Pada tahun 2022, terdapat beberapa reformasi di bidang perpajakan salah satunya di sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini dikarenakan pengaruh daripada disahkannya dan diterapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang dalam BAB IV mengenai PPN. Daripada UU HPP, pada 2022, Pemerintah Indonesia menurunkan melalui beberapa regulasi terkait PPN di antaranya 2 Peraturan Pemerintah (PP) dan 12 Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah PP 44 Tahun 2022 yang merupakan regulasi lanjutan mengenai mekanisme umum Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM yang terbaru dan PP 49 Tahun 2022 yang secara garis besar mengenai pengaturan fasilitas tidak dipungut atau dibebaskannya penyerahan/impor Barang Kena Pajak (BKP) dan penyerahan/pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu dan/atau strategis.
Secara umum reformasi di sektor PPN ini menyangkut Tarif PPN sendiri yang telah ditetapkan Pemerintah Indonesia menjadi 11 persen sejak 1 April 2022 lalu dan akan dinaikkan secara bertahap sampai dengan 12 persen di tahun 2025. Hal ini disebut dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau lebih dikenal dengan UU HPP Bab IV pasal 7 ayat (1) tentang PPN. Sedangkan dalam pasal 7 ayat (3) dijelaskan bahwa tarif PPN dapat diubah paling tinggi 15 persen dan paling rendah 5 persen dan perubahan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Tarif PPN ini mengalami kenaikan sebesar 1 persen dimana sebelum perubahan ditetapkan sebesar 10 persen.[1] Selain itu terdapat juga perubahan mengenai barang dan jasa yang sebelumnya tidak dikenai PPN yang kemudian diperinci dalam PP 49 dan penambahan ketentuan PPN dengan tarif final untuk barang dan jasa kena pajak tertentu.[2]
Untuk itu, diperlukan juga pemahaman alasan terjadinya reformasi di sektor PPN ini yang dapat dilihat menjadi 3 faktor pendorong yaitu adanya keperluaan pembiayaan negara, efiesiensi tingkat tarif PPN Indonesia yang merupakan salah satu yang terendah di antara Peers dan adanya kemungkinan penerapan sistem multitarif dalam sektor PPN. Kemudian diperlukan juga pemahaman mengenai pengaruh reformasi di sektor PPN dalam realisasi penerimaan pajak 2022 sebagai tahun pertama diterapkan reformasi di sektor PPN ini.
Keperluan Pembiayaan Negara
Untuk keperluan pembiayaan negara sudah tentunya terkaitan dengan pandemi Covid-19 yang mana Indonesia juga tak luput sangat terdampak. Pengeluaran negara mengalami pembengkakan namun pada saat yang sama sumber penerimaan negara yang semakin terbatas karena Pandemi pula yang melemahkan perekonomian Indonesia. Pada akhirnya, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan untuk memitigasi pandemi Covid-19 ini seperti bantuan sosial, pemberian insentif tenaga medis, vaksinasi gratis, hingga penanganan dan perawatan para pasien Covid-19. Daripada keadaan ini, beban negara bertambah dan memaksa negara untuk berhutang demi menyeimbangkan neraca keuangan dan memenuhi kebutuhan masyarakat di kala pandemi.[3]
Daripada itulah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) membengkak dan mengalami defisit. Dimana Anggaran pandemi sendiri menghabiskan sebesar RP1.851.10 triliun di antaranya tambahan belanja untuk penanganan pandemi sebesar Rp255.110 triliun beserta anggaran transfer ke daerah dan dana desa yang diperkirakan sebesar Rp762.718. Bukan hanya pemberian dana bantuan tetapi pemerintah sendiri juga memberikan keringanan pajak berupa insentif bagi seluruh masyarakat beserta perusahaan yang terkena imbasnya oleh Covid-19 tersebut. Hingga akhir 2022 diperkirakan penanganan anggaran Covid sendiri akan menghabiskan Rp1.895.5 triliun.[4] Maka dari itu Pandemi Covid-19 salah satu katalis dilakukannya reformasi di sektor PPN
Efisiensi Tingkat Tarif
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa rata-rata PPN di seluruh dunia sebesar 15 persen, termasuk negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan G20. Sedangkan Indonesia yang sebelumnya memiliki tarif PPN 10 Persen baru menaikkan tingkat tarifnya ke angka 11 persen di tahun 2022 dan nantinya 12 persen pada tahun 2025 sebenarnya masih berada di bawah rata-rata PPN dunia. Hal ini memberikan dorongan untuk meningkatkan tarif tersebut memenuhi beban keuangan negara serta memperkuat pondasi perpajakan karena pajak merupakan sumber penerimaan negara terbesar saat ini.[5] Kemudian Menurut Media Keuangan Kementerian Keuangan, yang menarik Data dari OECD Revenue Statistic menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, 37 negara telah menaikkan tarif PPN yang mana saat ini rata-rata tarif PPN dunia sebesar 15,4 persen atau 5 persen lebih tinggi daripada tarif PPN Indonesia sebelum perubahan. Selain terbilang rendah dibandingkan dengan rata-rata tarif PPN Dunia, Indonesia juga lebih rendah dari beberapa negara lainnya seperti Filipina (12%), China (13%), Arab Saudi (15%), Pakistan (17%) dan India (18%). [6]
Peningkatan tarif PPN selain dalam rangka mengejar ketertinggalan tetapi juga untuk memaksimalkan efisiensi karena masih tersedia ruang yang cukup besar untuk mengoptimalkan pemungutan PPN di Indonesia. Seperti yang dinyatakan oleh Direktur Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama yang menerangkan c-efficiency PPN Indonesia atau indikator yang mampu menggambarkan potensi penerimaan PPN yang sebenarnya masih berkisar di 63,58 persen. Daripada indikator c-efficiciency ini, Indonesia baru bisa mengumpulkan 63,58 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Lalu di saat efisiensi pengumpulan PPN ini masih kurang maksimal, tingginya tax expenditure (belanja perpajakan) Indonesia juga didominasi oleh fasilitas PPN. Sebagai contoh di tahun 2019 fasilitas PPN tercatat mendominasi tax expenditure hingga 65 persen dikarenakan banyaknya fasilitas PPN yang sebelumnya Indonesia berikan. Maka, karena selain daripada tingkat tarif PPN yang terbilang rendah dibandingkan negara peers, efisiensi pengumpulan PPN Indonesia juga masih belum maksimal di saat tax expenditure dan pengeluaran APBN Indonesia yang besar sehingga diperlukan reformasi PPN bukan hanya mengenai tarif tetapi juga fasilitas PPN.[7]
Kemungkinan Penerapan Multiple Rate Ketimbang Single Rate
Selama ini seluruh lapisan ekonomi masyarakat harus menanggung beban PPN yang sama yang semestinya pihak yang mengonsumsi barang atau jasa lebih banyak atau lebih eksklusif harus diatur secara terpisah agar tercipta keadilan dalam pemungutan pajak. Maka dari itu melalui UU HPP terdapat penyusuaian PPN dalam hal diberlakukannya tarif khusus atas jenis barang/jasa tertentu yaitu PPN Final misalnya 1 persen, 2 persen, atau 3 persen dari peredaran usaha yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Kebijakan ini disiapkan pemerintah untuk memberikan kemudahan dalam pemungutan PPN terutama dalam hal administrasi pengusaha kena pajak (PKP).[8] Hal ini sebenarnya akan membuka kemungkinan diterapkannya salah satu tren global yang marak diperbincangkan saat ini yaitu mengenai PPN yang menggunakan lebih dari satu tarif atau multitarif (multiple rate). Dimana, selain pemberlakuan tarif secara umum, berbagai negara juga memberikan tarif khusus terhadap barang dan jasa kena pajak tertentu.[9]
Pengertian dari satu tarif atau single rate dalam PPN adalah terdapat satu jenis tarif PPN yang berlaku bagi seluruh barang atau jasa dengan mengesampingkan tarif PPN 0 persen bagi barang ekspor. Akan tetapi, ada juga yang memaknai tarif tunggal dalam PPN sebagai suatu biaya yang dikenakan dengan dua tarif yaitu tarif 0 persen untuk barang ekspor dan tarif standar yang berlaku secara umum. Sedangkan pengertian multitarif dalam PPN adalah beberapa jenis tarif yang dibebankan dalam sistem PPN atau untuk istilah populernya adalah rate differentiation. Sederhananya, penerapan PPN bukan hanya dengan tarif umum yang standar berlaku, tetapi ada beberapa jenis tarif lainnya yang dibebankan ke objek tertentu. Sebagai contoh dalam sistem multiple rates, terdapat beberapa objek pajak yang mendapatkan penurunan tarif atau bahkan peningkatan tarif daripada tarif umum.[10]
Indonesia sampai saat ini tetap menganut tarif tunggal atau single rate dalam sistem PPN sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai akan tetapi dengan penyesuaian berupa adanya tarif-tarif khusus sudah memungkinkan Indonesia untuk menerapkan multiple tarif. Secara teori, keunggulan Single Rate dikarenakan biaya administrasi yang lebih murah, mengurangi distorsi dan meningkatkan efisiensi ekonomi serta menghadirkan kemudahan dalam proses perpajakan. Sedangkan keunggulan Multiple Rate adalah adanya efisiensi atau bisa menghadirkan efisiensi dalam implementasi PPN. Jika tarif PPN tertinggi dan terendah memiliki rentang luas atau basis pajak diperluas maka penerimaan pajak juga bisa lebih meningkat. Selanjutnya, penerapan multitarif juga bisa memberikan rasa keadilan karena teruntuk jenis barang atau jasa tertentu yang hanya bisa dipakai atau dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas akan lebih sesuai dikenai tarif yang berbeda dari barang atau jasa yang secara umum atau mungkin sebaliknya terhadap barang-barang yang sangat penting untuk masyarakat banyak.[11]
Peningkatan PPN yang signifikan di tahun 2022
Berdasarkan Laporan APBN Kinerja dan Fakta Bulan edisi Januari 2023, dampak dari reformasi tarif PPN tersebut membuahkan penerimaan pajak sebesar Rp60,76 triliun. Untuk kinerja pajak atas konsumsi yaitu PPN dan PPnBM tumbuh sekitar 24,59 persen (yoy) atau mencapai 107,61 persen dari Target APBN 2022. Selanjutnya, capaian penerimaan pajak dari komponen penerimaan PPN/PPnBM masih ditopang oleh PPN Dalam Negeri (PPN DN) dan PPN Impor. Hingga akhir Desember 2022, penerimaan PPN DN tumbuh 13,69 persen (yoy) dengan realisasi mencapai Rp390,27 triliun yang didorong oleh perluasan basis pajak dan kenaikan aktivitas ekonomi yang tumbuh sejalan dengan perkembangan perekonomian. Selain itu, kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen sejak 1 April 2022 mulai berdampak pada bertambahnya penerimaan PPN DN. Lebih lanjut, kinerja PPN Impor tumbuh signifikan sebesar 41,37 persen (yoy) dengan realisasi mencapai Rp270,71 triliun seiring peningkatan aktivitas impor.[12]
Berbeda halnya dengan periode sebelum kebijakan reformasi di bidang PPN yang berdasarkan Realisasi Penerimaan PPN di tahun 2021 menurut Laporan APBN Kinerja dan Fakta Bulan edisi Januari 2022, yang menjabarkan bahwa PPN DN pada 2021 mencapai Rp 342,72 Triliun yang meningkat 14 persen (yoy) karena mulainya geliat pemulihan ekonomi tetapi pertumbuhannya masih lebih besar daripada setelah adanya reformasi PPN. Berbeda dengan PPN Impor di tahun 2021 yang mencapai Rp191,49 Trilliun atau meningkat 36,3 persen (yoy) yang berhasil diungguli oleh PPN Impor di tahun 2022 dengan nilai 41,37 persen (yoy).[13]
Maka dari itu apabila dibandingkan perkembangan realisasi penerimaan PPN, implementasi dari UU HPP dan Reformasi PPN memang cukup berdampak pada realisasi penerimaan PPN meskipun pengaruhnya lebih besar pada realisasi PPN Impor ketimbang PPN DN yang peningkatannya stabil. Akan tetapi apabila dibandingkan dengan target APBN 2022, reformasi PPN terbilang cukup berhasil karena membuat realisasi penerimaan yang melebihi target APBN atau sesuai dengan salah satu faktor yang mendorong dilakukannya Reformasi PPN yaitu untuk memenuhi keperluan pembiayaan negara. Didukung dengan fakta bahwa PPN baik PPN DN dan PPN Impor sendiri menyumbang 22,7% dan 15,8% atau digabung sekitar 38% dari total realisasi penerimaan pajak sehingga kontribusinya bagi APBN memang cukup besar.
TBrights merupakan tax consultant in indonesia yang saat ini menjadi integrated business service in Indonesia yang dapat memberikan layanan perpajakan dan bisnis secara komprehensif
Oleh Tommy HO – Managing Partner TBrights
[1] https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/15047/Sudah-Efektifkah-PPN-11-Persen.html
[2] https://pajak101.com/kenali-poin-poin-perubahan-ppn-dalam-uu-hpp/
[3] https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/15047/Sudah-Efektifkah-PPN-11-Persen.html
[4] https://ekonomi.bisnis.com/read/20220606/9/1540281/airlangga-total-anggaran-penanganan-covid-19-ri- rp18955-triliun
[5] https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/15047/Sudah-Efektifkah-PPN-11-Persen.html
[6] Ibid
[7] https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/article/show/kenaikan-tarif-ppn-dalam-kerangka-reformasi-perpajakan
[8] https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/15047/Sudah-Efektifkah-PPN-11-Persen.html
[9] https://www.pajak.com/pajak/perbedaan-ppn-tarif-tunggal-dan-multitarif/
[10]Ibid
[11] https://www.pajak.com/pajak/perbedaan-ppn-tarif-tunggal-dan-multitarif/
[12] https://media.kemenkeu.go.id/getmedia/1a28b5ae-91df-44f0-8e40-5e21056a974e/V-1-Final-Publikasi-APBN-KiTa-Edisi-Januari-2023.pdf?ext=.pdf
[13] https://media.kemenkeu.go.id/getmedia/d9defd67-4395-4588-af7e-7a2427f62f40/apbn-kita-januari-2022.pdf?ext=.pdf