Pajak hiburan merupakan pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan hiburan yang harus dibayar oleh konsumen penikmat hiburan. Pajak hiburan termasuk dalam pajak daerah yang pada awalnya diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), kemudian diperbarui dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Dalam pelaksanaanya, tarif pajak hiburan dapat disesuaikan dengan potensi daerah masing-masing untuk memaksimalkan pendapatan daerah yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Daerah (Perda).
Merujuk pada Pasal 55 UU Nomor 1 Tahun 2022, jenis kesenian dan hiburan yang dikenai pajak diantaranya adalah tontonan film atau sejenis tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung; pagelaran seni, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan; kontes binaraga; pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap; pacuan kuda dan perlombaan bermotor; permainan ketangkasan; olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran; rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang; panti pijat dan pijat refleksi; serta diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Ketentuan tarif pajak hiburan tertuang dalam Pasal 58 UU Nomor 1 Tahun 2022, yaitu secara umum maksimal 10%, sementara itu terdapat pengecualian untuk pajak hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan minimal 40% dan maksimal 75%. Menyikapi peraturan terbaru ini, Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menetapkan tarif pajak sebesar 40% untuk hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Penerapan pajak atas hiburan dilakukan sebagai fungsi regulerend, yaitu fungsi yang mengatur untuk mencapai tujuan tertentu. Beberapa jenis hiburan dapat memberikan dampak negatif (menimbulkan eksternalitas) sehingga diperlukan adanya “pengatur”. Pun hiburan merupakan objek yang potensial untuk dikenakan pajak daerah, di mana akan membantu PAD daerah itu sendiri. Pada dasarnya, pajak tidak boleh mengganggu pilihan bisnis, kecuali yang menimbulkan eksternalitas.
Alasan dibalik peningkatan tarif pajak hiburan khususnya diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa yaitu karena dalam bisnis tersebut terdapat potensi eksternalitas negatif sehingga dalam hal ini pemerintah berupaya untuk menekan eksternalitas negatif pada remaja. Kondisi finansial remaja dinilai belum stabil (belum memiliki pendapatan tetap) sehingga hal ini akan mendistorsi pilihan untuk menggunakan jasa hiburan. Dalam formulasi public policy seperti penetapan tarif pajak hiburan perlu adanya peran dari interest group (dalam konteks ini adalah asosiasi pengusaha hiburan) sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat lebih diterima oleh pihak yang berkaitan.
Kesimpulan: Kenaikan pajak hiburan berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2022 merupakan langkah pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor hiburan. Meskipun terdapat berbagai tantangan dan kekhawatiran, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada pelaksanaan dan pengawasan yang efektif. Pemerintah dan pelaku industri diharapkan dapat bekerja sama untuk memastikan kebijakan ini memberikan manfaat optimal bagi negara dan masyarakat.
By Olina Rizki Arizal
Partner
TBrights merupakan tax consultant in indonesia yang saat ini menjadi integrated business service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif