: 1. Putusan Banding; atau 2. Putusan Peninjauan Kembali, (3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlewati, Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
Pasal 19 dalam Bab IV Tentang Penetapan dan Ketetapan |
(1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak.
(2) Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. |
Pasal 25 dalam Bab IV Bagian 2 tentang Pemeriksaan |
(1) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b, dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
(2) Berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat nota penghitungan. (3) Nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dalam hal terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. |
Pasal 36 dalam Bab V Bagian 1 tentang Keberatan |
(1) Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (5f) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal Putusan Peninjauan Kembali menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
(2) Atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan Surat Tagihan Pajak paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal diterima Putusan Peninjauan Kembali oleh Direktur Jenderal Pajak. |
Pasal 45 dalam Bab VII tentang Penagihan |
(1) Dasar penagihan pajak berupa:
a. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah; dan/atau b. klaim pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (8) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dalam hal terdapat permintaan bantuan penagihan pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra. (2) Termasuk jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu pajak yang seharusnya tidak dikembalikan. (3) Dasar penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. |
Pasal 48 dalam Bab VII tentang Penagihan |
(1) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jumlah pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan bukan merupakan utang pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan tidak termasuk sebagai utang pajak sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding. (3) Atas jumlah pajak yang tidak disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak diperhitungkan dengan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) juga berlaku atas sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. |
Pasal 56 dalam Bab IX tentang Penerapan Prosedur Persetujuan Bersama |
Terhadap pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang menghasilkan kesepakatan dalam Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti Persetujuan Bersama tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan ketentuan Direktur Jenderal Pajak telah:
a. menerima pemberitahuan tertulis dari pejabat berwenang mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan; dan b. menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada pejabat berwenang mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan. |
Pasal 57 dalam Bab IX tentang Penerapan Prosedur Persetujuan Bersama |
(1) Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1):
a. menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum Surat Keputusan Keberatan diterbitkan; dan b. Persetujuan Bersama memuat kesepakatan untuk materi yang disengketakan, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama setelah diterimanya penyesuaian atau pencabutan keberatan dari Wajib Pajak. (2) Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1): a. menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak diterbitkan; dan b. Persetujuan Bersama memuat kesepakatan untuk materi yang disengketakan, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama setelah diterimanya pencabutan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak dari Wajib Pajak. (3) Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1): a. menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum Putusan Banding diucapkan; dan b. Persetujuan Bersama memuat kesepakatan untuk materi yang disengketakan, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama setelah diterimanya pemberitahuan penyesuaian atau pencabutan permohonan banding dari Wajib Pajak kepada Pengadilan Pajak. (4) Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1): a. menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum Putusan Peninjauan Kembali diterbitkan; dan b. Persetujuan Bersama memuat kesepakatan untuk materi yang disengketakan, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama setelah diterimanya pemberitahuan penyesuaian atau pencabutan permohonan peninjauan kembali dari Wajib Pajak kepada Mahkamah Agung. (5) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan gugatan terhadap: a. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; b. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau c. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yang terkait dengan Prosedur Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama dengan menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama setelah diterimanya pemberitahuan pencabutan gugatan dari Wajib Pajak kepada Pengadilan Pajak. (6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) dapat diterapkan dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 telah terpenuhi. |
Pasal 58 dalam Bab IX tentang Penerapan Prosedur Persetujuan Bersama |
(1) Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika Wajib Pajak mempunyai utang pajak, kelebihan pembayaran dimaksud langsung diperhitungkan untuk melunasi utang pajak terlebih dahulu.
(2) Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada Wajib Pajak tanpa diberikan imbalan bunga. (3) Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Keputusan Persetujuan Bersama, berlaku Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. |
Pasal 60 dalam Bab X Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan |
(l) Penyidik melakukan Penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal terjadi tindak pidana di bidang perpajakan dan diperoleh bukti permulaan.
(2) Bukti permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari kegiatan: a. Pemeriksaan Bukti Permulaan; b. penanganan tindak pidana yang diketahui seketika; atau c. pengembangan Penyidikan. (3) Dalam melakukan Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik berwenang memanggil saksi atau tersangka untuk diperiksa berdasarkan surat panggilan yang sah. (4) Saksi atau tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memenuhi panggilan berdasarkan surat panggilan yang sah. (5) Pemanggilan saksi atau tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai hukum acara pidana. |
Pasal 62 dalam Bab X Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan |
(1) Dalam pelaksanaan Penyidikan, Menteri berwenang menerbitkan keputusan pencegahan.
(2) Keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup keputusan pencegahan, perpanjangan masa pencegahan, dan pencabutan pencegahan. (3) Menteri dapat melimpahkan kewenangan penerbitan keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dan atas nama Menteri. |
Pasal 65 dalam Bab X Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan |
(1) Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat melunasi kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3).
(2) Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi pertimbangan: a. penuntutan tanpa disertai penjatuhan pidana penjara; dan b. pelunasan kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3) diperhitungkan sebagai pembayaran kerugian pada pendapatan negara atau pidana denda yang dibebankan kepada terdakwa. (3) Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah menerima informasi kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3) dari Direktur Jenderal Pajak. (4) Kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan Pasal 44B ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. (5) Dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak, tersangka, atau terdakwa pada tahap Penyidikan sampai dengan persidangan belum memenuhi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3), atas pembayaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda. (6) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (5) diperhitungkan sebagai pembayaran kerugian pada pendapatan negara atau pidana denda dalam hal terdakwa terlebih dahulu: a. mengajukan permohonan surat keterangan pembayaran kepada Direktur Jenderal Pajak; dan b. menyampaikan surat keterangan pembayaran yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada penuntut umum. |
Pasal 66-67 dalam Bab XI tentang Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Secara Elektronik |
Dijelaskan bahwa Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya
1. Dapat dilakukan secara elektronik dan diperbolehkannya penggunaan tanda tangan elektronik yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. 2. Tanda tangan yang diperbolehkan dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan yaitu tanda tangan tersertifikasi dan tanda tangan tidak tersertifikasi. 3. Tanda tangan tersertifikasi yaitu sebagaimana yang sudah diterbitkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik yang ditunjuk oleh Menteri yang sudah terdaftar dalam penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia yang sudah terakui oleh kementerian penyelenggara urusan pemerintah di bidang komunikasi dan informatika. 4. Tanda tangan tidak tersertifikasi yaitu Menteri yang dapat melakukan kerja sama dengan instansi untuk penyediaan fasilitas pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik dengan menggunakan tanda tangan elektronik melalui sistem integrasi administrasi perpajakan di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). 5. Ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik ini telah diatur di dalam Peraturan Menteri. 6. DJP dapat menerbitkan keputusan dalam pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam bentuk elektronik. 7. Dalam hal penerbitan keputusan melalui sistem yang terintegrasi dengan terpenuhinya seluruh persyaratan dalam sistem elektronik, sistem dapat menerbitkan keputusan sebagai keputusan DJP atau pejabat DJP yang berwenang dalam bentuk elektronik. 8. Keputusan yang dibuat dalam bentuk elektronik diberikan tanda tangan elektronik yang sudah tersertifikasi dan atau segel elektronik tersertifikasi yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan berkekuatan hukum yang sama dengan keputusan yang tertulis. 9. Terkait tanggal dikirim atau tanggal penerimaan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara elektronik merupakan tanggal yang digunakan dalam pengiriman secara elektronik dalam sistem administrasi DJP atau sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem administrasi DJP. 10. Tanggal pengiriman atau tanggal penerimaan yang dilakukan secara elektronik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. 11. Ketentuan mengenai tata cara penerbitan serta pengiriman keputusan dalam bentuk elektronik diatur dalam peraturan Menteri. |
Bab XII tentang Integrasi Basis Data Kependudukan dengan Basis Data Perpajakan (Pasal 68) |
Dijelaskan bahwa orang pribadi yang merupakan Penduduk dan telah memenuhi syarat subjektif (sesuai mengenai subjek pajak) maupun objektif (subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan ataupun pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan) sebagai Wajib Pajak wajib mendaftarkan dirinya dan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK)
1. Data kependudukan yang dimaksud ialah data Nomor Induk Kependudukan yang diadministrasikan kepada kementerian yang melaksanakan urusan pemerintah dalam negeri. 2. Menteri yang melaksanakan urusan pemerintahan dalam negeri memberikan Data Kependudukan serta Data Balikan dari pengguna data basis dari Data Kependudukan kepada Menteri untuk dapat diintegrasikan dengan basis data dari perpajakan. 3. Data Kependudukan yang diberikan merupakan pemberian hak yang dapat mengakses Data Kependudukan sesuai dengan ketentuan dari peraturan yang sudah diatur dalam perundang-undangan. 4. Data Balikan yang diberikan dari Pengguna diatur dalam peraturan Menteri penyelenggara urusan pemerintahan dalam negeri. 5. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang akan memberikan hak akses Data Kependudukan dan Data Balikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. 6. Direktur Jenderal Pajak menjadi pendelegasi Menteri dalam penerimaan serta permintaan Data Kependudukan dan Data Balikan dari Pengguna. |
Bab XIII tentang Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Pajak Karbon (Pasal 69-70) |
Dijelaskan bahwa orang pribadi maupun badan usaha yang memenuhi persyaratan objektif sebagaimana yang telah dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan serta persyaratan subjektif sebagaimana yang telah dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, atau pemungut Pajak Karbon termasuk dalam pengertian Wajib Pajak.
1. Tertera bahwa Pajak Karbon dapat dilunasi dengan cara pembayaran secara sendiri oleh Wajib Pajak atau dilunasi dengan cara pemungutan oleh pemungut Pajak Karbon. 2. Wajib Pajak pelaku aktivitas penghasil emisi karbon wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk pelaporan perhitungan dan atau pembayaran Pajak Karbon. 3. Wajib Pajak pemungut Pajak Karbon wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk dimasukkan ke dalam laporan perhitungan dan atau pembayaran Pajak Karbon. 4. Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 5. Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan paling lama 4 bulan akhir tahun kalender serta Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 hari setelah akhir Masa Pajak. 6. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu tersebut akan dikenai sanksi administratif dengan ketentuan dalam pasal 7 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
Lampiran 2 Perbandingan Pasal Serupa PP No.74 Tahun 2011 s.t.d.d. PP No.9 Tahun 2021
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama) | Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) |
Topik | Keterangan |
Pasal 3 | Pasal 3 | Penggantian kedudukan sebagai subjek pajak | |
Pasal 10 | Pasal 11 | Pengelolaan dalam menyimpan dokumen dan/atau informasi sebagai dasar pembukuan | |
Pasal 15 | Pasal 21 | Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan | Mengacu Pada PP 9 Tahun 2021 sebagai Perubahan PP 74 Tahun 2011 |
Pasal 17 | Pasal 23 | Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil oleh Direktur Jenderal Pajak | |
Pasal 23 | Pasal 26 | Ketentuan Lebih Lanjut mengenai Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak | |
Pasal 33 | Pasal 33 | Jangka Waktu Proses Keberatan dan Surat Pengajuan Keberatan | |
Pasal 42 | Pasal 43 | Surat Pelaksanaan Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali, dan Putusan Gugatan |
Lampiran 3 Perbandingan Pasal Revisi PP No.74 Tahun 2011 s.t.d.d. PP No.9 Tahun 2021
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 1 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 1 |
Keterangan | |
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. | 1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. | Terdapat Perubahan | |
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | 2. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. | Pasal 1 Ayat 2 PP Lama berpindah ke Pasal 1 Ayat 7 PP Baru
Pasal 1 Ayat 2 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru
|
|
3. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya. | 3. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. | Pasal 1 Ayat 3 PP Lama tidak dicantumkan pada Pasal 1 PP Baru
Pasal 1 Ayat 3 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru |
|
4. Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. | 4. Pajak Penghasilan adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. | Pasal 1 Ayat 4 PP Lama tidak dicantumkan pada Pasal 1 PP Baru
Pasal 1 Ayat 4 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru |
|
5. Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan petugas Verifikasi atas hasil Verifikasi yang dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, dan berisi koreksi baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui. | 5. Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. | Pasal 1 Ayat 5 PP Lama tidak dicantumkan pada Pasal 1 PP Baru
Pasal 1 Ayat 5 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru |
|
6. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | 6. Pajak Bumi dan Bangunan adalah Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. | Pasal 1 Ayat 6 PP Lama berpindah ke Pasal 1 Ayat 8 PP Baru
Pasal 1 Ayat 6 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru |
|
7. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, dan berisi koreksi baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui. | 7. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Pasal 1 Ayat 7 PP Lama tidak dicantumkan pada Pasal 1 PP Baru
Pasal 1 Ayat 7 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru |
|
8. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. | 8. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Pasal 1 Ayat 8 PP Lama berpindah ke Pasal 1 Ayat 10 PP Baru
Pasal 1 Ayat 8 PP Baru adalah Pindahan Pasal 1 Ayat 6 PP Lama tanpa perubahan |
|
9. Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. | 9. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. | Pasal 1 Ayat 9 PP Lama berpindah ke Pasal 1 Ayat 11 PP Baru
Pasal 1 Ayat 9 PP Baru adalah Pindahan Pasal 1 Ayat 8 PP Lama tanpa perubahan |
|
10. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, yang selanjutnya disebut P3B, adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak. | 10. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. | Pasal 1 Ayat 10 PP Lama berpindah ke Pasal 1 Ayat 13 PP Baru
Pasal 1 Ayat 10 PP Baru adalah Pindahan Pasal 1 Ayat 8 PP Lama tanpa perubahan
|
|
11. Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure), yang selanjutnya disebut MAP, adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B. | 11. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang selanjutnya disebut Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. | Pasal 1 Ayat 11 PP Lama berpindah ke Pasal 1 Ayat 14 PP Baru
Pasal 1 Ayat 11 PP Baru adalah Pindahan Pasal 1 Ayat 9 PP Lama dengan perubahan |
|
12. Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan P3B oleh pejabat yang berwenang dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan. | 12. Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan Penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | Pasal 1 Ayat 12 PP Lama berpindah ke Pasal 1 Ayat 15 PP Baru
Pasal 1 Ayat 12 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru |
|
13. Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement), yang selanjutnya disebut APA, adalah perjanjian tertulis antara:
a. Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak; atau b. Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B yang melibatkan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka. |
13. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak. | Pasal 1 Ayat 13 PP Lama tidak dicantumkan pada Pasal 1 PP Baru
Pasal 1 Ayat 13 PP Baru adalah Pindahan Pasal 1 Ayat 10 PP Lama dengan perubahan |
|
14. Prosedur Persetujuan Bersama adalah prosedur administratif yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. | Pasal 1 Ayat 14 PP Baru adalah Pindahan Pasal 1 Ayat 11 PP Lama dengan perubahan | ||
15. Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda oleh pejabat yang berwenang dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sehubungan dengan Prosedur Persetujuan Bersama yang telah dilaksanakan. | Pasal 1 Ayat 15 PP Baru adalah Pindahan Pasal 1 Ayat 12 PP Lama dengan perubahan | ||
16. Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. | Pasal 1 Ayat 16 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
17. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar. | Pasal 1 Ayat 17 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
18. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. | Pasal 1 Ayat 18 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
19. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. | Pasal 1 Ayat 19 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
20. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. | Pasal 1 Ayat 20 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
21. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. | Pasal 1 Ayat 21 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
22. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak. | Pasal 1 Ayat 22 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
23. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi adalah surat keputusan mengenai pengurangan sanksi administratif. | Pasal 1 Ayat 23 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
24. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi adalah surat keputusan mengenai penghapusan sanksi administratif. | Pasal 1 Ayat 24 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
25. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak adalah surat keputusan mengenai pengurangan ketetapan pajak. | Pasal 1 Ayat 25 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
26. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak adalah surat keputusan mengenai pembatalan ketetapan pajak. | Pasal 1 Ayat 26 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
27. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu | Pasal 1 Ayat 27 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
28. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak. | Pasal 1 Ayat 28 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
29. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan pemndang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, surat keputusan pemberian pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, surat keputusan pengurangan denda administrasi Pajak Bumi dan Bangunan, atau surat keputusan persetujuan bersama. | Pasal 1 Ayat 29 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
30. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pokok Pajak Bumi dan Bangunan atau selisih pokok Pajak Bumi dan Bangunan, besarnya denda administratif, dan jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang. | Pasal 1 Ayat 30 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
31. Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya. | Pasal 1 Ayat 31 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
32. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. | Pasal 1 Ayat 32 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
33. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. | Pasal 1 Ayat 33 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
34. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. | Pasal 1 Ayat 34 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
35. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Pasal 1 Ayat 35 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
36. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. | Pasal 1 Ayat 36 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
37. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. | Pasal 1 Ayat 37 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
38. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri. | Pasal 1 Ayat 38 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
39. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. | Pasal 1 Ayat 39 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
40. Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan. | Pasal 1 Ayat 40 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
41. Ratusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak. | Pasal 1 Ayat 41 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
42. Surat Keputusan Persetujuan Bersama adalah surat keputusan yang diterbitkan untuk menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama. | Pasal 1 Ayat 42 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
43. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia. | Pasal 1 Ayat 43 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
44. Data Kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil dari kegiatan pendaftaran Penduduk dan pencatatan sipil. | Pasal 1 Ayat 44 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
45. Data Balikan dari Pengguna adalah data yang bersifat unik dari setiap lembaga pengguna yang telah melakukan akses Data Kependudukan dan telah diadministrasikan dalam sistem administrasi kependudukan. | Pasal 1 Ayat 45 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
46. Nomor Induk Kependudukan adalah nomor identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai administrasi kependudukan. | Pasal 1 Ayat 46 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
47. Pajak Karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. | Pasal 1 Ayat 47 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
48. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara | Pasal 1 Ayat 48 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru | ||
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 2 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 2 |
Keterangan | |
1. Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. | 1. Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. | Serupa | |
2. Kewajiban mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta. | 2. Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk menggunakan Nomor Induk Kependudukan. | Pasal 2 Ayat 2 PP Lama berpindah ke Pasal 2 Ayat 4 PP Baru
Pasal 2 Ayat 2 PP Baru adalah Ayat Baru |
|
3. Wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang perpajakan dan:
a. tidak hidup terpisah; atau b. tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis, hak dan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya. |
3. Terhadap Penduduk, pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melakukan aktivasi Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak dalam administrasi perpajakan. | Pasal 2 Ayat 3 PP Lama tidak dicantumkan pada Pasal 2 PP Baru
Pasal 2 Ayat 3 PP Baru adalah Ayat Baru |
|
4. Wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. | 4. Kewajiban mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena:
a. hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim; b. melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta dengan suami, secara tertulis; atau c. ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami. |
Pasal 2 Ayat 4 PP Lama tidak dicantumkan pada Pasal 2 PP Baru
Pasal 2 Ayat 4 PP Baru adalah Pindahan Pasal 2 Ayat 2 PP Lama dengan perubahan |
|
5. Dalam hal wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. | 5. Dalam hal wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, wanita kawin tersebut tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak | Terdapat Perubahan | |
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak bagi wanita kawin diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | 6. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak bagi wanita kawin diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | Serupa | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 4 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 4 |
Keterangan | |
1. Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak, dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. | 1. Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan Pemeriksaan atau penelitian. | Terdapat Perubahan | |
2. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan Pemeriksaan atau Verifikasi. | 2. Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | Terdapat Perubahan | |
3. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu. | 3. Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. | Terdapat Perubahan | |
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | 4. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang merupakan Wajib Pajak orang pribadi Penduduk dilakukan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Pasal 4 Ayat 4 PP Lama tidak dicantumkan pada Pasal 4 PP Baru
Pasal 4 Ayat 4 PP Baru adalah Ayat Baru |
|
5. Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi Penduduk tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Nomor Induk Kependudukan dinonaktifkan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak dalam administrasi perpajakan. |
Pasal 4 Ayat 5 PP Baru adalah Ayat Baru |
||
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 5 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 5 |
Keterangan | |
1. Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan:
a. Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak; b. Pemeriksaan; atau c. Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
1. Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis. | Terdapat Perubahan | |
2. Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan. | 2. Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan:
a. Pemeriksaan; atau b. Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
Pasal 5 Ayat 2 PP Lama berpindah ke Pasal 5 Ayat 5 PP Baru
Pasal 2 Ayat 2 PP Baru adalah Ayat Baru |
|
3. Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. | 3. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dimulai sejak saat surat pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. | Pasal 5 Ayat 3 PP Lama berpindah ke Pasal 5 Ayat 6 PP Baru
Pasal 5 Ayat 3 PP Baru adalah Ayat Baru |
|
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | 4. Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, yang dimulai sejak saat surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. | Pasal 5 Ayat 4 PP Lama berpindah ke Pasal 5 Ayat 7 PP Baru
Pasal 5 Ayat 4 PP Baru adalah Ayat Baru |
|
5. Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan. | Pasal 5 Ayat 5 PP Baru adalah Pindahan Pasal 5 Ayat 2 PP Lama tanpa perubahan | ||
6. Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. | Pasal 5 Ayat 6 PP Baru adalah Pindahan Pasal 5 Ayat 3 PP Lama tanpa perubahan | ||
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan diatur dalam Peraturan Menteri. | Pasal 5 Ayat 7 PP Baru adalah Pindahan Pasal 5 Ayat 4 PP Lama dengan perubahan | ||
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 6 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 6 |
Keterangan | |
1. Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, atas Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang, dengan menyampaikan pernyataan tertulis | 1. Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima:
a. Surat Ketetapan Pajak; b. Surat Keputusan Keberatan; c. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; d. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; e. Surat Keputusan Pembetulan; f. Surat Keputusan Persetujuan Berasama; g. Putusan Banding; atau h. Putusan Peninjauan Kembali, atas Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dengan menyampaikan pernyataan tertulis. |
Terdapat Perubahan | |
2. Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan rugi fiskal berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan. | 2. Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan rugi fiskal berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan. | Serupa | |
3. Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. | 3. Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan ketentuan:
a. paling lama 3 (tiga) bulan setelah menerima Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali; dan b. tidak melewati batas waktu pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan menyatakan rugi atau lebih bayar. |
Terdapat Perubahan | |
4. Jangka waktu 3 (tiga) bulan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung sejak tanggal stempel pos pengiriman, atau dalam hal diterima secara langsung, jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal diterimanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Wajib Pajak. | 4. Jangka waktu 3 (tiga) bulan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dihitung sejak tanggal diterima:
a. Surat Ketetapan Pajak; b. Surat Keputusan Keberatan; c. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; d. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; e. Surat Keputusan Pembetulan; f. Surat Keputusan Persetujuan Bersama; g. Putusan Banding; atau h. Putusan Peninjauan Kembali, oleh Wajib Pajak. |
Terdapat Perubahan | |
5. Dalam hal Wajib Pajak tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak memperhitungkan rugi fiskal menurut surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penerbitan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, dan Surat Keputusan Pembetulan. | 5. Tanggal diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tanggal:
a. stempel pos dalam hal pengiriman melalui pos; b. faksimili dalam hal pengiriman faksimili; c. diterima secara langsung dalam hat pengiriman secara langsung; atau d. pengiriman dalam hal pengiriman secara elektronik. |
Pasal 6 Ayat 5 PP Lama berpindah ke Pasal 6 Ayat 7 PP Baru
Pasal 6 Ayat 5 PP Baru adalah Ayat Baru |
|
6. Apabila Wajib Pajak tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak menghitung kembali kompensasi kerugian dalam Surat Pemberitahuan Tahunan secara jabatan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. | 6. Apabila Wajib Pajak:
a. tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a; atau b. tidak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai akibat telah terlewatinya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, Direktur Jenderal Pajak menghitung kembali kompensasi kerugian dalam Surat Pemberitahuan Tahunan secara jabatan. |
Terdapat Perubahan | |
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | 7. Penghitungan kembali kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan:
a. Surat Ketetapan Pajak; b. Surat Keputusan Keberatan; c. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; d. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; e. Surat Keputusan Pembetulan; f. Surat Keputusan Persetujuan Bersama; g. Putusan Banding; atau h. Putusan Peninjauan Kembali, dalam penerbitan Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Persetujuan Bersama. |
Pasal 6 Ayat 7 PP Lama berpindah ke Pasal 6 Ayat 8 PP Baru
Pasal 6 Ayat 7 PP Baru adalah Pindahan Pasal 6 Ayat 5 PP Lama dengan perubahan |
|
8. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan diatur dalam Peraturan Menteri. | Pasal 6 Ayat 8 PP Baru adalah Pindahan Pasal 6 Ayat 7 PP Lama dengan perubahan | ||
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 7 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 7 |
Keterangan | |
1. Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, apabila:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sepanjang mulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. |
1. Dalam hal Wajib Pajak dilakukan tindakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, jika:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sebagaimana diatur dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sepanjang mulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
Terdapat Perubahan | |
2. Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan disertai dengan:
a. penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang; b. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang; dan c. Surat Setoran Pajak sebagai pembayaran sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen).
|
2. Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c atau huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan baik yang berdiri sendiri atau berkaitan dengan tindak pidana perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) kecuali huruf c dan huruf d dan ayat (3), Pasal 39A, dan Pasal 43 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. | Pasal 7 Ayat 2 PP Lama berpindah ke Pasal 7 Ayat 3 PP Baru
Pasal 7 Ayat 2 PP Baru adalah Ayat Baru |
|
2a. Pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. | Pasal 7 Ayat 2a PP Lama berpindah ke Pasal 7 Ayat 4 PP Baru
|
||
3. Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, terhadap Wajib Pajak tidak dilakukan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. | 3. Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan disertai dengan:
a. penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang b. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang; dan c. Surat Setoran Pajak sebagai pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
Pasal 7 Ayat 3 PP Lama berpindah ke Pasal 7 Ayat 5 PP Baru
Pasal 7 Ayat 3 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan Perubahan dari Pasal 7 Ayat 2 PP Lama |
|
4. Apabila setelah Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) masih ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut, terhadap Wajib Pajak tetap dapat dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan | 4. Pembayaran jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. | Pasal 7 Ayat 4 PP Lama berpindah ke Pasal 7 Ayat 6 PP Baru
Pasal 7 Ayat 4 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan Perubahan dari Pasal 7 Ayat 2a PP Lama |
|
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan ketidakbenaran perbuatan oleh Wajib Pajak diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan | 5. Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, terhadap Wajib Pajak tidak dilakukan Penyidikan. | Pasal 7 Ayat 5 PP Lama berpindah ke Pasal 7 Ayat 7 PP Baru
Pasal 7 Ayat 5 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan Perubahan dari Pasal 7 Ayat 3 PP Lama |
|
6. Dalam hal setelah Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) masih ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut, terhadap Wajib Pajak tetap dapat dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atas Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan/atau Tahun Pajak, untuk jenis pajak yang dilakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan. |
Pasal 7 Ayat 6 PP Baru adalah Pindahan Pasal 7 Ayat 4 PP Lama dengan perubahan |
||
7. Tata cara pengungkapan ketidakbenaran perbuatan oleh Wajib Pajak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Pasal 7 Ayat 7 PP Baru adalah Pindahan Pasal 7 Ayat 5 PP Lama dengan perubahan | ||
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 8 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 8 |
Keterangan | |
(1) Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sepanjang pemeriksa pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan | (1) Dalam hal Wajib Pajak dilakukan tindakan Pemeriksaan, Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri mengenai ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan. | Terdapat Perubahan | |
(2) Laporan tersendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
a. penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format Surat Pemberitahuan; b. Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan c. Surat Setoran Pajak atas sanksi administratif berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(2) Laporan tersendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
a. penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format Surat Pemberitahuan; b. Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar apabila pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan mengakibatkan pajak yang kurang dibayar menjadi lebih besar; dan c. Surat Setoran Pajak atas sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jika pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan mengakibatkan pajak yang kurang dibayar menjadi lebih besar. |
Terdapat Perubahan | |
(3) Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan tersebut diterbitkan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut serta memperhitungkan pokok pajak yang telah dibayar. | (3) Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri serta memperhitungkan pajak yang terutang yang telah dibayar. | Terdapat Perubahan | |
(4) Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tersebut. | (4) Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, Surat Ketetapan Pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. | Serupa | |
(5) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). | (5) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). | Serupa | |
(6) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan bukti pembayaran sanksi administratif terkait dengan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan | (6) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan bukti pembayaran sanksi administratif terkait dengan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan. | Serupa | |
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan diatur dalam Peraturan Menteri. | Pasal 8 Ayat 7 PP Baru adalah Ayat Baru | ||
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 9 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 9 |
Keterangan | |
(1) Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran. | (1) Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran. | Serupa | |
(2) Pembayaran dan penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dengan menggunakan sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak. | (2) Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dengan menggunakan sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak. | Serupa | |
(3) Pembayaran dan penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dengan menggunakan sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak. | (3) Ketentuan mengenai sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Terdapat Perubahan | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 10a |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 12 |
Keterangan | |
(1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. | (1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. | Serupa | |
(2) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, yaitu:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto; b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; dan c. Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu. |
(2) Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto; b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; dan c. Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu. |
Serupa | |
(3) Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain. | (3) Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, kecuali peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan menentukan lain. | Terdapat Perubahan | |
(4) Penentuan Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling sedikit mempertimbangkan modal usaha, peredaran bruto, dan tahun pendirian kegiatan usaha Wajib Pajak. | (4) Penentuan Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling kurang mempertimbangkan peredaran bruto Wajib Pajak. | Terdapat Perubahan | |
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terhadap Wajib Pajak dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. | (5) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terhadap Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. | Serupa | |
(6) Ketentuan mengenai tata cara melakukan pencatatan dan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau tata cara menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. | (6) Ketentuan mengenai tata cara melakukan pencatatan dan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau tata cara menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. | Terdapat Perubahan | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 11 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 13 |
Keterangan | |
(1) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau c. memberikan keterangan lain yang diperlukan. |
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Pasal 11 Ayat 1 PP Lama berpindah ke Pasal 13 Ayat 3 PP Baru
Pasal 13 Ayat 1 PP Baru adalah Ayat Baru |
|
(2) Dalam melakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak:
a. wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan dengan menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan; dan b. dapat meminjam atau meminta buku, catatan, dokumen, data, informasi, dan keterangan lain dengan menyampaikan surat permintaan. |
Pasal 13 Ayat 2 PP Baru adalah Ayat Baru | ||
(3) Berdasarkan permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Wajib Paiak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau c. memberikan data, informasi, dan keterangan lain yang diperlukan.
|
Pasal 13 Ayat 3 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan Perubahan dari Pasal 11 Ayat 1 PP Lama | ||
(2) Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan. | (4) Buku, catatan, dokumen, data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan. | Serupa | |
(3) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang diperiksa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajaknya dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 14 |
Keterangan | |
Dalam hal Wajib Pajak badan atau orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang diperiksa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Pasal 14 adalah Gabungan Ayat 3 dan 4 Pasal 11 PP Lama | ||
(4) Dalam hal Wajib Pajak badan yang diperiksa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajaknya dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | |||
(5) Dalam hal penghasilan kena pajak dihitung secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. | Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 15 |
Keterangan | |
(1) Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan hasil Pemeriksaan melalui surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak. | Pasal 15 Ayat 1 dan 2 adalah Pemisahan Ayat 5 Pasal 11 PP Lama | ||
(2) Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. | |||
(6) Pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemeriksa pajak dapat mempertimbangkan dokumen yang diberikan oleh Wajib Pajak. | (3) Dalam hal Wajib Pajak badan atau orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 memberikan dokumen pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemeriksa pajak dapat mempertimbangkan dokumen tersebut dalam menghitung pajak terutang. | Terdapat Perubahan | |
(7) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terbatas pada:
a. dokumen yang terkait dengan penghitungan peredaran usaha atau penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan neto secara jabatan; dan b. dokumen kredit pajak sebagai pengurang Pajak Penghasilan. |
(4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terbatas pada:
a. dokumen yang terkait dengan penghitungan peredaran usaha atau penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan neto secara jabatan; dan b. dokumen kredit pajak sebagai pengurang Pajak Penghasilan. |
Serupa | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 20 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 16 |
Keterangan | |
(1) Hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, dan Pasal 18, dituangkan dalam laporan hasil Pemeriksaan atau laporan hasil Pemeriksaan ulang. | (1) Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil Pemeriksaan. | Terdapat Perubahan | |
(2) Berdasarkan laporan hasil Pemeriksaan atau laporan hasil Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat nota penghitungan. | (2) Berdasarkan laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dibuat nota penghitungan. | Terdapat Perubahan | |
(3) Berdasarkan nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak. | (3) Nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak. | Terdapat Perubahan | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 12 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 17 |
Keterangan | |
(1) Apabila pada saat Pemeriksaan ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, Pemeriksaan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan. | (1) Dalam hal pada saat dilakukan Pemeriksaan ditemukan adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan, Pemeriksaan ditangguhkan dan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan. | Terdapat Perubahan | |
(2) Dalam hal Pemeriksaan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan ditangguhkan sampai dengan:
a. Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan b. Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; c. Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan; d. d. Penyidikan dihentikan sesuai dengan ketentuan Pasal 44A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau e. Putusan Pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(2) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan jika:
a. Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena: 1. tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan; 2. peristiwa bukan merrrpakan tindak pidana di bidang perpajakan; atau 3. Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; b. Penyidikan dihentikan: 1. karena tidak terdapat cukup bukti; 2. karena peristiwa bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan; atau 3. demi hukum karena terhadap perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya (nebis in idem) atau tersangka meninggal dunia; atau c. demi hukum karena terhadap perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya (nebis in idem) atau tersangka meninggal dunia; |
Pasal 12 Ayat 1 PP Lama tidak dicantumkan pada Pasal 17 PP Baru
Pasal 17 Ayat 2 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan Perubahan dari Pasal 12 Ayat 3 PP Lama |
|
(3) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilanjutkan apabila:
a. Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; b. Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan; c. Penyidikan dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau tersangka meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau d. Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(3) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihentikan jika:
a. Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihentikan jika: b. Penyidikan dihentikan karena 1. Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 44A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau 2. Wajib Pajak atau tersangka melakukan pelunasan sebagaimana diatur dalam Pasal 448 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; c. Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan dihentikan karena telah daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 4O Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau d. terdapat putusan pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap selain putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat {21huruf c dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. |
Pasal 12 Ayat 3 PP Lama Dipindah pada Pasal 17 Ayat 2 PP Baru
Pasal 17 Ayat 3 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan Perubahan dari Pasal 12 Ayat 4 PP Lama |
|
(4) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihentikan apabila:3.
|
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan dalam hal masih terdapat kelebihan pembayaran pajak berdasarkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan atau hasil Penyidikan. | Pasal 12 Ayat 4 PP Lama Dipindah pada Pasal 17 Ayat 3 PP Baru
Pasal 17 Ayat 4 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan Perubahan dari Pasal 12 Ayat 4a PP Lama |
|
(4a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b, Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilanjutkan dalam hal masih terdapat kelebihan pembayaran pajak berdasarkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan atau hasil Penyidikan. | |||
(5) Direktur Jenderal Pajak masih dapat melakukan Pemeriksaan apabila setelah Pemeriksaan dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdapat data selain yang diungkapkan dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan | Pasal 12 Ayat 5 PP Lama tidak dicantumkan pada Pasal 17 PP Baru | ||
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 13 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 18 |
Keterangan | |
(1) Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang dapat membatalkan surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan Pemeriksaan atau Verifikasi yang dilaksanakan tanpa melalui prosedur:
a. penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil Verifikasi, dan/atau b. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi. |
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan berdasarkan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 yang dilaksanakan tanpa melalui prosedur:
a. penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan; dan/atau b. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. |
Terdapat Perubahan | |
(2) Surat ketetapan pajak yang dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), proses Pemeriksaan atau Verifikasi dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur yang belum dilaksanakan, berupa:
a. penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil Verifikasi; dan/atau b. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi. |
(2) Dalam hal terdapat pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka proses Pemeriksaan dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur yang belum dilaksanakan, berupa:
a. penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan; dan/atau b. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. |
Terdapat Perubahan | |
(3) Pemeriksaan yang dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang, dilanjutkan dengan penerbitan:
a. surat ketetapan pajak sesuai dengan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan apabila jangka waktu 12 bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang belum terlewati; atau b. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sesuai dengan Surat Pemberitahuan apabila jangka waktu 12 bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang terlewati. |
(3) Dalam hal Surat Ketetapan Pajak yang dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak tertangguh, terhitung sejak tanggal diterbitkan Surat Ketetapan Pajak yang dibatalkan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak | Terdapat Perubahan | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 14 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 20 |
Keterangan | |
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil Pemeriksaan, dalam hal:
a. pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; b. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; c. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen); d. kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; e. Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau f. Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. |
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak setelah dilakukan tindakan Pemeriksaan dalam hal:
|
Terdapat Perubahan | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 16 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP baru) Pasal 22 |
Keterangan | |
(1) Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) atau ayat (3) ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar tersebut. | Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l ayat (1) huruf a ditambah sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar. | Terdapat Perubahan | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 18 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 24 |
Keterangan | |
(1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar berdasarkan:
a. hasil Verifikasi terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; b. hasil Pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang; atau c. hasil Pemeriksaan terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. |
(1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar berdasarkan:
a. hasil Pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan apabila terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; b. hasil penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak apabila terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau c. hasil Pemeriksaan terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak apabila terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang sebagaimana diatur dalam Pasal l7B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
Terdapat Perubahan | |
(2) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih dapat diterbitkan lagi apabila terdapat data baru, termasuk data yang semula belum terungkap, apabila ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. | (2) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih dapat diterbitkan lagi jika terdapat data baru, termasuk data yang semula belum terungkap, jika ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. | Terdapat Perubahan | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 24 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 27 |
Keterangan | |
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. | (1) Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberi atau diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal, 21, Pasal 23, dan Pasal 24 dan/atau Surat Tagihan Pajak. | Terdapat Perubahan | |
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dan/atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, apabila setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. | (2) Dalam hal setelah dilakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dan/atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24 dan/atau Surat Tagihan Pajak. | Terdapat Perubahan | |
(3) Surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak | (3) Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. | Serupa | |
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | (4) Ketentuan mengenai tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. | Terdapat Perubahan | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 25 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 28 |
Keterangan | |
(1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak berdasarkan:
a. hasil Penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang; b. hasil Penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D ayat (1) Undang-Undang; atau c. hasil Penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya. |
(1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak berdasarkan :
a. hasil penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; b. hasil penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal l7D ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau c. hasil penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. |
Terdapat Perubahan | |
(2) Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama:
a. 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan; atau b. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. |
(2) Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama:
a. 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan; atau b. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. |
||
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 26 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 29 |
Keterangan | |
(1) Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya dikembalikan, dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang. | (1) Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikembalikan, dengan ketentuan jika Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. | Terdapat Perubahan | |
(2) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya. | (2) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c | Terdapat Perubahan | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 27 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 30 |
Keterangan | |
(1) Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (3) Undang-Undang dicabut penetapannya sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dalam hal Wajib Pajak:
(1) dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka atau tindakan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; (2) terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut; (3) terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau (4) terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan. |
(1) Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 17Cayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dicabut penetapannya sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dalam hal Wajib Pajak:
a. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan; b. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut; c. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; d. menyampaikan laporan keuangan pada suatu Tahun Pajak setelah ditetapkan sebagai Wajib Pajak kriteria tertentu yang tidak diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawas keuangan pemerintah; e. menyampaikan laporan keuangan pada suatu Tahun Pajak setelah ditetapkan sebagai Wajib Pajak kriteria tertentu yang diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawas keuangan pemerintah tetapi memperoleh pendapat selain wajar tanpa pengecualian; atau f. dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka atau Penyidikan. |
Terdapat Perubahan | |
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | (2) Tata cara pencabutan penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Terdapat Perubahan | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 28 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 31 |
Keterangan | |
(1) Keberatan atas surat ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal:
a. surat ketetapan pajak dikirim; atau b. pemotongan atau pemungutan pajak, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. |
(1) Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal:
a. Surat Ketetapan Pajak dikirim; atau b. pemotongan atau pemungutan pajak, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. |
Serupa | |
(2) Keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. bencana alam; b. kebakaran; c. huru-hara/kerusuhan massal; d. diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan yang mengakibatkan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tertera dalam surat ketetapan pajak berubah, kecuali Surat Keputusan Pembetulan yang diterbitkan akibat hasil Persetujuan Bersama; atau e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak. |
(2) Keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. bencana alam; b. bencana nonalam; c. bencana sosial; d. diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan yang mengakibatkan jumlah pajak yang masih harus dibayar atau lebih dibayar yang tertera dalam Surat Ketetapan Pajak berubah; atau e. keadaan lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
Terdapat Perubahan | |
(3) Dalam hal terdapat penerbitan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan Wajib Pajak belum mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak masih dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak tersebut dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Surat Keputusan Pembetulan. | (3) Dalam hal terdapat penerbitan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan Wajib Pajak belum mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak, Wajib Pajak masih dapat mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak tersebut dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Surat Keputusan Pembetulan. | Serupa | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 30 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 32 |
Keterangan | |
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c. Surat Ketetapan Pajak Nihil; d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c. Surat Ketetapan Pajak Nihil; d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang perpajakan. |
Serupa | |
(2) Wajib Pajak yang mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengajukan permohonan:
a. pengurangan, penghapusan, atau pembatalan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; b. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar; atau c. pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan atau Verifikasi yang dilaksanakan tanpa: 1) penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil Verifikasi; atau 2) Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dengan Wajib Pajak. |
(2) Wajib Pajak yang mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengajukan permohonan:
a. pengurangan atau penghapusan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; b. pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar; atau c. pembatalan Surat Ketetapan Pajak dari hasil Pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa: 1) penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan; atau 2) Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak. |
Terdapat Perubahan | |
(3) Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal diterima surat pemberitahuan untuk hadir oleh Wajib Pajak. | (3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal diterima surat pemberitahuan untuk hadir oleh Wajib Pajak. | Terdapat Perubahan | |
(4) Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. | (4) Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar. | Serupa | |
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | (5) Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap dapat mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif. | Pasal 30 Ayat 5 PP Lama berpindah ke Pasal 32 Ayat 6 PP Baru
Pasal 32 Ayat 5 PP Baru adalah Ayat Baru |
|
(6) Tata cara pencabutan pengajuan keberatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Pasal 32 Ayat 6 PP Baru adalah Pindahan Pasal 30 Ayat 5 PP Lama dengan perubahan | ||
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 31 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 34 |
Keterangan | |
(1) Dalam hal pengajuan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-Undang. | (1) Dalam hal pengajuan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. | Terdapat Perubahan | |
(2) Sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam hal keputusan keberatan atas pengajuan keberatan Wajib Pajak menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar. | (2) Jumlah pajak yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembayaran atas jumlah yang disetujui maupun yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. | Pasal 31 Ayat 2 PP Lama berpindah ke Pasal 34 Ayat 3 PP Baru
Pasal 34 Ayat 2 PP Baru adalah Ayat Baru |
|
(3) Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) atau pengajuan keberatan tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3) atau ayat (3a) Undang-Undang, Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan. | (3) Sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam hal keputusan keberatan atas pengajuan keberatan Wajib Pajak menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar. | Pasal 31 Ayat 3 PP Lama berpindah ke Pasal 34 Ayat 4 PP Baru
Pasal 34 Ayat 3 PP Baru adalah Pindahan Pasal 31 Ayat 2 PP Lama dengan perubahan |
|
(4) Dalam hal Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak. | (4) Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) atau pengajuan keberatan tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan pengajuan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1), ayat (2),, ayat (3), atau ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan. | Pasal 31 Ayat 4 PP Lama berpindah ke Pasal 34 Ayat 5 PP Baru
Pasal 34 Ayat 4 PP Baru adalah Pindahan Pasal 31 Ayat 3 PP Lama dengan perubahan |
|
(5) Dalam hal Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak. | Pasal 34 Ayat 5 PP Baru adalah Pindahan Pasal 31 Ayat 4 PP Lama dengan perubahan | ||
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 32 |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 35 |
Keterangan | |
(1) Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang dalam hal Putusan Banding:
a. menolak; b. mengabulkan sebagian; c. menambah pajak yang harus dibayar; atau d. membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung yang menambah pajak yang masih harus dibayar. |
(1) Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal Putusan Banding:
a. menolak; b. mengabulkan sebagian; c. menambah pajak yang harus dibayar; atau d. membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung yang menambah pajak yang masih harus dibayar. |
Terdapat Perubahan | |
(2) Dalam hal Putusan Banding berupa tidak dapat diterima, pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. | (2) Dalam hal Putusan Banding berupa tidak dapat diterima, pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. | Serupa | |
(3) Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditambah sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1). | Pasal 35 Ayat 3 PP Baru adalah Ayat Baru | ||
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 34 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 37 |
Keterangan | |
(1) Atas permohonan Wajib Pajak, atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | (1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan:
a. Surat Ketetapan Pajak; b. Surat Tagihan Pajak; c. Surat Keputusan Pembetulan; d. Surat Keputusan Keberatan; e. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi; f. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi; g. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; h. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; i. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak; j. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga; k. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang; l. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan m. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; n. surat keputusan pemberian pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan; o. surat keputusan pengurangan denda administrasi Pajak Bumi dan Bangunan; atau p. Surat Keputusan Persetujuan Bersama, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Terdapat Perubahan | |
(2) Kesalahan hitung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kesalahan yang berasal dari penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan; atau b. kesalahan hitung yang diakibatkan oleh adanya penerbitan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, surat keputusan atau putusan yang terkait dengan bidang perpajakan. |
(2) Kesalahan hitung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kesalahan yang berasal dari penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan; atau b. kesalahan hitung yang diakibatkan oleh adanya penerbitan Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, surat keputusan, atau putusan yang terkait dengan bidang perpajakan. |
Serupa | |
(3) Dalam hal terdapat kekeliruan pengkreditan Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai pada surat keputusan atau surat ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembetulan atas kekeliruan tersebut hanya dapat dilakukan apabila terdapat perbedaan besarnya Pajak Masukan yang menjadi kredit pajak dan Pajak Masukan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. | (3) Dalam hal terdapat kekeliruan pengkreditan Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai pada surat keputusan atau surat ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembetulan atas kekeliruan tersebut hanya dapat dilakukan jika terdapat perbedaan besarnya Pajak Masukan yang menjadi kredit pajak dan Pajak Masukan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. | Serupa | |
(4) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | (4) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | Serupa | |
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan diatur dalam Peraturan Menteri. | Terdapat Perubahan | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 35 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 38 |
Keterangan | |
(1) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak, atau bukan karena kesalahannya; b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar; c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang, yang tidak benar; atau d. membatalkan surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan atau Verifikasi, yang dilaksanakan tanpa: 1) penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil Verifikasi; atau 2) penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil Verifikasi; atau |
(1) Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya; b. mengurangkan atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar; c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang tidak benar; atau d. membatalkan Surat Ketetapan Pajak dari hasil Pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa: 1. penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan; atau 2. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak. |
Terdapat Perubahan | |
(2) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak apabila:
a. Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak; atau b. Wajib Pajak mengajukan keberatan tetapi keberatannya tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan. |
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. | Pasal 35 Ayat 2 PP Lama berpindah ke Pasal 38 Ayat 4 PP Baru
Pasal 38 Ayat 2 PP Baru adalah Ayat Baru |
|
(3) Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat diajukan dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3). | (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 1 (satu) kali. | Pasal 35 Ayat 3 PP Lama berpindah ke Pasal 38 Ayat 5 PP Baru
Pasal 38 Ayat 3 PP Baru adalah Ayat Baru |
|
(4) Pada saat penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak dapat mempertimbangkan buku, catatan atau dokumen yang diberikan dalam proses penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tersebut. | (4) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak jika:
a. Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak; atau b. Wajib Pajak mengajukan keberatan tetapi keberatannya tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan. |
Pasal 35 Ayat 4 PP Lama berpindah ke Pasal 38 Ayat 6 PP Baru
Pasal 38 Ayat 4 PP Baru adalah Pindahan Pasal 35 Ayat 2 PP Lama tanpa perubahan |
|
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan, penghapusan, dan pembatalan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | (5) Permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat diajukan dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3). | Pasal 35 Ayat 5 PP Lama berpindah ke Pasal 38 Ayat 9 PP Baru
Pasal 38 Ayat 5 PP Baru adalah Pindahan Pasal 35 Ayat 3 PP Lama dengan perubahan |
|
(6) Pada saat penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak dapat mempertimbangkan buku, catatan, atau dokumen yang diberikan dalam proses penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar tersebut. | Pasal 38 Ayat 6 PP Baru adalah Pindahan Pasal 35 Ayat 4 PP Lama tanpa perubahan | ||
(7) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan. | Pasal 38 Ayat 7 PP Baru adalah Ayat Baru | ||
(8) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan | Pasal 38 Ayat 8 PP Baru adalah Ayat Baru | ||
(9) Tata cara pengurangan, penghapusan, dan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Pasal 38 Ayat 9 PP Baru adalah Ayat Baru | ||
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 36 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 39 |
Keterangan | |
(1) Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang. | (1) Wajib Pajak yang dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. | Terdapat Perubahan | |
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan terhadap sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (2a) Undang-Undang, yang dikenakan melebihi jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan, atas permohonan tersebut dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sehingga besarnya sanksi administrasi sebesar 2% (dua persen) per bulan dikenakan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. | (2) Dalam hal permohonan sebagaimana diatur pada ayat (1) diajukan terhadap sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (2a), Pasal 9 ayat (2a), Pasal 9 ayat (2b), dan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dikenakan melebihi jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan, atas permohonan tersebut dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif sehingga besarnya sanksi administratif dikenakan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. | Terdapat Perubahan | |
(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan terhadap sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2a) dan ayat (2b) Undang-Undang atau Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang, ketentuan pada ayat (2) berlaku untuk permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak setelah tanggal 31 Desember 2011 sampai dengan tanggal 31 Desember 2013. | (3) Direktur Jenderal Pajak secara jabatan mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sebagai akibat dari penerbitan Surat Ketetapan Pajak yang diajukan keberatan, Prosedur Persetujuan Bersama, banding, peninjauan kembali, atau pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak dan telah diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang mengakibatkan berkurangnya jumlah pajak yang masih harus dibayar. | Pasal 36 Ayat 3 PP Lama Tidak Dicantumkan dalam PP Baru
Pasal 39 Ayat 3 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan Perubahan Pasal 36 Ayat 4 PP Lama |
|
(4) Direktur Jenderal Pajak secara jabatan mengurangkan atau membatalkan sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sebagai akibat dari penerbitan surat ketetapan pajak yang diajukan keberatan, banding, peninjauan kembali, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak dan telah diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak. | Pasal 36 Ayat 4 PP Lama Pindah ke Pasal 39 Ayat 3 PP Baru | ||
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 22 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 40 |
Keterangan | |
(1) Dalam hal ketetapan dan/atau keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diketahui rusak, tidak terbaca, hilang atau tidak dapat ditemukan lagi, karena keadaan di luar kekuasaannya, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya, menerbitkan kembali ketetapan dan/atau keputusan sebagai pengganti ketetapan dan/atau keputusan yang rusak, tidak terbaca, hilang atau tidak dapat ditemukan lagi tersebut. | (1) Dalam hal keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diketahui rusak, tidak terbaca, hilang, atau tidak dapat ditemukan lagi karena keadaan di luar kekuasaannya, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya menerbitkan kembali keputusan sebagai pengganti keputusan yang rusak, tidak terbaca, hilang, atau tidak dapat ditemukan lagi. | Terdapat Perubahan | |
(2) Ketetapan dan/atau keputusan yang diterbitkan kembali oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan ketetapan dan/atau keputusan yang telah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. | (2) Keputusan yang diterbitkan kembali oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan keputusan yang telah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak | Terdapat Perubahan | |
(3) Ketentuan mengenai tata cara penerbitan kembali keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. | Ayat Baru | ||
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 40 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 41 |
Keterangan | |
(1) Dalam hal terdapat Putusan Gugatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti Putusan Gugatan dengan menerbitkan kembali surat ketetapan pajak sesuai dengan prosedur atau tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) atau ayat (3). | (1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan pemndang-undangan di bidang perpajakan. | Pasal 40 Ayat 1 PP Lama berpindah ke Pasal 41 Ayat 2 PP Baru
Pasal 41 Ayat 1 PP Baru adalah Ayat Baru
|
|
(2) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menerbitkan kembali surat ketetapan pajak yang terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang sebagai akibat dari Putusan Gugatan, penerbitan kembali surat ketetapan pajak tersebut dilakukan dengan ketentuan:
a. apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang belum terlewati, surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan prosedur atau tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3); dan b. apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang terlewati, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sesuai dengan Surat Pemberitahuan. |
(2) Dalam hal terdapat Putusan Gugatan atas Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan, Direktur Jenderal Pajak setelah menerima Putusan Gugatan tersebut menindaklanjuti Putusan Gugatan dengan menerbitkan kembali Surat Ketetapan Pajak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. | Pasal 40 Ayat 2 PP Lama berpindah ke Pasal 41 Ayat 3 PP Baru
Pasal 41 Ayat 2 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan Perubahan Pasal 40 Ayat 1 PP Lama |
|
(3) Dalam hal Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan Kembali sebagai akibat dari Putusan Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan bagi Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak tertangguh, terhitung sejak tanggal diterbitkan Surat Ketetapan Pajak yang diajukan gugatan sampai dengan Putusan Gugatan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. | Pasal 41 Ayat 3 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan
Perubahan Pasal 40 Ayat 2 PP Lama |
||
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 41 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 42 |
Keterangan | |
(1) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menerima Putusan Gugatan atas Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti Putusan Gugatan tersebut dengan menerbitkan kembali Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan prosedur atau tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2). | (1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Pasal 41 Ayat 1 PP Lama berpindah ke Pasal 42 Ayat 2 PP Baru
Pasal 412Ayat 1 PP Baru adalah Ayat Baru
|
|
(2) Dalam hal badan peradilan pajak mengabulkan gugatan Wajib Pajak atas surat dari Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang, Direktur Jenderal Pajak menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan.
|
(2) Dalam hal terdapat Putusan Gugatan atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan, Direktur Jenderal Pajak setelah menerima Putusan Gugatan tersebut menindaklanjuti Putusan Gugatan dengan menerbitkan kembali Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Pasal 41 Ayat 2 PP Lama berpindah ke Pasal 42 Ayat 3 PP Baru
Pasal 42 Ayat 2 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan Perubahan dari Pasal 41 Ayat 1 PP Lama |
|
(3) Jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung sejak Putusan Gugatan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. | (3) Dalam hal terdapat Putusan Gugatan atas surat dari Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (4) Undang- Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang- Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tertangguh, terhitung sejak tanggal dikirim surat dari Direktur Jenderal Pajak tersebut kepada Wajib Pajak sampai dengan Putusan Gugatan Pengadilan Pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. | Pasal 41 Ayat 3 dan Ayat 2 PP Lama bergabung ke Pasal 42 Ayat 3 PP Baru
Pasal 42 Ayat 2 PP Baru adalah Ayat Gabungan dengan Perubahan dari Pasal 41 Ayat 2 dan 3 PP Lama |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 45a |
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2022
(PP Baru) Pasal 44 |
Keterangan |
(1) Wajib Pajak diberikan imbalan bunga dalam hal pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali, dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. | (1) Wajib Pajak diberi imbalan bunga dalam hal pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali, dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. | Serupa |
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau d. Surat Ketetapan Pajak Nihil. |
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak. | Terdapat Perubahan |
(3) Jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. | (3) Jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. | Serupa |
(4) Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. | (4) Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. | Serupa |
(5) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan:
a. berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas); dan b. paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(5) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan:
a. berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas); dan b. paling lama 24 (duapuluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
Terdapat Perubahan |
(6) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang digunakan sebagai dasar penghitungan imbalan bunga adalah tarif bunga per bulan yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. | (6) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang digunakan sebagai dasar penghitungan imbalan bunga merupakan tarif bunga per bulan yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. | Serupa |
(7) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. | (7) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. | Terdapat Perubahan |
(8) Pelaksanaan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, imbalan bunga diberikan apabila terhadap Surat Keputusan Keberatan tidak diajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak; atau b. dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, imbalan bunga diberikan apabila terhadap Putusan Banding telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Pengadilan Pajak. |
(8) Pelaksanaan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan:
a. dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, imbalan bunga diberikan jika terhadap Surat Keputusan Keberatan tidak diajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak; b. dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, imbalan bunga diberikan jika terhadap Putusan Banding telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Pengadilan Pajak; atau c. dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, imbalan bunga sebagai akibat terbitnya Putusan Peninjauan Kembali diberikan jika terhadap Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Mahkamah Agung. |
Terdapat Perubahan |
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian imbalan bunga diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. | (9) Tata cara pemberian imbalan bunga dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Terdapat Perubahan |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 47 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 46 |
Keterangan |
Dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran, jangka waktu hak mendahulu selama 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) huruf b Undang-Undang, dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan atau sejak tanggal jatuh tempo angsuran terakhir. | Dalam hal dasar penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a dan ayat (2) diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran, jangka waktu hak mendahulu selama 5 (lima) tahun dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan atau sejak tanggal jatuh tempo angsuran terakhir sebagaimana diatur dalam Pasal 2l ayat (5) huruf b Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. | Terdapat Perubahan |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 48 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 47 |
Keterangan |
(1) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan tidak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang belum dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) Undang-Undang dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. | (1) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan tidak mengajukan perrnohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan belum dibayar pada saat pengajuan keberatan dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan dengan memperhitungkan jumlah pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan. | Terdapat Perubahan |
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang belum dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) Undang-Undang dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. | (2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan belum dibayar pada saat pengajuan keberatan dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Putusan Banding dengan memperhitungkan jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding. | Terdapat Perubahan |
(3) Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang. | (3) Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. | Terdapat Perubahan |
(4) Dalam hal Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3a) Undang-Undang. | (4) Dalam hal Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (3a) Undang- Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. | Terdapat Perubahan |
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pajak yang masih harus dibayar tersebut ditagih dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran. | Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 49 |
Keterangan |
(1) Dalam hal jumlah pajak yang masih harus dibayar atau utang pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dan Pasal 47 diterbitkan Surat Teguran. | Terdapat Perubahan | |
(6) Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). | (2) Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dan Pasal 47. | Terdapat Perubahan |
(7) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan. | (3) Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat diterima klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b. | Pasal 48 Ayat 7 PP Lama Berpindah ke Pasal 49 Ayat 4 PP Baru
Pasal 49 Ayat 3 PP Baru adalah Ayat Baru |
(8) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan permohonan banding | (4) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan | Pasal 48 Ayat 8 PP Lama Berpindah ke Pasal 49 Ayat 5 PP Baru
Pasal 49 Ayat 4 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan Perubahan Pasal 48 Ayat 7 PP Lama |
(9) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding. | (5) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pengajuan permohonan banding. | Pasal 48 Ayat 9 PP Lama Berpindah ke Pasal 49 Ayat 6 PP Baru
Pasal 49 Ayat 5 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan Perubahan Pasal 48 Ayat 8 PP Lama |
(10) Apabila sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak dikenakan sebagai akibat diterbitkan surat ketetapan pajak, yang pajak terutangnya tidak disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan atas surat ketetapan pajak diajukan keberatan dan/atau banding, tindakan penagihan atas Surat Tagihan Pajak tersebut ditangguhkan sampai dengan surat ketetapan pajak tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap | (6) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding. | Pasal 48 Ayat 10 PP Lama Tidak Dicantumkan dalam PP Baru
Pasal 49 Ayat 6 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan Perubahan Pasal 48 Ayat 9 PP Lama |
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan penagihan pajak atas jumlah pajak yang masih harus dibayar diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 50 |
Keterangan |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan penagihan pajak atas jumlah pajak yang masih harus dibayar diatur dalam Peraturan Menteri. | Terdapat Perubahan | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 49 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 51 |
Keterangan |
(1) Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | (1) Wajib Pajak dapat menunjuk kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Terdapat Perubahan |
(2) Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konsultan pajak dan bukan konsultan pajak. | (2) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. konsultan pajak; b. pihak lain; atau c. keluarga. |
Terdapat Perubahan |
(3) Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; b. memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa; c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; d. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir; dan e. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. |
(3) Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali keluarga. | Terdapat Perubahan |
(4) Surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan tandatangan di atas meterai serta Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak pemberi kuasa; b. nama, alamat, dan tandatangan serta Nomor Pokok Wajib Pajak penerima kuasa; dan c. hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan. |
(4) Keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas:
a. suami; b. istri; atau c. keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua. |
Terdapat Perubahan |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 51 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 52 |
Keterangan |
(1) Seorang kuasa hanya mempunyai hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan Wajib Pajak sesuai dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) huruf b. | (1) Kuasa menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1). | Terdapat Perubahan |
(2) Dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu, seorang kuasa wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | (2) Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sebagai kuasa, kuasa wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Terdapat Perubahan |
(3) Seorang kuasa tidak dapat melaksanakan hak dan/atau kewajiban Wajib Pajak yang dikuasakan kepadanya apabila dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakannya:
a. melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; b. menghalang-halangi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau |
(3) Kuasa tidak dapat menjalankan hak dan kewajiban Wajib Pajak yang dikuasakan kepadanya jika dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya:
a. menghalang-halangi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau b. dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya. |
Terdapat Perubahan |
(4) dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya. | Pasal 51 Ayat 4 PP Lama Pindah ke Pasal 52 Ayat 3 PP Baru | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 52 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 53 |
Keterangan |
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat serta hak dan kewajiban konsultan pajak yang dapat ditunjuk sebagai kuasa diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. | Menteri dapat mengatur pembinaan, pengembangan, dan/ atau pengawasan konsultan pajak dan pihak lain yang bertindak sebagai kuasa Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a dan huruf b untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Terdapat Perubahan |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 53 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 54 |
Keterangan |
(1) Setiap pejabat dan tenaga ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya. | (1) Setiap pejabat dan tenaga ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya. | Serupa |
(2) Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) supaya memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak tertentu yang ditunjuk dalam izin tertulis Menteri Keuangan tersebut. | (2) Demi kepentingan negara, dalam rangka Penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan lembaga negara, instansi pemerintah, badan hukum yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak lain, Menteri berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak tertentu yang ditunjuk dalam izin tertulis Menteri tersebut. | Terdapat Perubahan |
(3) Pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
a. hanya dapat meminta keterangan dan/atau bukti tertulis mengenai keterangan dan/atau bukti tertulis yang tercantum dalam izin tertulis Menteri Keuangan; b. wajib merahasiakan segala keterangan dan/atau bukti tertulis yang diketahui atau diperoleh dari Pejabat dan/atau Tenaga Ahli; dan c. hanya dapat memanfaatkan keterangan dan/atau bukti tertulis sesuai dengan tujuan diajukannya permintaan keterangan dan/atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. |
(3) Pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
a. hanya dapat meminta keterangan dan/atau bukti tertulis mengenai keterangan dan/atau bukti tertulis yang tercantum dalam izin tertulis Menteri; b. wajib merahasiakan segala keterangan dan/atau bukti tertulis yang diketahui atau diperoleh dari pejabat dan/atau tenaga ahli; dan c. hanya dapat memanfaatkan keterangan dan/atau bukti tertulis sesuai dengan tujuan diajukannya permintaan keterangan dan/atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. |
Serupa |
(4) Apabila pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak tertentu tersebut dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | (4) Dalam hal pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak tertentu tersebut dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan | Terdapat Perubahan |
(5) Pejabat dan/atau tenaga ahli yang memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). | (5) Pejabat dan/atau tenaga ahli yang memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). | Serupa |
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. | (6) Ketentuan mengenai tata cara pemberian izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli diatur dalam Peraturan Menteri. | Terdapat Perubahan |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 57 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 55 |
Keterangan |
(1) Pelaksanaan MAP dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan otoritas pajak negara atau yurisdiksi mitra P3B. | (1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. | Terdapat Perubahan |
(2) Permintaan pelaksanaan MAP dapat diajukan oleh:
a. Wajib Pajak melalui Direktur Jenderal Pajak; b. Direktur Jenderal Pajak; atau c. otoritas pajak negara mitra P3B atau yurisdiksi mitra P3B, dalam batas waktu pelaksanaan MAP sebagaimana ditetapkan dalam P3B. |
(2) Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh:
a. Wajib Pajak dalam negeri; b. Direktur Jenderal Pajak; c. pejabat berwenang negara mitra atau yurisdiksi mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; atau d. warga negara Indonesia melalui Direktur Jenderal Pajak terkait perlakuan diskriminatif di negara mitra atau yurisdiksi mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang bertentangan dengan ketentuan mengenai nondiskriminasi, sesuai dengan ketentuan dan batas waktu sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. |
Terdapat Perubahan |
(3) Permintaan pelaksanaan MAP oleh pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak untuk mengajukan:
a. keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang; b. permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Undang-Undang; atau c. permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang. |
(3) Untuk menentukan dapat atau tidaknya dilaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak meneliti terlebih dahulu permintaan pelaksanaan Prosedur PersetUiuan Bersama yang diajukan oleh pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, atau huruf d. | Pasal 57 Ayat 3 PP Lama Tidak Dicantumkan dalam PP Baru
Pasal 55 Ayat 3 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan Perubahan Pasal 57 Ayat 4 PP Lama |
(4) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk meneliti permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf c untuk menentukan dapat atau tidaknya dilaksanakan MAP. | Pasal 57 Ayat 4 PP Lama Berpindah ke Pasal 55 Ayat 3 PP Baru | |
(5) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama setelah surat ketetapan pajak diterbitkan tetapi tidak diajukan keberatan atau tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang. | Pasal 57 Ayat 5 PP Lama Tidak Dicantumkan dalam PP Baru
|
|
(6) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan tetapi tidak diajukan banding atau Wajib Pajak mengajukan banding tetapi dicabut, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang. | Pasal 57 Ayat 6 PP Lama Tidak Dicantumkan dalam PP Baru
|
|
(7) Apabila pelaksanaan MAP dilakukan bersamaan dengan proses banding dan sampai dengan Putusan Banding diucapkan pelaksanaan MAP belum menghasilkan Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menghentikan MAP. | Pasal 57 Ayat 7 PP Lama Tidak Dicantumkan dalam PP Baru
|
|
(8) Dalam hal pelaksanaan MAP tidak menghasilkan Persetujuan Bersama, berlaku surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. | Pasal 57 Ayat 8 PP Lama Tidak Dicantumkan dalam PP Baru
|
|
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 60 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2011
(PP Baru) Pasal 59 |
Keterangan |
(1) Berdasarkan hasil pengembangan dan analisis terhadap informasi, data, laporan, dan pengaduan, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. | (1) Berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana diatur dalam Pasal 43A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. | Terdapat Perubahan |
(2) Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertutup atau secara terbuka. | (2) Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Penyidik yang menerima surat perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan. | Pasal 60 Ayat 2 PP Lama berpindah ke Pasal 59 Ayat 4 PP Baru
Pasal 59 Ayat 2 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru
|
(3) Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dilakukan tanpa pemberitahuan kepada Wajib Pajak. | (3) Pemeriksaan Bukti Permulaan memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai hukum acara pidana. | Pasal 60 Ayat 3 PP Lama berpindah ke Pasal 59 Ayat 5 PP Baru
Pasal 59 Ayat 3 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Baru
|
(4) Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak. | (4) Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertutup atau secara terbuka. | Pasal 60 Ayat 4 PP Lama berpindah ke Pasal 59 Ayat 6 PP Baru
Pasal 59 Ayat 4 PP 50 Tahun 2022 adalah Ayat Pindahan dari Pasal 60 Ayat 2 PP Lama
|
(5) Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, pejabat yang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka berwenang:
a. meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; b. mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik c. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; d. melakukan penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak; e. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan melalui Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54; f. meminta keterangan kepada pihak yang berkaitan dan dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan; dan g. melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(5) Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dilakukan tanpa pemberitahuan kepada Wajib Pajak. | Pasal 60 Ayat 5 PP Lama berpindah ke Pasal 59 Ayat 7 PP Baru
Pasal 59 Ayat 5 PP Baru adalah Ayat Pindahan dari Pasal 60 Ayat 3 PP Lama
|
(6) Ketentuan mengenai tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | (6) Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak. | Pasal 60 Ayat 6 PP Lama berpindah ke Pasal 59 Ayat 9 PP Baru
Pasal 59 Ayat 6 PP Baru adalah Ayat Pindahan dari Pasal 60 Ayat 4 PP Lama
|
(7) Pemeriksaan bukti permulaan harus ditindaklanjuti dengan:
a. Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dalam hal ditemukan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan; b. pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak bahwa Wajib Pajak tidak dilakukan Penyidikan dalam hal Wajib Pajak telah mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; c. penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal: 1. Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; atau 2. tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
|
(7) Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidik selaku Pemeriksa Bukti Permulaan berwenang:
a. meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; b. mengakses dan/atau mengunduh data, informasi, dan bukti yang dikelola secara elektronik; c. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; d. melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak; e. meminta keterangan danlatau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan melalui Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UndangUndang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan f. meminta keterangan kepada pihak yang berkaitan, dan dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan; dan g. melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
Pasal 60 Ayat 7 PP Lama berpindah ke Pasal 59 Ayat 8 PP Baru
Pasal 59 Ayat 7 PP Baru adalah Ayat Pindahan dari Pasal 60 Ayat 5 PP Lama
|
(8) Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan:
a. Penyidikan dalam hal ditemukan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan dan Wajib Pajak: 1. tidak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana diatur dalam Pasal8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau 2. mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan namun tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; b. penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal: 1. tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan; 2. peristiwa bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan; 3. Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; 4. Wajib Pajak telah mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; atau 5. daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
Pasal 59 Ayat 8 PP Baru adalah Ayat Pindahan dari Pasal 60 Ayat 7 PP Lama
|
|
(9) Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat(7) huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | Pasal 59 Ayat 9 PP Baru adalah Ayat Pindahan dengan Perubahan dari Pasal 60 Ayat 6 PP Lama | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 61 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 61 |
Keterangan |
(1) Dalam hal berdasarkan Pemeriksaan Bukti Permulaan diduga terjadi tindak pidana di bidang perpajakan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak melakukan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Undang-Undang. | (1) Penetapan tersangka tindak pidana di bidang perpajakan dapat dilakukan tanpa didahului pemeriksaan sebagai saksi apabila yang bersangkutan telah dipanggil 2 (dua) kali secara sah dan tidak hadir tanpa memberikan alasan yang patut dan wajar. | Pasal 61 Ayat 1 PP Lama Tidak Dicantum dalam PP Baru
Pasal 61 Ayat 1 PP Baru adalah Ayat Baru |
(2) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang, penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain. | (2) Penetapan sebagai tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada 2 (dua) alat bukti yang sah. | Pasal 61 Ayat 2 dan Ayat 3 PP Lama Berpindah dan Bergabung dalam Pasal 61 Ayat 7 PP Baru
Pasal 61 Ayat 2 PP Baru adalah Ayat Baru |
(3) Jenis bantuan yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. bantuan teknis; b. bantuan taktis; c. bantuan upaya paksa; dan/atau d. bantuan konsultasi dalam rangka penyidikan. |
(3) Pemeriksaan tersangka tindak pidana di bidang perpajakan tidak dilakukan apabila yang bersangkutan telah dipanggil 2 (dua) kali secara sah dan tidak hadir tanpa memberikan alasan yang patut dan wajar. | Pasal 61 Ayat 3 dan Ayat 2 PP Lama Berpindah dan Bergabung dalam Pasal 61 Ayat 7 PP Baru
Pasal 61 Ayat 3 PP Baru adalah Ayat Baru |
(4) Aparat penegak hukum lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memberikan bantuan sesuai dengan permintaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. | (4) Dalam hal tersangka tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban sebagai tersangka tidak dapat dilakukan oleh kuasa atau penasihat hukum. | Pasal 61 Ayat 4 pp Lama Berpindah ke Pasal 61 Ayat 8 PP Baru
Pasal 61 Ayat 4 PP Baru adalah Ayat Baru |
(5) Dalam hal tersangka tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyidik melakukan tindakan berupa:
a. mengumumkan pemanggilan tersebut pada media berskala nasional dan/atau internasional; b. mengusulkan tersangka masuk dalam daftar pencarian orang; dan c. meminta bantuan kepada pihak yang berwenang untuk dicatat dalam red notice. |
Pasal 61 Ayat 5 PP Baru adalah Ayat Baru | |
(6) Dalam hal hasil Penyidikan dinyatakan sudah lengkap oleh penuntut umum, penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti dari Penyidik kepada penuntut umum dapat dilakukan tanpa kehadiran tersangka apabila:
a. tersangka telah dipanggil secara sah dan tidak hadir tanpa memberikan alasan yang patut dan wajar; dan b. Penyidik telah melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
Pasal 61 Ayat 6 PP Baru adalah Ayat Baru | |
(7) Dalam melaksanakan kewenangan Penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) Undang- Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain, berupa:
a. bantuan teknis; b. bantuan taktis; c. bantuan upaya paksa; dan/atau d. bantuan konsultasi dalam rangka Penyidikan. |
Pasal 61 Ayat 7 PP Baru adalah Ayat Gabungan Pasal 61 Ayat 2 dan 3 PP Lama | |
(8) Aparat penegak hukum lain sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus memberikan bantuan sesuai dengan
permintaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan |
Pasal 61 Ayat 8 PP Baru adalah Ayat Pindahan Pasal 61 Ayat 4 PP Lama | |
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 62 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 63 |
Keterangan |
(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. | (1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan Penyidikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. | Terdapat Perubahan |
(2) Permintaan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila Wajib Pajak telah melunasi:
a. jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan; dan/ atau b. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak, ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah pajak tersebut. |
(2) Permintaan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi:
a. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara; b. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara; atau c. umlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak. |
Terdapat Perubahan |
(3) Pembayaran jumlah pajak ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. | (3) Penerapan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sebagai berikut:
a. Penerapan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sebagai berikut: b. dalam hal Wajib Pajak atau tersangka diancam secara kumulatif lebih dari 1 (satu) sanksi pidana, diterapkan sanksi administratif secara kumulatif. |
Pasal 62 Ayat 3 PP Lama berpindah ke Pasal 63 Ayat 4 PP Baru
Pasal 63 Ayat 3 PP Baru adalah Ayat Baru
|
(4) Jumlah pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah kerugian pada pendapatan negara yang dihitung berdasarkan berita acara pemeriksaan ahli sebelum dilakukan pelunasan dalam rangka pengajuan permintaan penghentian Penyidikan oleh Menteri Keuangan. | (4) Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. | Pasal 62 Ayat 4 PP Lama Tidak Dicantumkan ke PP Baru
Pasal 63 Ayat 4 PP Baru adalah Pindahan Dengan Perubahan dari Pasal 62 Ayat 3 PP Lama
|
(5) Kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung sesuai dengan ketentuan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. | Pasal 63 Ayat 5 PP Baru adalah Ayat Baru
|
|
(6) Dalam mengajukan permintaan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat melimpahkan kewenangan permintaan penghentian Penyidikan kepada pejabat yang ditunjuk. | Pasal 63 Ayat 6 PP Baru adalah Ayat Baru
|
|
(7) Berdasarkan permintaan penghentian Penyidikan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk, Jaksa Agung dapat melimpahkan kewenangan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pejabat yang ditunjuk. | Pasal 63 Ayat 7 PP Baru adalah Ayat Baru
|
|
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2011 Konsolidasi (PP Lama)Pasal 63 |
Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2022
(PP Baru) Pasal 64 |
Keterangan |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permintaan penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan | Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, dan Pasal 62 diatur dalam Peraturan Menteri. | Terdapat Perubahan |
Lampiran 4. Tabel PP No.74 Tahun 2011 yang tidak Dicantumkan
Pasal 19 dalam Bab IV tentang Penetapan dan Ketetapan |
(1) Penerbitan surat ketetapan pajak berdasarkan hasil Verifikasi harus dilakukan melalui Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, kecuali penerbitan:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Verifikasi atas keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf d; dan b. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar berdasarkan hasil Verifikasi terhadap kebenaran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a. Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya: |
Pasal 21 dalam Bab IV tentang Penetapan dan Ketetapan |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Verifikasi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Pasal 37 dalam Bab V Bagian 5 tentang Gugatan |
Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak selain:
a. surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan; b. Surat Keputusan Pembetulan; c. Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan; d. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi; e. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi; f. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; g. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; dan h. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. |
Pasal 38 dalam Bab V Bagian 5 tentang Gugatan |
(1) Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang-Undang.
(2) Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak didasarkan pada: a. hasil Verifikasi; b. hasil Pemeriksaan; c. hasil Pemeriksaan ulang; atau d. hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan terkait dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang. (3) Termasuk dalam pengertian surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang menetapkan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak tidak sesuai dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang dilakukan Verifikasi, Pemeriksaan, Pemeriksaan ulang, atau Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
Pasal 39 dalam Bab V Bagian 5 tentang Gugatan |
(1) Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang-Undang.
(2) Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak didahului dengan penyampaian surat pemberitahuan untuk hadir kepada Wajib Pajak.
|
Pasal 50 dalam Bab VIII tentang Kuasa Wajib Pajak, Rahasia Jabatan, dan Permintaan Keterangan Kepada Pihak Ketiga |
(1) Seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 tidak dapat melimpahkan kuasa yang diterima dari Wajib Pajak kepada orang lain.
(2) Dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan, dengan surat penunjukan, seorang kuasa hanya dapat meminta orang lain atau karyawannya untuk menyampaikan dan/atau menerima dokumen perpajakan tertentu yang diperlukan kepada dan/atau dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak. (3) Orang lain atau karyawan yang ditunjuk oleh seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus menyerahkan surat penunjukan kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak pada saat melaksanakan tugasnya. |
Pasal 54 dalam Bab VIII tentang Kuasa Wajib Pajak, Rahasia Jabatan, dan Permintaan Keterangan Kepada Pihak Ketiga |
(1) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, penagihan pajak, atau proses keberatan, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta keterangan atau bukti kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang.
(2) Dalam hal pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, penagihan pajak, dan proses keberatan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari: a. Direktur Jenderal Pajak; atau b. Menteri Keuangan kepada Gubernur Bank Indonesia dalam hal keterangan atau bukti yang diminta terikat kerahasiaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang di bidang perbankan. |
Pasal 55 dalam Bab IX tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda |
Pemerintah Indonesia terikat P3B yang dilakukan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. |
Pasal 56 dalam Bab IX tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda |
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pertukaran informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan dengan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B sesuai dengan ketentuan P3B yang berlaku.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat meminta informasi kepada Wajib Pajak atau pihak lain mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan yang akan dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Wajib Pajak atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi permintaan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan. (4) Dalam hal Wajib Pajak atau pihak lain tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak atau pihak lain dikenai sanksi sesuai dengan Undang-Undang. |
Pasal 58 dalam Bab IX tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda |
(1) APA berlaku dan mengikat bagi:
a. Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak; atau b. Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak dan otoritas pajak negara mitra P3B atau yurisdiksi mitra P3B, selama jangka waktu APA (2) Direktur Jenderal Pajak tidak dapat melakukan koreksi atas hal-hal yang disepakati dalam APA. (3) Dalam hal proses APA tidak menghasilkan kesepakatan antara pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokumen Wajib Pajak yang dipergunakan selama proses penentuan APA harus dikembalikan sepenuhnya kepada Wajib Pajak. (4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. |
Pasal 59 dalam Bab IX tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pertukaran informasi, MAP, dan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Sumber:
- https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/232952/pp-no-50-tahun-2022
- https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/5207/pp-no-74-tahun-2011
- https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/161839/pp-no-9-tahun-2021