Double Taxation in Secondary Adjustments of Transfer Pricing for Multinational and National Entities

Secondary transfer-pricing adjustment rules vary among tax jurisdictions, and in fact, most jurisdictions do not impose secondary adjustments. For example, the United States, Canada, Germany, and India have secondary adjustment rules, but the United Kingdom, Japan, and Australia do not. An inferred secondary transaction may be in the form of a deemed dividend, a deemed capital contribution, or a deemed loan.[1]

 

Bagaimana dengan aturan domestik kita? Di Indonesia sendiri, sudah terdapat beberapa Dasar Peraturan mengenai hal ini, sebagai berikut:

  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 22 tahun 2013
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 22/PMK.03/2020 tentang APA (Pasal 22 ayat 8)
  • Undang-undang HPP

 

  • PER 22/PJ/2013 tahun 2013 yang berbunyi sebagai berikut:

Primary Adjustment, Secondary Adjusment, dan Corresponding Adjustment Selisih antara harga atau laba transaksi afiliasi dengan harga atau laba wajar merupakan koreksi primer (primary adjusment). Apabila koreksi primer dilakukan pada tingkat laba, maka Pemeriksa Pajak harus mengatribusikan koreksi laba tersebut pada transaksi afiliasi yang memilih risiko penghindaran pajak tinggi. Koreksi primer yang dilakukan oleh Pemeriksa Pajak dapat mengakibatkan terjadinya koreksi sekunder. Koreksi sekunder (secondary adjustment) merupakan koreksi lanjutan yang dapat terjadi akibat adanya koreksi primer pada transaksi afiliasi. Misalnya Pemeriksa Pajak melakukan koreksi positif atas suatu transaksi afiliasi Wajib Pajak. Akibat koreksi tersebut, terdapat kelebihan pembayaran ke pihak afiliasi. Atas kelebihan pembayaran tersebut, Pemeriksa Pajak dapat melakukan koreksi sekunder berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku.

 

 

  • PMK 22/PMK.03/2020 tentang APA yang berada pada pasal 22 ayat 8 berbunyi sebagai berikut:

Selisih antara nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dengan nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dianggap sebagai dividen yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.”

 

  • UU Nomor 7 Tahun 1983 sttd UU HPP pasal 18 ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut:

 

Untuk selisih antara nilai transaksi yang diperngaruhi hubungan istimewa yang tidak sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha juga dianggap sebagai deviden yang dikenai pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

 

Beberapa kesimpulan yang bisa diambil adalah:

Secondary adjustment ini dapat menimbulkan pajak berganda; Di Indonesia sendiri KPP lawan transaksi tidak melakukan korelatif Adjustment; dan, dengan adanya PMK 22 yang berlaku sejak 18 Maret 2020, harus di antisipasi dalam setiap transaksi yang dilakukan dengan pihak afiliasi ataupun dalam pembuatan Local File TP Documentation (TP Doc).

 

[1] Secondary transfer-pricing adjustments, By Sean Foley, J.D., LL.M., and Saurabh Dhanuka, CPA, Silicon Valley, Calif.

June 1, 2022, https://www.thetaxadviser.com/issues/2022/jun/secondary-transfer-pricing-adjustments.html

By Olina Rizky Arizal

Partner TBrights

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Whatsapp Us
💬 Need Consultation ?
Hello, Can TBrights help you?