Optimalisasi Pajak atas Ekonomi Digital: Tantangan dan Peluang

Singgih Prayoga, I Made Genta, Vidia Riana, Andini Soraya, Florencia Malau
Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

Artikel_100519

Optimalisasi Pajak atas Ekonomi Digital: Tantangan dan Peluang
Singgih Prayoga, I Made Genta, Vidia Riana, Andini Soraya, Florencia Malau[1]Abstrak

Ekonomi digital yang sedang berkembang pesat dewasa ini mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, sistem perpajakan menjadi salah satunya. Dampak ekonomi digital terhadap sistem perpajakan termasuk tantangan atas konsep permanent establishment dan transaksi cross-border. Namun, tidak hanya terbatas atas isu tersebut, kompleksitas struktur ekonomi digital turut menimbulkan tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk dapat memformulasikan kebijakan yang sesuai dengan dinamika kegiatan ekonomi digital. Evaluasi kebijakan yang diambil oleh pemerintah menjadi hal yang penting untuk menanggapi era ekonomi disruptif ini agar sesuai dengan asas-asas perpajakan dan ekosistem perpajakan di Indonesia. Oleh karena itu, penulisan ini berupaya untuk meninjau tantangan dan peluang yang dihadapi policymakers di Indonesia dalam menghadapi era ekonomi digital dengan menggunakan metode kepustakaan (desk research). Adapun rekomendasi kebijakan yang diberikan dalam menjawab tantangan yaitu dilakukannya rekonstruksi BUT dengan memperluas definisi BUT, pemungutan pajak baru (equalization levy) yang disesuaikan, serta mengejar marketplace dalam upaya pemetaan potensi perpajakan dengan mekanisme profiling perpajakan melalui NPWP.

Pernyataan kunci: ekonomi digital, permanent establishment, cross-border

Pendahuluan
“It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is the most adaptable to change.”

Maraknya perkembangan dunia digital membuat pernyataan yang dikemukakan oleh ahli geologi asal Inggris, Charles Darwin, menjadi relevan untuk menggambarkan kondisi dunia saat ini. Segala sesuatu berubah dengan tingkat kecepatan tinggi, khususnya dengan memasuki era Revolusi 4.0. Sejak pertama kali dikemukakan oleh Klaus Schwab pada World Economic Forum 2016, Revolusi 4.0 memang sudah menjadi topik hangat yang diperbincangkan hampir dari segala aspek kehidupan. Kemutakhiran Information and Communication Technology (ICT) seolah menggerus mereka yang tidak dapat bersaing, baik dari aspek sosial, politik, hingga ekonomi. Hal ini juga mendasari maraknya upaya peningkatan daya saing dan inovasi. Berbagai perusahaan berbondong-bondong mengadopsi teknologi, sementara mereka yang gagal untuk mengikuti langkah dunia digital dengan sendirinya akan hilang di tengah maraknya bisnis start-up.

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran ekonomi digital menjadi hal yang sangat menjanjikan dalam memompa peningkatan pertumbuhan ekonomi. Analisis McKinsey & Co menunjukkan bahwa penjualan pasar e-commerce berada di angka 112 triliun Rupiah dan per tahun 2022 diperkirakan mampu menyediakan lapangan pekerjaan menjadi 26 juta dari angka 4 juta di tahun 2018 silam (McKinsey & Co, 2018). Pun potensinya terhadap perekonomian Indonesia sangat besar. Hal ini terlihat dari data pengguna internet Indonesia yang mencapai angka 100 juta lebih. Hasil survei tahun 2017 oleh Asosiasi Jasa Penyelenggaraan Internet Indonesia (APJII) juga menyatakan bahwa penetrasi pengguna internet selain tinggi, menyebar luas ke seluruh lapisan masyarakat. Sebesar 76,42 persen pengguna internet berada pada masyarakat menengah bagian bawah dan masyarakat menengah bagian atas sebesar 16,02 persen. Hal ini menjadi sangat mendukung Indonesia untuk memaksimalkan potensi ekonomi digital di masa yang akan datang, apalagi dengan gencarnya pembangunan infrastruktur di Indonesia. Namun di waktu yang bersamaan, tantangan sekaligus hambatan hadir pada era ekonomi digital, yang tentunya menjadi tantangan bagi para policy makers dalam mengawal era ini.

Sudah banyak pembahasan di ranah internasional atas pengenaan pajak ekonomi digital, karena pada hakikatnya regulasi ini menjadi urgensi tersendiri di era Revolusi 4.0. Survei terkini menunjukkan bahwa 74% responden menyatakan bahwa regulasi atas model bisnis ekonomi digital justru menguntungkan pihak pelaku bisnis. Contohnya saja, perusahaan-perusahaan di negara Uni Eropa secara efektif hanya membayar pajak sebesar 9% dari tarif normal 21% (European Commission, 2018). Pun kebanyakan pedoman tentang memajaki ekonomi digital yang diterbitkan oleh institusi internasional seperti Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan International Monetary Fund (IMF) hanya memberikan konsepsi secara luas. Sehingga, dibutuhkan peran pemerintah untuk mengambil langkah awal yang tepat.

Permasalahan

Status quo regulasi perpajakan atas ekonomi digital saat ini masih berada dalam grey area. Artinya belum ada kepastian dari pemerintah dalam merespon ekonomi digital. Pemerintah sudah sempat berupaya untuk membentuk regulasi melalui PMK No. 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce) pada akhir 2018. Namun demikian, kebijakan tersebut masih terlalu prematur untuk diberlakukan karena menimbulkan banyak permasalahan, mulai dari belum terciptanya level playing field antara platform transaksi online formal dan informal, risiko distorsi ekonomi, hingga kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Pada akhirnya, PMK 210 dicabut sebelum sempat diberlakukan per 1 April 2019. Sehingga sampai saat ini ekonomi digital masih belum memiliki koridor hukum yang jelas.

Kompleksitas karakteristik ekonomi digital menjadi tantangan sendiri bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang sesuai. Berdasarkan tantangan yang dihadapi oleh hampir semua negara, secara umum permasalahan yang timbul di era digitalisasi terletak pada cara mendeteksi identitas dari perusahaan yang memainkan peran utama sebagai pelaku bisnis e-commerce dan mekanisme pengenaan pajak atas PPN dari aktivitas transaksi cross-border. Negara-negara seperti India, Saudi Arabia, dan Israel sebenarnya sudah mulai menerapkan regulasi untuk mengatur hal ini. Pun tersedianya pedoman internasional tentang pajak atas ekonomi digital dapat dimanfaatkan sebagai  sarana pemerintah. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sebenarnya tantangan ekonomi digital yang dihadapi Indonesia? Regulasi seperti apa yang paling feasible untuk diimplementasikan di Indonesia jika disandingkan dengan kondisi pajak internasional dan kesesuaiannya dengan asas-asas perpajakan di Indonesia?

Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan menggunakan metode kepustakaan (desk research) berupa peraturan perundangan perpajakan, jurnal, buku, serta tulisan yang dimuat di internet. Data kepustakaan yang digunakan menjadi data sekunder untuk kemudian dianalisis secara kualitatif. Secara garis besar, sistematika penulisan ini lebih bersifat narasi yang merumuskan rekomendasi kebijakan pemerintah dengan menggabungkan pendapat-pendapat serta kajian terkait dengan transaksi atas perpajakan ekonomi digital sebagai objek PPN dalam aktivitas lintas negara berdasarkan asas-asas pemungutan pajak.
 
Tinjauan Pustaka

Di era saat ini, masifnya perkembangan teknologi telah merubah model perekonomian secara radikal, khususnya dalam model transaksi ekonomi digital berbasis e-commerce. Menurut OECD, e-commerce merupakan metode transaksi elektronik yang berfungsi sebagai fasilitator transaksi perdagangan barang dan jasa baik yang dilakukan melalui cara konvensional (adanya fisik barang dan jasa serta metode pengiriman fisik) maupun transaksi barang dan jasa yang sepenuhnya dilakukan secara elektronik (OECD, 2014). Perkembangan ini berujung menghasilkan konsekuensi tantangan kebijakan perpajakan, dimana  dalam perumusannya perlu diperhatikan sejalan atau tidaknya sebuah kebijakan melalui asas perpajakan secara mendasar.

Dalam proses formulasi kebijakan pajak, OECD (1998) telah menetapkan prinsip-prinsip mendasar yang perlu diperhatikan antara lain, neutrality, efficiency, certainty and simplicity, effectiveness and fairness, dan flexibility. Guru besar perpajakan Profesor Haula Rosdiana dalam bukunya berjudul “Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia” juga menyebutkan asas-asas yang penting untuk diperhatikan dalam mendesain kebijakan atau sistem pemungutan pajak antara lain Equity/Equality, Revenue Productivity, Ease of Administration, dan Neutrality (Rosdiana dan Irianto, 2014). Asas Equity/Equality menjadi penentu dalam membangun kebijakan. Suatu kebijakan dianggap berhasil jika masyarakat yakin pajak dikenakan secara adil dan setiap orang membayar sesuai pembagiannya atau biasa dikenal dengan horizontal equity dan vertical equity (Eickstein, 1983).

Pada asas Revenue Productivity terkait dengan kepentingan pemerintah untuk teguh sesuai dengan fungsi budgetair. Selanjutnya Ease of Administration yang mencakup certainty, efficiency, convenience of payment, dan simplicity. Kebijakan perpajakan juga harus bebas dari distorsi baik pada konsumsi maupun produksi serta aktivitas ekonomi lainnya dimana hal ini mengacu pada asas Neutrality. Kemudian, asas selanjutnya yang juga menjadi penting dalam konteks perumusan pengenaan pajak terhadap ekonomi digital adalah flexibility. Rumusan sistem perpajakan harus memiliki tingkat fleksibilitas yang cukup untuk dapat terus berkembang sesuai dinamisme yang ada namun tetap tahan akan perubahan politik.

Selanjutnya, pedoman yang dikeluarkan OECD mengenai Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, Action 1, disebutkan bahwa:

“..secara luas ada dua hal yang harus diatur oleh peraturan pajak lintas perbatasan, yakni investasi ke dalam oleh non-penduduk dan investasi ke luar oleh penduduk..”

Terminologi investasi pada perpajakan cross-border yang dimaksud bukan hanya mengacu pada definisi investasi secara umum, namun juga mengacu pada transaksi digital termasuk transaksi intangible goods seperti konten digital (e-book, musik, aplikasi digital, dsb) yang terjadi antarnegara. Pada transaksi cross-border, penjual dan pembeli berada pada daerah yurisdiksi berbeda. Pemajakan atas hal ini dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal, diantaranya prinsip netralitas, kemudahan untuk sektor bisnis melakukan kepatuhan pajak, kejelasan dan kepastian atas bisnis dan administrasi pajak, biaya yang minim, dan faktor penghalang tax evasion dan tax avoidance yang kuat.

Kemudian atas konsep Bentuk Usaha Tetap (BUT), Article 5 Paragraph 1 OECD Model Convention saat ini menggantungkan definisi Permanent Establishment (PE) atau BUT pada keberadaan lokasi fisik substansial dari suatu aktivitas bisnis. Di dalamnya, klasifikasi BUT termasuk :  ”a. A place of management, b. A branch, c. An office, d. A factory, e. A workshop, and f. A mine, an oil or gas well, a quarry or any other place of extraction of natural resources”. Konsep BUT tersebut menjadi tidak berarti dalam menghadapi tantangan digitalisasi ini, dan definisi yang tidak sesuai dengan kondisi saat ini memperburuk banyak masalah dalam sistem yang ada seperti distorsi ekonomi nyata, pergeseran laba, kompleksitas dan persaingan (Devereux and Vella, 2018). Selain itu, model bisnis baru terus berubah, sehingga sulit untuk memisahkan ekonomi digital dan ekonomi lainnya.

Pembahasan

Tantangan yang dihadapi pemerintah Indonesia

Kompleksitas struktur ekonomi digital yang sangat dinamis tidak lagi dapat dijawab dengan sekedar pendekatan hukum konvensional karena keberadaan tantangan baru yang timbul sebagai dampak era digitalisasi terhadap sistem perpajakan. Secara umum, tantangan yang dihadapi oleh berbagai negara dapat difokuskan pada dua hal, yaitu 1) identifikasi entitas sebagai pelaku e-commerce yang terutang pajak dan 2) mekanisme pengenaan PPN atas transaksi digital. Sebagai gambaran, India dalam menghadapi ekonomi digital menerbitkan “equalization levy”, sebuah konsep pengenaan PPN atas transaksi daring dari Wajib Pajak Luar Negeri kepada Wajib Pajak Dalam Negeri India yang dilakukan melalui platform online dengan batasan tertentu. Hal serupa dilakukan oleh Israel yang mengambil langkah lebih ekstrim dengan perluasan makna Permanent Establishment (PE). Israel telah memasukkan bisnis online dalam klasifikasi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau PE. Arab Saudi dan Kuwait juga memperkenalkan layanan virtual permanent establishment, yang mempertegas ketidakberadaan physical present, dimana ketika non-residen menyediakan layanan kepada pelanggan dalam negeri / lokal. Dalam hal ini, setiap layanan yang dilakukan selama lebih dari 6 bulan di bawah perjanjian cross-border antara non-residen dan konsumen lokal termasuk dalam hal virtual permanent establishment (Requena, 2017). Melihat beberapa negara merumuskan hal tersebut, artinya permasalahan tentang PPN dan identifikasi entitas yang dapat dikenakan pajak memang menjadi urgensi tersendiri dalam sistem perpajakan di era ekonomi digital.

Saat ini, negara memiliki hak untuk memajaki penghasilan dari entitas bisnis MNEs yang menjalankan kegiatan bisnis di suatu negara secara aktif dengan ketentuan memiliki bentuk fisik (physical present) di negara yang bersangkutan melalui BUT. Tetapi, di era digital yang berkembang saat ini, tidak jarang yang menjalankan usaha aktif namun tidak memiliki bentuk fisik dari entitas bisnis tersebut. Sehingga bila menilik lebih dalam, kesulitan identifikasi bentuk badan sebagai pelaku bisnis yang dapat dikenai pajak merupakan implikasi dari definisi Bentuk Usaha Tetap. Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 5 ayat (1), BUT berarti suatu tempat usaha (place of business) berupa tanah dan gedung termasuk perlengkapannya yang bersifat permanen. Pendefinisian BUT ini, dalam konteks ekonomi digital, menimbulkan serangkaian tantangan baru, khususnya pada terminologi “permanen”. Hal ini dapat dilihat dari contoh kasus Google di Indonesia pada tahun 2016. Google tidak memenuhi syarat BUT yang mengharuskan adanya tempat usaha berupa tanah dan gedung yang permanen. Atas hal ini, negara tidak dapat mengenakan pajak karena pada hakikatnya Google tidak memenuhi syarat subjek pajak. Padahal, secara terang-terangan Google mengaku menerima penghasilan yang cukup besar dari Indonesia. Kasus Google menunjukkan bahwa definisi BUT yang ada sudah tidak relevan dalam era ekonomi digital karena menjadi loophole entitas digital yang menerima penghasilan dari suatu negara.

Tantangan selanjutnya yaitu berkenaan dengan mekanisme pemungutan pajak atas transaksi berbasis online, khususnya PPN. Secara definisi, konsep PPN mengandung dua aspek penting, yaitu prinsip destinasi dan asas netralitas yang mengatur tentang mekanisme pemungutan PPN atas seluruh mata rantai produksi. Kehadiran transaksi yang kini semakin meluas dan tidak mengenal batas negara menjadi tantangan tersendiri dalam penerapan konsep fundamental dari PPN. Negara kesulitan untuk melacak dan menentukan justifikasi pengenaan PPN atas transaksi online yang dilakukan konsumen dalam negeri dengan penjual yang berada di luar negeri. Salah satu faktor pendukungnya adalah meningkatnya transaksi business-to-consumer (B2C) yang sangat sulit dipajaki. Terlebih mekanisme untuk membuktikan bahwa atas suatu penyerahan barang atau jasa yang dilakukan secara online memang benar terutang PPN membutuhkan infrastruktur teknologi yang sangat kompleks. Kebutuhan akan sistem pengawasan yang mutakhir untuk memantau seluruh transaksi digital menjadi penting.

Peluang menetapkan langkah awal dalam merumuskan regulasi yang feasible

Kesulitan identifikasi bentuk badan yang menjadi subjek pajak dan tantangan dalam pemungutan PPN atas transaksi lintas perbatasan (cross-border) hanya merupakan sebagian dari isu signifikan yang timbul akibat ekonomi digital. Berangkat dari fakta bahwa karakteristik ekonomi digital memiliki sejumlah tantangan yang belum dapat dijangkau oleh regulasi Indonesia, mengindikasikan bahwa Indonesia masih belum merespon ekonomi digital dengan tanggap. Pemberlakuan PMK No. 210 Tahun 2018 yang berupaya mengatur transaksi e-commerce masih menimbulkan permasalahan dalam ketidakmampuannya menciptakan fairness antar platform online. Hal serupa juga dialami PMK No. 35 Tahun 2019 yang menegaskan definisi BUT, namun belum dapat menjawab tantangan yang diakibatkan dari loophole Undang-Undang PPh Pasal 5 tentang syarat BUT. Hal ini memang masih menjadi permasalahan hampir seluruh otoritas pajak dunia. Namun, berdasarkan perkembangan dan analisa organisasi internasional, sebenarnya ada aspek-aspek dalam ekonomi digital yang memberikan peluang bagi pemerintah untuk mengambil langkah awal dalam merumuskan kebijakan atas ekonomi digital.

Pertama, policy makers dapat berkaca dari implementasi kebijakan di negara lain sebagai model acuan dalam memformulasikan langkah awal dalam menanggapi ekonomi digital terhadap sistem perpajakan. Salah satu contohnya adalah pemberlakuan equalization levy di India. Secara singkat, mekanisme equalization levy yang dianut India adalah pengenaan tarif 6% atas bruto dari transaksi yang dilakukan secara online oleh WPLN kepada WPDN India, selama memenuhi ambang batas Rs 1.000.000 atau sekitar Rp 20 juta (Cleartax, 2018). Justifikasi otoritas pajak India dalam menerapkan equalization levy adalah untuk menutup loophole PPN atas transaksi digital dan memanfaatkan sebagai tambahan penerimaan negara. Meskipun menciptakan jenis pajak baru, equalization levy diberlakukan secara legal dan tidak menyalahi aturan India dengan negara lain yang diatur dalam tax treaty. Hal ini terbukti efektif karena per akhir 2016 sejak awal diberlakukan, equalization levy telah berhasil meningkatkan penerimaan India sebesar USD $87 juta dan angka ini terus meningkat. Namun demikian, penerapan equalization levy, sebagaimana yang dikemukakan oleh Menteri Keuangan Jerman, Perancis, Italia, dan Spanyol, hanya merupakan solusi jangka pendek (Freshfields, 2017). Kedua, pengembangan yang dikeluarkan oleh berbagai organisasi internasional dalam hal merespon ekonomi digital seperti OECD Interim Report on Tax Challenges Arising from Digital Economy, Tax Framework on Digital Economy oleh ICC, dan proposal yang dikemukakan oleh European Union (EU), termasuk Estonian Proposal dan “Equalization Tax” Proposal. EU berpandangan dalam mengatasi masalah perpajakan di era digital ini tidak perlu membuat regulasi sistem perpajakan internasional yang baru, cukup dengan melakukan penguatan regulasi dan pengawasan dalam negeri. Hal ini juga dilakukan oleh pemerintah Inggris yang menggunakan pendekatan unilateral dengan menekankan pada regulasi dalam negeri (Arifin, 2014). Analisis tantangan yang secara detail dikemukakan oleh OECD juga dapat menjadi pertimbangan dalam merumuskan langkah awal.

Kemudian yang tidak kalah penting dari dua permasalahan diatas adalah penguatan regulasi domestik menjadi isu yang tak kalah strategis untuk dikawal. Penegasan peraturan perpajakan dalam negeri yang dibuat harus solid dan siap untuk dilaksanakan. Berkaitan dengan gugurnya PMK No. 210 Tahun 2018, pemerintah seharusnya tidak boleh lagi gagal dalam mengawal PMK No. 35 Tahun 2019 yang berkaitan dengan BUT. Masih mengangkat kasus Google, PMK 35 yang disebutkan dapat menjadi jalan bagi otoritas perpajakan dalam memajaki perusahaan raksasa Google rasanya masih harus dipertanyakan. Pada 28 Maret 2019, sang perusahaan raksasa Google pada akhirnya membayar pajak yang ditunggaknya, namun alasan dari kepatuhan pembayaran pajak tersebut bukan atas dasar kepatuhan Google atas peraturan yang dibuat, melainkan adanya negosiasi antara pemerintah dan Google dengan pendekatan bisnis, bukan dengan pendekatan pajak (Bareksa, 2019). Penguatan regulasi perpajakan atas peraturan dalam negeri menjadi suatu hal yang penting, karena apabila solusi atas permasalahan tersebut hanya dilakukan melalui pendekatan bisnis, memungkinkan untuk menimbulkan masalah yang berkaitan dengan asas equity/equality. Sehingga atas berlakunya PMK No. 35 Tahun 2019 per 1 April 2019, kepatuhan pembayaran pajak oleh perusahaan OTT seperti Google seharusnya sudah bukan lagi atas dasar negosiasi bisnis, melainkan kepatuhan atas hukum yang telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah.   

Di sisi lain, setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dengan jumlah penduduk yang sangat banyak menghadapi tantangan yang berbeda seperti India maupun Inggris. Tantangan geografis dan ketersediaan infrastruktur yang belum merata menjadikan Indonesia tetap harus menyesuaikan kondisi-kondisi tersebut dengan langkah awal perumusan kebijakan. Artinya, Indonesia tidak serta-merta dapat mengadopsi kebijakan negara lain, tetapi harus disesuaikan dengan konteks kebutuhan Indonesia dan tetap mengacu pada asas-asas perpajakan yang ada.

Keterkaitan rumusan regulasi dengan asas-asas perpajakan Indonesia

 Mengacu pada asas-asas mendasar perpajakan sebagaimana yang dikemukakan oleh Rosdiana dan Irianto (2014), asas-asas yang paling mendasar dan harus diperhatikan dalam mendesain kebijakan atau sistem pemungutan pajak adalah equity/equality, revenue productivity, ease of administration, dan neutrality. Sehingga, dalam upaya merumuskan kebijakan perpajakan dalam konteks ekonomi digital, asas-asas ini menjadi aspek fundamental yang harus terpenuhi. Tetapi, ada beberapa aspek yang harus disesuaikan dengan pesatnya perkembangan ekonomi digital. Pertama, dari aspek revenue productivity. Berdasarkan data, sektor e-commerce dalam ekonomi digital sangat berpotensi untuk menunjang perekonomian Indonesia dalam lima tahun mendatang (McKinsey & Co, 2018). Sehingga, dalam merumuskan kebijakan atas ekonomi digital, perspektif yang memandang ekonomi digital sebagai penunjang perekonomian yang berkelanjutan menjadi penting. Hal ini akan memperkecil risiko distorsi ekonomi digital jika hanya semata dilihat sebagai sumber tambahan penerimaan negara.

Aspek selanjutnya adalah ease of administration di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Otoritas pajak dituntut untuk menciptakan sistem pemungutan pajak terkhusus atas ekonomi digital, menjadi sistem yang tidak menciptakan beban administrasi bagi para Wajib Pajak. Hal ini kemudian akan berpengaruh pada tingkat tax compliance Wajib Pajak. Ketiga, aspek flexibility. OECD (1998) mengemukakan bahwa fleksibilitas menjadi salah satu prinsip mendasar yang perlu diperhatikan dalam proses formulasi kebijakan pajak. Hal ini menjadi semakin relevan dengan dinamisme ekonomi digital yang sangat pesat. Artinya, rumusan kebijakan yang dibuat harus mampu memberikan ruang perubahan sehingga kebijakan akan terus relevan dengan pesatnya perkembangan ekonomi digital.

Jika dilihat secara runut dari permasalahan dan potensi akan solusi yang ada, sebenarnya Indonesia dapat memanfaatkan hal ini untuk mulai memetakan langkah awal dalam proses formulasi kebijakan fiskal atas ekonomi digital. Tren yang ada dengan perubahan disruptif termasuk ekonomi digital cenderung menggunakan pendekatan yang tidak terlalu besar, namun berdampak secara signifikan. Indonesia yang memiliki pangsa pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara serta pembangunan infrastruktur yang tengah digencarkan menjadikan potensi e-commerce sebagai penyumbang signifikan terhadap perekonomian semakin menjanjikan. Oleh karena itu, perspektif yang mendasari kebijakan untuk mengatur perlakuan pajak atas ekonomi digital harus memandang sektor ini sebagai potensi penyokong ekonomi secara berkelanjutan, bukan hanya sebagai sektor ladang penerimaan negara semata. Langkah awal yang signifikan dan menggunakan asas-asas perpajakan yang relevan, menjadikan pijakan awal bagi Indonesia untuk membangun compliance dan memetakan perlakuan atas ekonomi digital yang akan datang. Dengan demikian, tetap akan terbentuk ruang perubahan atas peraturan yang selaras dengan dinamisme perkembangan ekonomi digital.

Rekomendasi Kebijakan

Adapun rekomendasi kebijakan yang diberikan dalam menjawab tantangan atas konsepsi BUT dan transaksi cross-border di era ekonomi digital ini dirangkum dalam tiga hal. Pertama, dilakukannya rekonstruksi BUT dengan memperluas definisi BUT yang saat ini masih menitikberatkan pada physical presence. Pendefinisian BUT saat ini terbilang masih sangat bias dan kurang relevan dalam konsep ekonomi digital. Hal ini dapat dilakukan dengan merumuskan peraturan dibawah UU PPh untuk mengatur lebih lanjut Pasal 5 UU PPh terkhusus tentang konsep BUT secara lebih lanjut yang mengacu pada konsep Significant Economic Presence dan Virtual Permanent Establishment secara jelas. Selain itu penguatan regulasi domestik menjadi isu yang tak kalah strategis. Penegasan peraturan khususnya PMK No. 35 Tahun 2019 yang berkaitan dengan BUT harus dikawal dengan baik. Pemanfaatan PMK No. 35 Tahun 2019 dapat menjadi jalan bagi otoritas perpajakan untuk memberikan kepastian hukum berkaitan dengan perluasan definisi BUT dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak atas hukum yang telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah.

Kedua, adapun langkah yang perlu diambil pemerintah berkaitan dengan transaksi cross-border salah satunya adalah melalui suatu pungutan pajak baru (equalization levy) yang disesuaikan dengan ekosistem pemajakan di Indonesia. Jika melihat keberhasilan equalization levy oleh India, tentunya pemerintah harus merespon cepat perumusan kebijakan ini. Meskipun nantinya pungutan baru akan menghilangkan sifat netralitas pajak, untuk meminimalisir hal tersebut pemerintah dapat melakukan benchmarking dan mencontoh negara-negara tersebut kaitannya dalam menciptakan kebijakan yang menguntungkan namun tetap pada asas perpajakan yang sesuai. 

Ketiga, sebagai langkah awal dalam optimalisasi pajak atas transaksi ekonomi digital yang sangat kompleks pemerintah dapat mengejar marketplace dalam upaya pemetaan potensi perpajakan dengan mekanisme profiling perpajakan melalui NPWP. Pemerintah dapat memulai dengan melibatkan marketplace untuk menjaring pendataan NPWP melalui mewajibkan pemilik merchant untuk memiliki NPWP sebagai prasyarat untuk bisa terdaftar dalam marketplace tersebut dan melakukan pendataan ulang bagi pemilik merchant yang belum memiliki NPWP. Kemudian, pendataan tersebut akan memudahkan otoritas perpajakan dalam memetakan potensi pemajakan yang selanjutnya dapat dijadikan dasar perumusan peraturan berkaitan dengan aturan lanjutannya.

Harus diperhatikan bahwa rekomendasi tersebut hanya bersifat sebagai pondasi awal formulasi kebijakan yang akan datang atas ekonomi digital. Namun demikian, selanjutnya kebijakan yang ada harus tetap siap menghadapi perubahan seiring dengan berkembangnya ekonomi digital secara signifikan. Peningkatan kerjasama internasional antar yurisdiksi, peningkatan transparansi dan pertukaran informasi antar negara, serta pengawasan berkelanjutan harus terus diberlakukan untuk dapat mencapai rumusan kebijakan yang berkelanjutan sebagai respon akan ekonomi digital.

Kesimpulan

Perkembangan ekonomi digital sejatinya menjadi hal yang sangat menjanjikan terutama dalam peningkatan perekonomian negara, tingkat penetrasi pengguna internet yang semakin naik tiap harinya menggambarkan potensi yang sangat besar pada ekonomi digital, namun diwaktu yang bersamaan era ekonomi digital memiliki hambatan dan tantangan yang tidak kalah besar dan rumit. Mengevaluasi langkah Indonesia dalam ekonomi digital khususnya isu Permanent establishment dan transaksi cross-border. Pemerintah harus mampu memanfaatkan peluang yang ada dengan perspektif asas-asas pemungutan pajak dalam era ekonomi digital. Oleh karena itu, langkah yang dapat diambil oleh Indonesia antara lain 1) perluasan definisi BUT yang mengacu pada Significant Economic Present dan Virtual Permanent Establishment; 2) penguatan regulasi perpajakan domestik; 3) benchmarking penerapan equalization levy seperti yang dilakukan India yang disesuaikan dengan ekosistem pemajakan Indonesia; 4) pelibatan marketplace dalam menjaring pendataan NPWP; 5) peningkatan sosialisasi di segala lapisan masyarakat; dan 6) memfokuskan pada pembangunan riset untuk menggenjot inovasi merupakan langkah awal yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam menghadapi tantangan dan hambatan tersebut.

Referensi

APJII. 2017. Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet Indonesia Survey 2017.

Biyan, Ozgür & Günes Yılmaz. 2018. A Taxation Problem Caused by Digital Economy: Definition of Virtual Establishment. Berlin: Internationaler Verlag der Wissenschaften.

ClearTax. 2018. Equalization Levy. https://cleartax.in/s/equalisation-levy

Devereux, M.P., Vella, J. 2018. Implications of Digitalisation for International Corporate Tax Reform. Oxford University Centre of Business Taxation.

Economic Times. 2018. Google and other digital service providers generate over Rs 560 cr in equalisation levy.
 https://economictimes.indiatimes.com/tech/internet/google-and-other-digital-service-providers-generate-over-rs-560-cr-in-equalisation-levy/articleshow/63933584.cms

Eickstein, Tandjung. 1983. Keuangan Negara. Jakarta: Rajawali Press.

Freshfields Bruckhaus Deringer. 2017. Tax Reformation in The Digital Economy: Multinational Tech Companies Targeted. https://www.freshfields.com/en-us/our-thinking/campaigns/digital/media–internet/tax-reformation-in-the-digital-economy/

Hadzhieva, E. 2019. Impact of Digitalisation on International Tax Matters, Study for the Committee on Financial Crimes, Tax Evasion and Tax Avoidance, Policy Department for Economic, Scientific and Quality of Life Policies. Luxembourg: European Parliament. http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/STUD/2019/626078/IPOL_STU(2019)626078_EN.pdf.

Hoffart, B. 2007. Permanent Establishment in the Digital Age: Improving and Stimulating Debate through an Access to Markets Proxy Approach. Northwestern Journal of Technology and Intellectual Property.

Irawan, Romi. 2019. Senja Kala Arm’s Length Principle. Analisis Pajak DDTC Indonesia. https://news.ddtc.co.id/senja-kala-arms-length-principle-15559

Jones, Richard & Subhajit Basu. 2002. Taxation of Electronic Commerce: Developing Problem. International Review of Law Computers and Technology, Vol. 16 No.1, hlm. 35-52. https://www.researchgate.net/publication/228723042_Taxation_of_Electronic_Commerce_A_Developing_Problem
McKinsey & Company. 2018. The digital archipelago: How online commerce is driving Indonesia’s economic development.

OECD. 2019. Addressing the Tax Challenges of the Digitalisation of the Economy – Policy Note. OECD/B20 Base Erosion and Profit Shifting Project http://www.oecd.org/tax/beps/policy-note-beps-inclusive-framework-addressing-tax-challenges-digitalisation.pdf

OECD. 2015. Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, Action 1-2015 Final Report. https://read.oecd-ilibrary.org/taxation/addressing-the-tax-challenges-of-the-digital-economy-action-1-2015-final-report_9789264241046-en#page25

OECD. 1998. Electronic Commerce: Taxation Framework Conditions (hlm. 4).

Requena, H.J.G., Gonzalez, S.M., ‘Adapting the Concept of Permanent Establishment ofthe Context of Digital Commerce: From Fixity to Significant Economic Presence’, Intertax, Vol.45, No.11, pp.732- 741, 2017.

Rosdiana, Haula dan Irianto, Edi Slamet. 2012. Pengantar Ilmu Pajak. PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Rossiana, Gita. 2019. “Google Akhirnya Mau Bayar Pajak di Indonesia”. Bareksa. https://www.bareksa.com/id/text/2019/03/29/google-akhirnya-mau-bayar-pajak-di-indonesia/21940/news

Schwab, K. 2016. The fourth industrial revolution.

Utomo, Rachmad. 2017. Tantangan Pengawasan PPN Atas Transaksi Konten Digital. Jurnal Pajak Indonesia, Politeknik Keuangan Negara STAN. 


sumber : [1]Singgih Prayoga, I Made Genta, Vidia Riana, Andini Soraya, Florencia Malau  – Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
singgih.prayoga@ui.ac.id
made716@ui.ac.id
vidia.riana@ui.ac.id
andini.soraya71@ui.ac.id
florencia.malau@ui.ac.id 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Whatsapp Us
💬 Need Consultation ?
Hello, Can TBrights help you?