Ayo, Kenali Cara Menghitung Pajak Penghasilan

Jakarta, CNN Indonesia — Shabrina (27 tahun) melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak melalui sistem daring. Ia rutin melakukan pelaporan pajak melalui e-filling selama empat tahun lamanya. Pun demikian, ada saja yang mengganjal acap kali ia melaporkan Pajak Penghasilan (PPh) per tahunnya.

Ia mendapat bukti pemotongan pajak yang diberikan perusahaannya setiap tahun. Namun, Ia masih tak paham besaran angka pemotongan pajak dari gajinya.

“Saya hanya mengisi SPT saja, cuma tidak tahu angka PPh yang dipotong itu dari mana. Saya sih percaya saja dengan kantor,” ungkapnya, akhir pekan.Senada, Mario (25 tahun) juga tak tahu menahu ihwal perhitungan jumlah PPh yang dipotong dari gajinya per tahun. Jujur, ia mengaku apatis dengan masalah perpajakan. Meski, memang ia sadar bahwa sebagai Warga Negara Indonesia (WNI), Mario wajib membayar pajak.

“Saya kadang tidak peduli dengan perhitungan pajak. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sih ada, bukti pemotongan pajak dari perusahaan juga ada. Tetapi, kadang saya penasaran bagaimana kantor menghitung PPh saya per bulan,” ujar pekerja yang bergelut di bidang teknologi informasi ini.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan, masyarakat perlu mengecek kembali jumlah pajak yang dipotong perusahaan. Dengan demikian, meminimalisir kesilapan perhitungan pajak yang dilakukan oleh bendahara kantor.

“Tapi, bendahara kantor sudah paham perhitungan pajak yang dipotong dari gaji perusahaan, bahkan banyak dari perusahaan sudah menggunakan aplikasi PPh pribadi yang tersedia di pasaran,” jelas Hestu.

Masyarakat seperti Shabrina dan Mario, tentu bisa mengecek kembali apakah selama ini pembayaran pajaknya sudah tepat. Caranya pun cukup mudah.

Sebelum menghitung PPh yang dibayarkan per tahun, ada dua hal krusial yang perlu diketahui Wajib Pajak (WP) pribadi. Yaitu, Penghasilan Kena Pajak (PKP) dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Adapun, rumus untuk menghitung PKP adalah penghasilan bersih per tahun dikurangi PTKP.

Yang dimaksud penghasilan bersih adalah penghasilan kotor per tahun dikurangi dengan faktor pengurang pajak. Seluruh penghasilan kotor itu terdiri dari gaji pokok, tunjangan, bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), hingga upah lembur.

Tak hanya itu, iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta premi asuransi yang dibayarkan perusahaan juga harus dimasukkan sebagai bagian dari penghasilan kotor. Untuk melihat jumlah premi asuransi dan BPJS tersebut, tentu WP harus mengecek sendiri slip gaji yang diberikan personalia.

“Perusahaan yang membayarkan penghasilan berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara teratur, maupun yang tidak teratur, seperti bonus, tunjangan hari raya, jasa produksi, tantiem atau gratifikasi, wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 dan memberikan bukti potong kepada karyawan,” tutur Hestu.

Setelah itu, masyarakat perlu paham akan faktor pengurang pajak yang terdiri dari biaya jabatan, biaya pensiun, dan iuran BPJS yang ditanggung oleh karyawan, seperti jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kesehatan. Tentu saja, untuk mengetahui pemotongan ini, masyarakat juga harus memeriksa sendiri slip gajinya.

Penghasilan kotor dikurang faktor pengurang pajak nanti menghasilkan penghasilan bersih. Selanjutnya, penghasilan bersih tersebut dikurangi PTKP demi mendapatkan besaran PKP.

Angka PTKP saat ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101 Tahun 2016 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 yang terdiri dari:

1. Rp54 juta per tahun untuk WP orang pribadi.
2. Rp54 juta + Rp4,5 juta bagi wajib pajak yang menikah tanpa anak.
3. Rp54 juta + Rp4,5 juta + Rp4,5 juta bagi wajib pajak anak satu. Tambahan Rp4,5 juta diberlakukan untuk satu tanggungan, paling banyak tiga orang. 
Jika PTKP sudah diketahui, maka PKP pun seharusnya sudah didapatkan. Nah, PKP inilah yang menjadi basis perhitungan pajak. Saat ini, basis perhitungan tarif pajak terhadap PKP menggunakan basis pasal 17 Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 seperti berikut.

1. Tarif pajak 5 persen dibebankan bagi WP dengan penghasilan tahunan mencapai Rp50 juta.
2. Tarif pajak 15 persen dibebankan bagi WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp50 juta hingga Rp250 juta.
3. Tarif pajak 25 persen dibebankan bagi WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp250 juta hingga Rp500 juta.
4. Tarif pajak 30 persen dibebankan bagi WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp500 juta.
5. Bagi WP yang tak memiliki NPWP, maka dikenai tarif 20 persen lebih tinggi.

Sekarang, saatnya menghitung PPh yang perlu dibayarkan oleh masyarakat.

Misalnya, Tuan A membawa pulang gaji setiap bulan sebesar Rp10 juta (take home pay), ada bonus dua kali gaji per tahun, dan gaji per bulannya juga dipotong iuran biaya pensiun dan BPJS sebesar Rp350 ribu per bulan. Ia tercatat masih lajang dan belum memiliki tanggungan anak.

Sehingga, hal-hal yang diketahui adalah sebagai berikut:

Penghasilan kotor terdiri dari (a) Gaji Rp10 juta x 12 = Rp120 juta dalam setahun

(b) Bonus tahunan dalam bentuk dua kali gaji bulanan = Rp20 juta 

Maka, penghasilan kotor terbilang sebesar (a) + (b) = Rp140 juta 

Setelah itu, diketahui pula faktor lain seperti berikut (c) potongan biaya pensiun dan BPJS Rp350 ribu x 12 = Rp4,2 juta 

Maka penghasilan bersih Tuan A adalah Rp140 juta – Rp4,2 juta = Rp135,8 juta, yang kemudian akan dikurangi dengan PTKP-nya. 

Diketahui, Tuan A masih lajang dan tidak punya anak, sehingga PTKP masih di angka minimal yakni Rp54 juta. Akibatnya, PKP Tuan A tercatat sebesar: (d) Rp135,8 juta – Rp54 juta = Rp81,8 juta. 

Dengan PKP sebesar Rp81,8 juta, angka itu dikalikan dengan tarif pajaknya untuk mengetahui besaran PPh yang dibayarkan per tahun. Karena sistem pajak Indonesia menganut sistem progresif, maka perhitungannya seperti ini:

(e) 5 persen x Rp50 juta = Rp2,5 juta 

(f) 15 persen x Rp31,8 juta = Rp4,77 juta

Secara total, PPh pribadi yang perlu dibayarkan adalah sebesar (e) + (f) adalah Rp7,27 juta.

Hestu melanjutkan, hal penting yang perlu dilakukan sebelum mengecek kembali PPh yang dimasukkan dalam bukti potong adalah seluruh penghasilan benar-benar dimasukkan ke dalamnya. Sehingga, karyawan bisa tidur tenang tanpa harus meragukan asal muasal angka pemotongan pajak tersebut.

“Bagi karyawan yang dipotong pajak oleh perusahaan harus memastikan bahwa bukti potong pajak telah diberikan oleh perusahaan. Karyawan juga harus memastikan bahwa seluruh penghasilan yang diperolehnya dalam setahun telah masuk dalam hitungan penghasilan bruto di bukti potong,” imbuh dia.

PTKP dan tarif pajak adalah hal paling krusial dalam menghitung PPh pribadi. Sebab, kadang banyak masyarakat yang tidak sadar bahwa PTKP dan lapisan tarif pajaknya adalah faktor yang bisa berubah setiap tahunnya. Kalau masyarakat tidak sadar, bisa-bisa ia semakin bingung atas besaran pajak yang seharusnya dibayar per tahunnya. 

Selama berkarier sebagai konsultan pajak, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto mengatakan banyak Wajib Pajak yang sering tak menyadari bahwa PTKP dan tarif pajak yang dikenakan terhadapnya berubah setiap periodenya. 

PTKP tahun ini bisa saja berbeda dibanding tahun sebelumnya kalau sang Wajib Pajak ternyata menikah atau punya anak. Tak hanya itu, besaran tarif PPh yang dikenakan tahun ini bisa berbeda dibanding tahun lalu jika Wajib Pajak mengalami kenaikan gaji atau tengah mujur mendapatkan banyak penghasilan. 

Ketidaksadaran ini bisa berbuah masalah bagi masyarakat yang memiliki lebih dari satu sumber penghasilan. Sebagai contoh, misal ada Wajib Pajak yang juga bekerja sebagai pengisi seminar atau tenaga ahli di perusahaan lain. Kadang, sang pengundang seminar memotong honornya dengan tarif pajak yang tak sesuai dengan golongan penghasilannya. 

Akibatnya, permasalahan klasik yang kerap terjadi adalah kasus kurang bayar PPh ketika mereka melaporkan SPT-nya. Bahkan, ia bilang pekerja seni seperti artis pun sering tersandung masalah seperti ini. Makanya, ada baiknya Wajib Pajak yang punya lebih dari satu pekerjaan bisa terbuka mengenai kondisi keuangannya ke pihak pemberi kerja. 

“Misal, ada masyarakat yang memiliki honor di luar penghasilan pokoknya dan menerima bukti potong pajak juga. Namun, kadang pemotongannya tidak akurat, karena si pemberi kerja tidak tahu berapa tarif yang akan dipotong, jadi mereka memotong dengan angka terendah saja, yakni 5 persen,” ungkap Wahyu. 

Karenanya, meski perhitungan pajak sudah ditangani oleh pemberi kerja, tetap saja masyarakat harus paham akan perhitungan pajaknya untuk menghindari kewajiban-kewajiban yang tak terduga. 

Crosscheck (cek ulang) bukti pemotongan pajak itu sangat bagus, terutama untuk memeriksa apakah masalah status PTKP-nya masih sama atau tidak, tarif pajaknya sama atau tidak,” pungkasnya. 

sumber : cnnindonesia.com

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Whatsapp Us
💬 Need Consultation ?
Hello, Can TBrights help you?