Dalam beberapa bulan terakhir, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) gencar mengejar penerbit maupun pengguna Faktur Pajak Fiktif (FPF), bahkan sudah beberapa Wajib Pajak (WP) menjadi tersangka bahkan telah diputuskan pengadilan sebagai Terdakwa dan diputuskan bersalah. Pengejaran penerbit maupun pengguna FPF ini sebenarnya bukan hal baru, sejak Penulis menjadi pegawai DJP di tahun 1996, kasus FPF telah menjadi masalah, bahkan saat ini, setelah 19 tahun, kasus ini masih banyak terjadi.
Lalu bagaimanakah kita sebagai WP yang bukan penerbit maupun pengguna FPF, tetapi seringkali terbawa kasus FPF, bahkan juga dikenai sanksi perpajakan ? Bagaimanakah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari hal tersebut ?
Transaksi WP hari per hari baik yang melakukan usaha jasa, perdagangan, kontruksi, dan lainnya, pasti akan dihadapkan dengan pihak lain, yang juga merupakan WP, dalam melakukan pengadaan barang, pembelian bahan baku, pembayaran jasa-jasa, untuk menunjang kegiatan usaha. Transaksi dilakukan dengan WP yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun non PKP. Pada umumnya, terutama dalam suatu perusahaan, pengadaan barang maupun bahan baku tergantung dari kebutuhan bagian operasional, ada yang bersifat dapat diperkirakan maupun yang tidak, sehingga membutuhkan kerjasama yang baik antara bagian operasional, bagian pengadaan maupun bagian keuangan, yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1
Pengadaan yang dapat diperkirakan
Keterangan gambar :
1. Bagian Operasional meminta bagian Pengadaan untuk melakukan pembelian barang/bahan baku dalam menunjang kegiatan operasional
2. Bagian Pengadaan akan melakukan pencarian supplier/vendor yang sesuai kriteria baik spesifikasi maupun harga
3. Supplier/Vendor mengirimkan barang melalui bagian pengadaan dengan memberikan bukti2 maupun dokumen
4. Bagian pengadaan menyerahkan kepada bagian operasional
5. Bagian pengadaan menyerahkan bukti pembelian kepada bagian keuangan untuk dimintakan pembayaran
6. Supplier/Vendor akan menyerahkan juga bukti penyerahan barang kepada bagian keuangan untuk meminta pembayaran
7. Bagian keuangan akan membayarkan kepada supplier
8. Dan memberikan copy pembayaran kepada bagian pengadaan yang membuktikan tagihan telah dibayarkan
Gambar 2
Pengadaan yang Tidak Dapat Diperkirakan
Keterangan gambar :
1. Bagian Operasional membutuhkan segera barang.bahan baku untuk kegiatan operasional dan langsung meminta supplier/vendor untuk memenuhinya
2. Supllier mengirimkan barang langsung kepada bagian operasional dengan memberikan bukti2 maupun dokumen
3. Bagian Operasional memberikan bukti2 dokumen pembelian kepada bagian pengadaan
4. Bagian Pengadaan memberikan buti maupuan dokumen pembelian kepada bagian keuangan untuk dmintakan pembayaran
5. Supplier/Vendor akan menyerahkan jyga bukti penyerahan barang kepada bagian keuangan untuk meminta pembayaran
6. Bagian keuangan akan membayarkan kepada supplier
7. Dan memberikan copy pembayaran kepada bagian pengadaan yang membuktikan tagihan telah dibayarkan
Kedua ilustrasi di atas pada umumnya terjadi di suatu perusahaan (mekanisme pembelian/pengadaan/pembayaran tergantung dari masing-masing perusahaan dan dapat berbeda) dimana seringkali terjadi bagian operasional membutuhkan barang/bahan baku dalam kondisi mendesak sehingga pembelian dilakukan langsung tanpa melalui bagian pengadaan yang sebenarnya berwenang melakukan. Hal yang sering terjadi adalah, bukti-bukti maupun dokumen pembelian tidak didukung oleh dokumen perpajakan, seperti Faktur Pajak (FP), bukti potong Pajak Penghasilan (dalam hal jasa) sehingga menyulitkan bagian keuangan pada saat pembayaran.
Saat Penulis menjabat sebagai Deputi Direktur Keuangan pada anak Perusahaan salah satu BUMN, sering dihadapi dengan masalah pembayaran kepada Supllier/Vendor yang tidak didukung dengan dokumen perpajakan seperti Nomor FP yang dobel, tidak dilampiri dengan Faktur Pajak, bahkan pernah terdapat surat dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana supplier terdaftar, bahwa supplier tersebut belum melaporkan FP Keluarannya dan meminta Perusahaan untuk melakukan pembetulan SPT Masa PPN dengan mengkoreksi FP Masukan dari supplier tersebut. Pada saat itu, Penulis meminta supplier tersebut untuk membayarkan dan melaporkan FP Keluarannya terlebih dahulu dan menahan pembayaran tagihan sampai dengan pembayaran pajak dilakukan.
Hal yang Penulis lakukan merupakan langkah yang dapat menimbulkan risiko di masa depan, tetapi dilakukan untuk menghindari dikenakannya sanksi perpajakan kepada Perusahaan dimana Penulis bekerja. Tidak lengkapnya dokumen perpajakan akan menimbulkan risiko, yaitu Risiko Keuangan, Risiko Pajak dan akhirnya Risiko Operasional sebagai berikut :
Gambar 3
Risiko keuangan adalah bahwa dari sisi perusahaan akan menimbulkan keterlambatan pembayaran, hutang meningkat dan biaya yang tidak dapat diperkirakan meningkat dan sebaliknya dari pihak supplier, menyebabkan penerimaan terlambat, piutang meningkat, dan penjualan yang tidak dapat diperkirakan, dan secara cashflow keduanya akan terganggu.
Risiko pajak dari sisi perusahaan dimungkinkan koreksi atas FP Masukan dari supplier dan adanya sanksi pajak, , serta tidak dapat dilakukan pemotongan pajak PPh, dari pihak supplier, dapat dikenakan sanksi atas FP Keluaran yang tidak dilaporkan dan kredit pajak atas pemotongan tidak dapat dikreditkan.
Risiko keuangan dan pajak tersebut akan menimbulkan risiko operasional, dimana dalam jangka pendek, operasi perusahaan maupun supplier dapat terganggu dan bahkan dalam jangka panjang, akibat adanya cashflow yang terganggu dan sanksi-sanksi perpajakan, dapat menyebabkan sanksi pajak yang tinggi, dan akan dapat menutup kegiatan operasional keduanya.
Lalu bagaimanakah WP mengetahui bahwa lawan transaksinya telah melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar, seperti kasus Penulis di atas ? Sinergi Administrasi Supplier merupakan langkah yang harus dilakukan untuk menghindari adanya kasus seperti Penulis, dimana dilakukan koordinasi, baik Perusahaan, Supplier maupun dengan pihak KPP dimana masing-masing terdaftar, dengan cara sebagai berikut :
Gambar 4
Manajemen Administrasi Sinergi Supplier (MASS)
Keterangan gambar :
1. Perusahaan membuat kontrak maupun sistem pengadaan dengan pihak supplier, yang dapat menguntungkan kedua belah pihak, dan memasukkan klausul pajak dalam tiap kontrak dengan menyebutkan tanggung jawab perpajakan masing-masing pihak;
2. Perusahaan melakukan konfirmasi kepada KPP dimana Perusahaan maupun supplier terdaftar, baik konfirmasi keberadaan, konfirmasi transaksi, untuk meminimalisir adanya kesalahan maupun kecurangan yang dilakukan salah satu pihak di kemudian hari;
3. Supplier melakukan konfirmasi kepada KPP dimana Supplier maupun Perusahaan terdaftar, baik konfirmasi keberadaan, konfirmasi transaksi, untuk meminimalisir adanya kesalahan maupun kecurangan yang dilakukan salah satu pihak di kemudian hari;
4. Perusahaan maupun supplier melakukan rekonsiliasi data setiap bulan, sehingga menghindari adanya perbedaan yang dapat terjadi baik dalam pencatatan, dokumen maupun hal lainnya.
MASS dapat dilakukan Perusahaan dengan suppliernya, untuk berkoordinasi bersama, sehingga mencegah risiko baik keuangan, pajak dan operasional. Terutama masalah perpajakan, termasuk meminimalisir risiko terkena kasus FPF yang dapat menimbulkan dampak besar di kemudian hari.
TBrights senantiasa dapat membantu Anda untuk membuat MASS bagi Perusahaan maupun Perorangan yang membutuhkan suatu Manajemen Administrasi Sinergi Supplier, mulai dari review kontrak, proses sistem pengadaan, proses sistem pencatatan akuntansi, proses sistem konfirmasi pajak, rekonsiliasi data pajak, konfirmasi dengan pihak KPP dan lainnya sehingga dapat meminimalisir risiko pajak tinggi di kemudian hari.