Jakarta, CNN Indonesia — Direktorat Jenderal Pajak ( ) menyebut bahwa penggelapan pajak ini memiliki pola-pola tertentu yang dapat dikenali. Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi, Ditjen Pajak, Iwan Juniadi menyebut pola ini bisa diterapkan ke mesin analitik agar bisa melacak pengemplang pajak lebih cepat. Dalam pelacakannya, mesin tersebut lantas bisa diberikan norma-norma untuk melakukan kategorisasi pengemplang pajak. SDM di Dirjen Pajak tinggal menerapkan algoritma yang tepat agar mesin mampu membaca pola pola penggelapan pajak ini. “Kalau ini dilanggar atau tidak sesuai, ya akan terdeteksi oleh mesin. Dengan big data karena lebih terstruktur dan lebih cepat kita bisa melihat deep analytic, dan perilaku dengan data-data yang ada,” ucap Iwan saat ditemui di Kantor Pusat Dirjen Pajak, Jakarta Selatan, Rabu (11/7).
Pola penggelapan itu bisa dibuat algoritmanya. Kemudian mesin akan mempelajari algoritma tersebut dan mengumpulkan data sesuai pola yang ditetapkan. Tak cuma mengenali pengemplang pajak, Iwan mengatakan sistem big data ini mampu membantu menguak modus transfer pricing yang sedang menjadi fokus Dirjen Pajak. “Kemudian transfer pricing, saya menjual saham ke orang-orang. Transfer pricing adalah usaha untuk mengurangi pajak penghasilan dengan cara pengalokasian laba perusahaan keanak perusahaan yang memiliki beban pajak yang lebih rendah,” kata Iwan. Masih perlu analisis manusia Kendati demikian, Iwan mengingatkan dalam pengungkapan penggelapan pajak ini masih dibutuhkan tenaga manusia untuk melakukan cross-check. Pasalnya, Iwan menyebut data-data ini tidak selalu benar. “Mesin itu tetap membutuhkan manusia untuk melakukan pengecekan […] Orang fraud ini ada pola lalu bikin algoritma. Ini tendensi fraud. Nah kan belum tentu data benar semua. Makanya harus cek juga di lapangan. Jadi lebih efektif juga kerjanya” ujar Iwan. Karenanya, Iwan menjelaskan saat mengeluarkan statistik, mesin big data memiliki beberapa tingkat sensitifitas data. Ada data yang true positive, true negative, atau false positive. Iwan mengatakan keberadaan mesin ini mengubah cara kerja SDM di Dirjen Pajak. Jika sebelumnya SDM hanya mengelola data perpajakan, penerapan sistem big data membuat kemampuan SDM harus berkembang agar tak ketinggalan oleh mesin. Iwan mengatakan nantinya SDM Dirjen Pajak harus mampu membuat sebuah norma-norma sebagai model algoritma baru yang bisa digunakan mesin agar mampu mengendus modus penggelapan pajak. “Tenaga manusia beralih dari awalnya coding data jadi membuat model atau algoritma untuk diterapkan ke sistem. Mau tidak mau SDM itu harus berkembang terus. Kalau tetap di situ saja akan tergantikan,” kata Iwan.sumber : cnnindonesia.com