Oleh: Mochammad Bayu Tjahono, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sebuah prasasti tentang gambar sosok yang gagah yang lengkap dengan pakaian kebesaran, yang satu adalah sosok raja dan yang satu lagi sosok kepala badan pajak. Sejak jaman sebelum masehi peran pajak sudah ada bahkan penting, cara mendapatkan paling banyak dengan cara paksaaan dan kekuasaan. Raja–raja di kerajaan manapun bahkan di bumi Indonesia, menetapkan pajak kepada rakyatnya.
Pada zaman VOC, Belanda datang ke Indonesia, kerajaan di Indonesia juga mengenakan pajak atas hasil bumi tersebut. Pajak inilah yang konon disimpan di negara luar. Pada tahun 1918, seorang penulis buku bernama Schumpeter menulis sebuah artikel dengan judul The Crisis of Tax State, dalam artikelnya dia menuliskan bahwa pajak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah negara modern. Melalui penelusuran didapat bahwa jatuh bangunnya sebuah kerajaan atau negara amat terkait dengan kebijakan pajak yang diambil.
Memang akan sulit melihat contoh, namun beberapa cerita rakyat terkait dengan kerajaan banyak kerajaan yang hancur karena memungut pajak melebihi batas kewajaran. Pada zaman modern ini beberapa negara maju dengan demokrasi yang sudah baik, kebijaksanaan pajak menjadi panggung kontestasi perebutan simpati pemilih, dan amat menentukan elektabilitas seorang kandidat. Presiden Amerika terpilih menjadikan tax reform untuk menaikan elektabilitasnya, bahkan di Indonesia suksesi Ditjen Pajak menjadi berita tersendiri.
Di tahun 2017, selain kelautan dan pembangunan infrastruktur, institusi setingkat eselon 1 yang mendapat perhatian publik begitu besar hanyalah Ditjen Pajak. Mengapa demikian? karena institusi ini adalah muara dari begitu banyak kepentingan baik terkait pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Di banyak negara maju, institusi perpajakan mendapat dukungan politik yang kuat, berisikan orang-orang profesional dan memiliki otonomi, meskipun otonomi bukan jaminan bagi akselerasi pencapaian target pajak.
Di era pemerintahan saat ini sejatinya beberapa perubahan di perpajakan sudah mengarah ke arah lebih baik, amnesti pajak tetap diharapkan dapat menarik kembali beberapa wajib pajak untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan memberi kesempatan wajib pajak untuk membetulkan SPT Tahunannya, kebijakan ini juga diikuti beberapa kebijakan yang mendukung ke arah keterbukaan informasi. Presiden juga menghendaki otonomi lembaga pemungut pajak, meski bukan isu baru otonomi kali ini juga harus didahului dengan perubahan KUP. Seperti zaman Kaisar Augustus zaman Romawi kuno yang memisahkan antara lembaga pembuat kebijakan dengan lembaga pemungut pajak.
Setelah suksesi kekuasan yang berjalan mulus, di mana Dirjen Pajak yang dulu Bapak Ken Dwijugiasteadi telah mengawal dengan baik amnesti pajak, maka kita memberi kepercayaan kepada Dirjen Pajak yang baru untuk membawa perubahan yang lebih baik lagi bagi Direktorat Jenderal Pajak. Dan kita pun sebagai pegawai pajak harus sepakat bahwa pencapaian pajak bukan menjadi tanggung jawab dirjen yang baru saja tetapi tanggung jawab kita semua.
Diharapkan di bawah dirjen pajak yang baru tersedia ruang dan kesempatan yang leluasa untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat. Keterbukaan, kejelasan, kepastian, dan kosistensi perlu ditunjukan sebagai ciri dan corak perpajakan. Penegakan hukum harus tetap diberi ruang, bukan untuk menakuti, bukan untuk menunjukan siapa yang berkuasa tetapi semata-mata hanya memberikan efek jera dan memberi sinyal perubahan. Di negara yang modern, pajak memang menjadi tulang punggung kehidupan dan perkembangan bangsa, tetapi pendekatan yang tepat ke wajib pajak akan memberi dampak yang tepat untuk meningkatkan partisipasi seluruh wajib pajak dalam membayar pajak, bukan hanya wajib pajak tertentu saja. Di sinilah dibutuhkan seni meracik yang pas sehingga aneka kepentingan dan aspirasi dapat bertemu dan menenangkan semua pihak.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.
sumber : pajak.go.id