Oleh: Adhi Nugroho, Juara 1 Lomba Menulis Artikel Hari Pajak 2022
Helai masker tidak sanggup menutupi raut semringah Taufiq Bashori. Usai tujuh bulan bergelut dengan pandemi, kini tiba saatnya menerima subsidi. Kedai nasi yang sempat tutup lantaran merugi, akhirnya bisa dibuka dan menjumpai pelanggan setianya kembali.
***
Taufiq adalah satu dari jutaan penerima Program Bantuan Produktif Bagi Usaha Mikro (BPUM). Program itu dicanangkan pemerintah demi menjaga keberlangsungan usaha mikro dari dampak pandemi Covid-19. Besarannya Rp2,4 juta untuk setiap pelaku usaha. Bagi Taufiq—pedagang nasi pinggiran di Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan—dana sebesar itu ibarat oase di padang pasir. Ia bisa membuka kembali sumber rezeki yang terpaksa ditutup karena pandemi.
Pandemi menjadi pukulan telak bagi pelaku usaha mikro seperti Taufiq. Pasalnya, penanganan pandemi memerlukan pembatasan mobilitas dan interaksi sosial. Sementara dua hal itu sangat krusial dalam memutar roda perekonomian, terutama pada tataran mikro. Mereka yang menggantungkan rezeki pada aktivitas tatap muka, harus rela merugi atau terpaksa beralih profesi.
Tak ayal, ketika Taufiq mendengar kabar soal rencana pemberian dana bantuan, ia langsung mendaftar tanpa berpikir panjang. Sejak warung nasi semata wayang ditutup, ia terpaksa menjual sepetak tanah demi menanggung kebutuhan istri dan kedua anaknya. Dalam hati ia berdoa, semoga pemerintah segera hadir memberi keadilan bagi rakyat kecil sepertinya.
Apa yang dinanti akhirnya datang juga. Oktober 2020, bertempat di halaman Stadion Pertasi Kencana, ia dikumpulkan bersama 1.038 penerima bantuan lainnya. Ditemani istri tercinta, Taufiq menerima dana BPUM langsung dari Bupati. Kontan mereka menangis bahagia, seraya melekatkan dahi ke tanah, bersujud syukur. Kini, Warung Nasi Bang Taufiq sudah beroperasi lagi. Menjual rupa-rupa kudapan pagi, hasil realokasi belanja negara untuk pemulihan ekonomi.
Apa yang dirasakan Taufiq adalah buah dari bekerjanya fungsi pajak sebagai alat redistribusi pendapatan. Tidak kurang dari Rp15,36 triliun telah digelontorkan pemerintah untuk Program BPUM. Bagian kecil dari total Rp260,1 triliun belanja negara untuk fungsi perlindungan sosial sepanjang 2021. Dana tersebut berasal dari penerimaan negara, yang mayoritas disumbang oleh pajak. Pendek kata, mereka yang sejahtera berkewajiban membantu saudara sebangsa dan setanah air yang kekurangan lewat instrumen perpajakan.
Untuk menghindari kontraksi lebih dalam pada ekonomi nasional, sejak 2020 pemerintah juga memberikan insentif pajak kepada dunia usaha. Mulai dari Pajak Penghasilan (PPh) 21 Ditanggung Pemerintah (DTP), penurunan tarif PPh Badan, pembebasan PPh 22 Impor, hingga pembebasan pajak impor alat kesehatan dan vaksin. Semuanya bertujuan memberi keringanan kepada dunia usaha agar ekonomi cepat pulih kembali.
Hasilnya sangat menggembirakan. Setelah sempat menyentuh angka 10,19 persen pada 2020, rasio penduduk miskin kembali turun menjadi 9,71 persen pada 2021. Artinya, peran APBN sebagai peredam kejut (shock absorber) saat terjadi resesi ekonomi akibat pandemi benar-benar bekerja dengan baik. Sejak triwulan II 2021, Indonesia pun berhasil keluar dari zona resesi dengan angka pertumbuhan ekonomi mencapai 7,07 persen secara tahunan.
Pajak Pewujud Keadilan
Asas pajak sebagai pewujud keadilan sosial terus berlanjut pada 2022. Undang-Undang (UU) Harmonisasi Perpajakan yang diketok palu pada 2021, mulai berlaku pada tahun berikutnya. PPh orang pribadi, misalnya. Rentang terendah Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang tarifnya 5 persen diperluas, dari semula Rp50 juta menjadi Rp60 juta. Di samping itu, orang dengan PKP di atas Rp5 miliar kini dikenakan tarif PPh yang lebih tinggi, yakni 35 persen, dari semula 30 persen.
Prinsip keberadilan itu juga berdiri tegak saat pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan berbagai jenis jasa lainnya diberikan fasilitas pembebasan PPN agar masyarakat berpenghasilan kecil sampai menengah tetap terlindungi dari kenaikan harga. Tarif PPN, yang naik jadi 11 persen pada April 2022, juga masih lebih rendah dari banyak negara berkembang seperti China (13 persen), Brasil (17 persen), Turki (18 persen), dan Argentina (21 persen).
Untuk meningkatkan pendapatan, basis, dan kepatuhan pajak, pemerintah juga kembali membuka Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Jelang penutupan tanggal 30 Juni 2022, PPh yang berhasil terkumpul mencapai Rp54,23 triliun dari 212 ribu wajib pajak. Capaian itu akan semakin memperkuat penerimaan perpajakan, yang hingga Mei 2022 telah menyentuh angka Rp846,12 triliun, atau tumbuh 51,39 persen dalam setahun.
Apiknya kinerja penerimaan negara turut diimbangi dengan realisasi belanja yang tetap berfokus pada upaya pemulihan ekonomi. Hingga Mei 2022, realisasi belanja Pemerintah Pusat mencapai Rp653,91 triliun, utamanya untuk penyaluran bansos dan subsidi. Alokasi belanja subsidi energi untuk tahun ini bahkan ditingkatkan menjadi Rp380 triliun untuk melindungi masyarakat menengah ke bawah dari gejolak eksternal.
Seperti kita tahu, invasi Rusia ke Ukraina telah berdampak pada kenaikan inflasi dunia. Harga pangan dan energi melonjak tajam akibat disrupsi rantai pasok global. Harga minyak mentah dunia telah melenceng jauh dari asumsi awal 65 USD per barel, menjadi 120 USD per barel. Tambahan subsidi energi dibutuhkan agar harga BBM, elpiji 3 kg, dan listrik di bawah 3.000 VA tidak naik. Langkah itu akan memperpanjang ruang pemulihan ekonomi dan menjaga daya beli masyarakat di tengah risiko kenaikan harga-harga.
Apa yang telah dilakukan pemerintah sepatutnya kita dukung bersama. Lewat tetesan pajak, pemerintah berupaya menjaga senyum Taufiq dan jutaan masyarakat rentan lainnya terus merekah. Dalam konteks perpajakan, paling tidak ada dua hal yang perlu kita lakukan.
Pertama, menjadi warga yang taat aturan pajak. Bayar pajak tepat jumlah dan waktu harus menjadi bagian dari perilaku. Jika telanjur alpa, program pengungkapan sukarela menjadi sarana “penebus dosa” di masa lalu. Sebab kita tahu, dengan taat pajak, jutaan orang miskin akan terbantu. Puluhan bendungan akan tercipta, ratusan pelabuhan akan beroperasi, dan jutaan kilometer jalan tol akan terbangun. Semuanya akan menjadi tulang punggung dan urat nadi pertumbuhan ekonomi.
Kedua, mendukung agenda perpajakan pada Presidensi G-20 Indonesia dari jalur keuangan. Sebagai tuan rumah, Indonesia punya daya tawar yang tinggi untuk meloloskan agenda perpajakan internasional. Dua di antaranya adalah mengatasi tantangan perpajakan yang timbul karena digitalisasi ekonomi, dan menginisiasi negara anggota untuk menerapkan pajak karbon, seperti yang akan diterapkan Indonesia pada Juli mendatang. Dengan begitu, cita-cita memulihkan perekonomian dari pajak, akan terwujud.