Pemerintah beserta Parlemen telah menetapkan 52 rancangan undang-undang (RUU) prioritas yang dimana salah satu RUU tersebut merupakan RUU pengampunan pajak (tax amnesty) yang menjadi soroton utama. Tax Amnesty merupakan program penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak. Terkait dengan tax amnesty, Indonesia telah 2 kali melakukan program tax amnesty yakni pada tahun 2016 dan 2022. Jika tax amnesty telah diterapkan di Indonesia sebanyak 2 kali, kenapa ada rancangan undang-undang (RUU) tax amnesty di dalam prolegnas prioritas 2025 dan apa urgensinya ?.
Kilas balik tax amnesty di Indonesia
Indonesia pada tahun 2016 memperkenalkan program tax amnesty melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak. Pada program tax amnesty terdapat berbagai macam tarif, tarif tersebut berdasarkan dimana harta berada. Pasal 4 ayat 1 tarif tebusan atas harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar:
- 2% (dua persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga,
- 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak undang-undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016,
- 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
Berdasarkan pasal 4 ayat 2 tarif uang tebusan atas harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebesar:
- 4% (empat persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak undang-undang ini mulai berlaku;
- 6% (enam persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan
- 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
Berdasarkan pasal 4 ayat 3, tarif uang tebusan bagi wajib pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada tahun pajak terakhir adalah sebesar:
- 0,5% (nol koma lima persen) bagi wajib pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam surat pernyataan; atau
- 2% (dua persen) bagi wajib pajak yang mengungkapkan nilai harta lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam surat pernyataan, untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan pertama sejak undang-undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
Program serupa juga diterapkan pada tahun 2022, pemerintah mengeluarkan program pengungkapan sukarela (PPS). Banyak orang menyebut program ini merupakan tax amnesty jilid 2 padahal ini berbeda dengan tax amnesty tahun 2016. Adapun dasar hukum PPS yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP). PPS terdiri dari 2 kebijakan, kebijakan I diikuti oleh orang pribadi atau badan yang terdaftar sebagai peserta tax amnesty dengan tarif sebagai berikut:
- 11% untuk harta deklarasi LN
- 8% untuk harta LN repatriasi dan harta DN
- 6% untuk harta LN repatriasi dan aset DN, yang diinvestasikan dalam SBN / hilirisasi / renewable energy.
Kebijakan 2 diikuti oleh wajib pajak orang pribadi dengan tarif sebagai berikut:
- 18% untuk harta deklarasi LN
- 14% untuk harta LN repatriasi dan harta DN
- 12% untuk harta LN repatriasi dan aset DN, yang diinvestasikan dalam SBN / hilirisasi / renewable energy.
Dari kilas balik tersebut sebenarnya tax amnesty atau PPS sangat membantu wajib pajak yang masih mempunyai harta yang belum dilaporkan SPT Tahunan untuk bisa segera dilaporkan tanpa mendapatkan sanksi dari kantor pajak. Akan tetapi, bila program tersebut dilakukan secara terus menerus akan menimbulkan rasa ketidakadilan bagi wajib pajak yang telah mengikuti program tax amnesty dan PPS sebelumnya. Wajib pajak merasa negara tidak memberikan keadilan ke wajib pajak dan akan berdampak berkurangnya pengawasan pemerintah terhadap wajib pajak yang melakukan tindakan penggelapan pajak. Mengingat wajib pajak merupakan penyumbang terbesar terhadap pendapatan negara melalui pajak, sudah seharusnya wajib pajak mendapatkan keadilan dalam hal perpajakan. Hal tersebut juga senada dengan Menteri Keuangan Purbaya yang menilai tax amnesty yang dilakukan berkali-kali, maka itu memberikan sinyal ke pembayar pajak bahwa boleh melanggar (kewajiban pajak), karena nanti akan ada pengampunan lagi. Oleh Karena itu, RUU pengampunan Pajak (tax amnesty) sebaiknya lebih menekankan pada pengawasan dan penegakan sanksi terhadap wajib pajak yang ditemukan tidak melaporkan hartanya di dalam surat pemberitahuan (SPT) tahunan dan tidak mengikuti program tax amnesty.
By Tommy HO – Managing Partner
TBrights is a tax consultant in Indonesia that is currently an Integrated Business Service in Indonesia that can provide comprehensive tax and business services.