Mengenal Apa itu Tie Breaker Rule

Unsur pembentuk suatu negara ada yang bersifat mutlak (konstitutif) dan bersifat tambahan (deklaratif). Unsur konstitutif berupa: adanya rakyat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Sementara unsur tambahan adalah pengakuan dari negara-negara lain.

Rakyat yang menetap di suatu wilayah disebut warga negara. UUD NRI 1945 Pasal 26 ayat (1), mendefinisikan warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang mendapat izin dengan undang-undang sebagai warga negara.

Setiap orang berhak memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28E ayat (1) UUD NRI 1945. Sehingga, orang-orang yang tinggal di wilayah negara dapat diklasifikasikan menjadi:

1). Penduduk yaitu, orang-orang yang memiliki domisili atau tempat tinggal tetap di wilayah negara tersebut, yang dapat dibedakan menjadi Warga Negara dan Warga Negara Asing (WNA)

2). Bukan penduduk yaitu, orang-orang asing yang tinggal di suatu negara bersifat sementara sesuai dengan visa yang diberikan oleh negara (kantor imigrasi) yang bersangkutan, seperti turis.

Dalam menetapkan kewarganegaraan terdapat dua asas yang dipakai di dunia, yaitu:

  1. Asas Ius Sanguinis, yaitu asas yang menetapkan seseorang mempunyai kewarganegaraan berdasarkan kewarganegaraan orang tuanya tanpa melihat tempat dimana ia dilahirkan. Contoh negara yang menerapkan asas ini adalah Indonesia, Belanda, Jepang, Jerman, dan Cina
  2. Asas Ius Soli, yaitu asas tempat kelahiran ( hukum tanah ), menetapkan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahirannya. Artinya kewarganegaraan anak akan diberikan jika anak tersebut lahir di negara yang menganut asas ius soli. Contoh negara yang menerapkan asas ini adalah Amerika Serikat, Kanada, Brasil dan Australia.

Akan tetapi dengan menjadi warga negara bukan berarti terdapat kewajiban untuk membayar pajak. Hal ini dikarenakan penetapan warga negara membayar pajak dilakukan melalui penetapan bahwa warga negara sudah termasuk sebagai wajib pajak di negara tersebut. Lalu Subjek pajak di Indonesia sendiri terbagi menjadi dua, berikut ini merupakan kriteria subjek pajak:

  1. Subjek Pajak Dalam Negeri adalah:

orang pribadi, baik yang merupakan Warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang:

  1. bertempat tinggal di Indonesia;
  2. berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; atau
  3. dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

 

  1. Subjek Pajak Luar Negeri adalah:
    1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
    2. warga negara asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
    3. Warga Negara Indonesia yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan serta memenuhi persyaratan:
      1. tempat tinggal;
      2. pusat kegiatan utama;
      3. tempat menjalankan kebiasaan;
      4. status subjek pajak; dan/atau
      5. persyaratan tertentu lainnya, yang ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan;

Dengan adanya globalisasi dan kemudahan untuk berpindah tempat, terjadinya Dual Residence sangat mungkin terjadi jika subjek pajak yang bekerja di luar negeri atau telah dianggap menjadi residen suatu negara telah memenuhi syarat untuk dianggap sebagai residen menurut UU pajak domestik. Pengenaan pajak di Indonesia menerapkan konsep worldwide income system yang mengakibatkan Wajib Pajak secara bersamaan ada di luar negeri, sehingga ditetapkan sebagai wajib pajak negara tersebut.

Pada dasarnya dalam perpajakan internasional telah diatur tentang mekanisme bagaimana cara untuk menghindari residen ganda tersebut. Dual Residence adalah kondisi yang dihadapi oleh satu subjek pajak yang melakukan transaksi lintas negara atau yurisdiksi pada saat yang sama dianggap menjadi subjek pajak dalam negeri di masing-masing negara atau yurisdiksi berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di masing-masing negara. Bila kedua negara telah mengadakan tax treaty (P3B), maka solusi atas status residen ini dipecahkan menurut Tax Treaty (P3B).

Mekanisme tersebut dalam istilah hukum pajak internasional dikenal dengan tie-breaker rules [1] yang juga telah diadopsi dalam P3B Indonesia dengan negara Malaysia, Singapura, dan Amerika Serikat pada Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3). Ketentuan tersebut adalah:

1. Permanent Home

Penentuan seseorang menjadi resident suatu negara ditentukan berdasarkan rumah yang tetap yang ditinggali oleh seseorang tersebut;

2. Center of vital interest

Apabila ternyata orang tersebut memiliki dua rumah tetap di dua negara yang berbeda, maka didasarkan pada pusat kepentingan ekonomi atau pribadi;

3. Habitual Abode

Tes yang ketiga ini dilakukan dalam hal terdapat kondisi dimana pusat kepentingan ekonomi dan pribadi ternyata terdapat di dua negara sehingga penentuannya didasarkan pada dimanakah orang tersebut biasa berada;

4. Citizenship

Mekanisme yang keempat didasarkan pada kewarganegaraan apabila ternyata ketiga tes di atas tidak dapat ditentukan hasilnya;

5. Mutual Agreement

Dalam P3B juga ditentukan bahwa apabila ternyata keempat tes tersebut tidak dapat digunakan untuk menentukan status resident dari seseorang, maka penyelesaian dilakukan melalui kesepakatan bersama oleh pejabat yang berwenang di kedua negara.

P3B (Tax Treaty) merupakan perjanjian antara negara berdaulat dan mempunyai status legal sebagai perjanjian internasional dan berfungsi sebagai perjanjian pembuat undang-undang berdasar hukum publik internasional karena disepakati oleh pemerintah. Khusus untuk Pajak Penghasilan, Pasal 32 A UU PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan (stdtd) UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menyatakan bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakkan pajak.

Kedudukan P3B bedasarkan ketentuan ini adalah lex specialist[2] terhadap Undang-undang domestik. Dengan demikian, jika ada ketentuan dalam undang-undang domestik bertentangan dengan ketentuan dalam P3B maka yang dimenangkan adalah ketentuan P3B.

Lalu, dalam Pasal 26 UU PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan (stdtd) UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan berikut ini merupakan syarat-syarat P3B, meliputi:

  1. Penerima penghasilan bukan Subjek Pajak dalam negeri Indonesia;
  2. Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan
  3. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B.

Persyaratan Pemotongan PPh dapat Menggunakan P3B (Tax Treaty)

Seseorang atau badan dapat menikmati manfaat ketentuan dalam P3B harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-61/PJ/2009 tanggal 5 November 2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda:

  1. Penerima penghasilan bukan Subjek Pajak dalam negeri Indonesia,
  2. Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi, dan
  3. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B.

Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka atas penghasilan yang diterima wajib dipotong/dipungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan seperti diatur dalam UU PPh dan UU KUP.

Persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh WPLN terdapat dalam Pasal 4 ayat (3) Per-61/PJ/2009 yaitu WPLN disyaratkan menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD) ke pemotong/pemungut pajak dengan:

  1. Menggunakan formulir yang telah ditetapkan dalam Lampiran II atau Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
  2. Telah di isi oleh WPLN dengan lengkap,
  3. Telah ditandatangani oleh WPLN,
  4. Telah disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di negara mitra P3B, dan
  5. Disampaikan sebelum berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak.

Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) memiliki kedudukan yang setara dengan undang-undang, karena dalam penerapannya berfungsi melengkapi. Perjanjian dianggap sah dan dapat dijalankan oleh penduduk antar negara bila disahkan atau dikuatkan oleh badan yang berwenang di negaranya, dalam hal ini bisa DPR atau Presiden.

Pengesahan tersebut dikenal dengan istilah ratifikasi. Cara ratifikasi dibagi menjadi tiga, yaitu:

  1. Ratifikasi semata-mata untuk badan eksekutif,
  2. Ratifikasi semata-mata untuk badan legislatif, dan
  3. Ratifikasi campuran eksekutif dan legislatif.

Ratifikasi yang lazim untuk saat ini adalah ratifikasi yang dilakukan bersama-sama oleh badan legislatif dan eksekutif. Perjanjian penghindaran pajak berganda (Tax Treaty) diatur dalam Pasal 32 A UU PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan (stdtd) UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Oleh karena itu, kedudukan Tax Treaty dalam pelaksanaannya lebih diutamakan dari Undang-undang PPh, oleh karena itu sepanjang diatur dalam Tax Treaty, maka pemajakan atas penduduk asing atau badan asing mengikuti ketentuan yang diatur dalam Tax Treaty.

 

TBrights merupakan tax consultant in indonesia yang saat ini menjadi integrated business service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif

By Olina Rizki Arizal
Partner

 

Sumber:

Putri, D. A. Aspek Hukum Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Internasional. Mimbar Keadilan, 240085.

Setiyawan, D. (2019). Status Hukum Wajib Pajak Warga Negara Indonesia Yang Tinggal Menetap Di Luar Negeri. Jurnal HUKUM BISNIS3(2), 155-169.

Susunan Dalam Satu Naskah (SDSN) Undang-Undang Perpajakan

https://www.pajak.com/komunitas/opini-pajak/penentuan-residen-dan-solusi-dual-residen-dalam-tax-treaty/#:~:text=Pasal%204%20ayat%20(2)%20P3B,berubah%20mengikuti%20perubahan%20status%20residen.

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12716/Lelang-Bersifat-Lex-Specialis.html

https://komputerisasi-akuntansi-d4.stekom.ac.id/informasi/baca/3-Syarat-Persetujuan-Penghindaran-Pajak-Berganda-P3B/4c40e7e12f3d37610d71a3a735def1d1c3c9c6d0#:~:text=P3B%20adalah%20perjanjian%20internasional%20di,kedua%20negara%20dalam%20persetujuan%20itu.

https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/14443#:~:text=Dual%20Residence%20adalah%20kondisi%20yang,di%20masing%2Dmasing%20negara%20atau

https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/54

 

 

[1] Tie breaker rule adalah langkah-langkah yang digunakan untuk menentukan status resident orang pribadi atau badan yang memiliki resident ganda (double resident).

[2] Spesialis Lex : hukum yang bersifat khusus dan tidak termasuk hukum yang berisfat umum. Ketentuan lex spesialis harus sederajat dengan ketentuan lex generalis. Ketentuan lex spesialis harus berada dalam lingkungan hukum yang sama. Contohnya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata keduanya termasuk dalam lingkungan hukum keperdataan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Whatsapp Us
💬 Need Consultation ?
Hello, Can TBrights help you?